OM SRI SAIRAM

OM SRI SAIRAM........

Minggu, 06 Februari 2011

PILAR HELIODORUS



Heliodorus adalah seorang duta besar dari Yunani untuk India, 200 tahun sebelum lahirnya Kristus. Sebagai seorang diplomat asing, dia nyata-nyata memiliki kepercayaan diri yang penuh akan pemerintahan Yunaninya dan tentu juga memiliki pemahaman yang sangat maju tentang keadaan dunia di masa itu. Walau demikian dia menjadi termashyur, terutama dalam masyarakat arkeolog, bukan karena catatan politik dan diplomatiknya, melainkan karena pembangunan sebuah pilar monumental pada tahun 311 BCE di Beshnagar, Madhya Pradesh, India. Sekarang bangunan itu dikenal sebagai Pilar Heliodorus, tetapi di bidang arkeologi dan literatur-literatur, pilar tersebut diketahui sebagai sebuah Garuda-stambha, mirip seperti bangunan serupa yang masih kita temukan berada di Pura Agung Jagannath yang terkenal itu, di Puri, Orissa, India bagian timur. Bagi orang awam, keberadaan pilar ini tidak begitu dikenal, namun di kalangan arkeolog itu dianggap sebuah fenomena dari jaman kuno, yang penemuannya memberikan kesan yang tak terbantahkan tentang pengaruh universal kebudayaan Veda selama berabad-abad. Mengingat kenyataan bahwa negara-negara barat menerima sebagian besar pengetahuan mereka dan juga cara berpikirnya dari peradaban Yunani, maka pilar ini merupakan sebuah penemuan arkeologi yang penting dan unik, yang sangat bermakna bagi dunia secara keseluruhan.

Pilar Heliodorus pertama kali menarik perhatian kalangan sarjana barat pada tahun 1877 dalam sebuah ekspedisi arkeologis yang dikepalai oleh Sir Alexander Cunningham. Setelah menganalisa gaya (style) dan bentuk pilar, Cunningham salah menyimpulkannya sebagai bangunan yang didirikan pada masa Kekaisaran Gupta (abad ke dua), tanpa pernah bermimpi bahwa di balik lapisan adonan merah (kumkum) di bagian bawah pilar, tersembunyi sebuah inskripsi. Walau demikian tigapuluh dua tahun kemudian pada 1901, seorang peneliti independen didampingi oleh Dr. J.H. Marshall, menyingkirkan lapisan lumpur merah itu. Pada inspeksi jarak dekat, nampak sebuah inskripsi yang memberi tahu kita bahwa pilar itu bukanlah dibangun pada abad ke dua dan juga bukan pada masa Kekaisaran Gupta sebagaimana disangka sebelumnya. Dr. Marshall kemudian menjelaskan dalam sebuah artikel yang dimuat di Journal of the Royal Asiatic Society, bahwa Cunningham sudah salah memperkirakan jaman dari pilar itu dan tidak pernah membayangkan nilai dari penemuan yang ia biarkan terlepas begitu saja dari genggamannya. Bahasa yang digunakan dalam inskripsi di pilar itu adalah Prakrit, suatu turunan Sanskrit, dan pandangan sekali saja pada aksara Brahmi yang digunakan akan dengan jelas mengindikasikan bahwa pilar tersebut jauh berabad-abad lebih tua dari tahun 200 CE. Ini sebuah kejutan besar bagi Dr. Marshall, tetapi apa yang membuatnya lebih kaget lagi, sekaligus juga menyentak masyarakat arkeologi internasional, adalah terjemahan dari inskripsi Brahmi kuno itu sendiri. Terbaca, “devadevasya väsudevasya garuòa dhvajaù ayaà kärétaù heliodoreëa bhägavatena diyasa putreëa täkñaçiläkena, Pilar Garuda ini dipersembahkan kepada Väsudeva, Tuhan di atas segala tuhan, dan telah didirikan di tempat ini oleh Heliodorus, seorang pengikut jalan pengabdian suci Bhägavata, putra dari Dion, dan seorang warga negara Täkñaçila.” Täkñaçila adalah Taxila, dan menurut buku ‘Select Inscriptions on Indian History and Civilization’ oleh Profesor Dines Candra Sircar, yang diterbitkan oleh University of Calcutta, lokasi tepat dari Taxila adalah di Distrik Rawalpindi, Pakistan Barat di masa kini.

Kemudian tertulis lagi, “yavanadütena ägatena mahäräjasya antalikitasya upäntät sakäçaà räjïah käçé putrasya bhägabhadrasya trätuù varñena caturdaçena räjyena vardhamänasya, Yang telah datang sebagai duta besar dari raja agung Antialkidas, untuk kerajaan Maharaja Bhagabhadra putra Kashi, sang pelindung, yang kini telah memerintah selama empatbelas tahun dengan penuh kemakmuran.“

Supaya mendapat gambaran sekilas, kita harus mengingat bahwa filsuf-filsuf Yunani terbesar, dimulai dari Phytagoras yang hidup pada 560 BCE, Socrates pada 450 BCE, Hippocrates pada 400 BCE, serta Plato dan Aristoteles pada 350 BCE, pada masa itu telah mengajarkan doktrin-doktrin mereka, mengumandangkan filsafatnya, menyusun buku-bukunya, dan mulai menyebarluaskan pengaruh mereka. Duta besar Heliodorus, sebagai salah satu di antara elit Yunani yang terpelajar pada abad ke dua BCE, tentu sudah akrab dengan reputasi dan semua filsafat yang mereka ajarkan. Dengan memperhatikan latar belakang sosial dan historis ini, betapa cemerlangnya seorang Duta besar Yunani, Heliodorus, yang menjadi seorang pengikut Vaishnava memuja Vasudeva Krishna, dan mewariskan sebuah pilar monumental, sebuah Garuda-stambha, sebagai saksi dan bukti bagi semua keturunannya atas keyakinannya ini. Pada tahun 1955 setelah melalui penelitian yang melelahkan, Dr. M.D. Khare menemukan pada daerah yang sama, peninggalan dari sebuah kompleks Pura yang besar dipersembahkan untuk memuja Krishna, yang juga berasal dari masa yang sama dengan pilar itu.

Untuk menyimpulkan uraian singkat ini, adalah jelas dan menarik bahwa melalui panjang lebarnya sejarah, kita dapat menguak detil-detil pribadi yang terkecil dan memberikan penerangan mengenai pengalaman hidup dan kejadian-kejadian transformasi pribadi dari satu individu. Terimakasih banyak pada Heliodorus dan pilarnya, sehingga membuat kita dapat melihat bahwa Vaishnavisme (dan ajaran Veda secara umum) merupakan sebuah ajaran yang begitu unggul, cukup untuk meluluhkan hati orang-orang Yunani yang terdidik dan berbudaya, dan juga cukup universal untuk dapat menerima mereka masuk ke dalam tingkat-tingkat kedudukan rohani yang terdapat dalam keyakinan tersebut, bahkan pada masa ketika kebudayaan India dan Eropa secara ideologis terpisah begitu jauh. Pilar Heliodorus menjadi bukti bahwa kebudayaan Veda telah memiliki pengaruh yang begitu luas dan kuat bagi Eropa. Paling tidak di masa itu, orang sepenting dan seterpelajar duta besar, seorang diplomat dari sebuah negeri berbudaya tinggi di Eropa, menerima, meyakini, dan mengamalkan ajaran-ajaran Veda. Sekalipun di negerinya sendiri sudah berkembang selama beberapa ratus tahun pemikiran-pemikiran dan filsafat yang sampai saat ini masih kita kagumi. Lihatlah! Betapa menariknya pemahaman rohani yang berasal dari Veda ini.

ORANG-ORANG SUCI HINDU DAN JASA-JASANYA YANG TAK TERBATAS






Para orang suci Hindu disebut Sadhu, Sants, Mahant, atau Bhagavata. Mereka yang mengajarkan pengetahuan keinsafan rohani kepada masyarakat luas juga disebut Guru atau Acharya. Mereka tidak saja mengajarkan secara teori tetapi juga melalui teladan pribadinya. Merekalah yang menjaga suksesi guru-murid yang tak terputuskan dari Tuhan dan para Acharya terdahulu sampai generasi yang sekarang. Para Sants, Sadhu dan Acharya adalah penjaga kelanjutan pewarisan dharma. Kaki padma mereka adalah tempat berlindung bagi semua jiva yang berkeinginan untuk mencapai kesempurnaan. Hindu masih tetap ada dan hidup segar hingga hari ini adalah karena mereka. Merekalah kepala dari seluruh masyarakat yang membangun tubuh Hindu. Setiap umat Hindu adalah murid yang dengan kerendahan hati memohon ajaran dari mereka. Ajaran mereka tiada lain adalah realisasi Veda itu sendiri dan merupakan kesempurnaan pengalaman rohani mereka di dalam jalan Veda.

Para orang suci (Sants) dan Acharya dari Bharatvarsha senantiasa menetapkan dan menjelaskan pokok-pokok pikiran devosional dan filosofis dari Upanishad, Gita, dan Bhagavatam, yang membentuk keseluruhan tubuh Sanatana Dharma. Tidak ada pertentangan-pertentangan dalam uraian mereka itu. Apabila kita melihat adanya sesuatu yang tampak bertentangan, itu hanyalah karena kurangnya penafsiran yang benar atau pengertian yang tepat dari kita sebagai pembaca, karena setiap Sants dan Acharya menguraikan teori Ketuhanan dalam gayanya sendiri, sehingga untuk memahaminya kita perlu mengerti gaya tulisan-tulisan mereka ini.

Satu hal yang mesti anda ketahui adalah, bahwa Tuhan yang telah merevelasikan kitab-kitab suci Sanatana Dharma, secara langsung atau melalui Brahma; adalah juga Tuhan yang mengutus pribadi-pribadi rohani dari tempat kediaman-Nya untuk datang ke planet bumi ini dan menegakkan Sanatana Dharma; dan adalah Tuhan pula yang mengungkapkan Kebahagiaan-Nya yang Sempurna dan mutlak, melalui lila rohani-Nya untuk menunjukkan jalan bhakti (lila atau permainan sukacita rohani, menurut Sanatana Dharma merupakan bentuk ekspresi relasi Tuhan secara khusus dengan para pemuja-Nya). Bhakti inilah yang merupakan jiwa kehidupan dan intisari dari Sanatana Dharma dan semua pustaka suci. Dengan demikian, Sanatana Dharma yang abadi diciptakan oleh Tuhan, dihadirkan oleh Tuhan, ditegakkan, diajarkan dan disebarluaskan oleh rekan-rekan kekal Tuhan (para Sants dan Acharya).

Inilah yang menjadi alasan mengapa semua tulisan-tulisan rohani dari para Acharya dan Sants berada dalam keserasian sempurna dengan Upanishad, Gita, dan Bhagavatam (mewakili Prasthanatraya: sruti, smriti, dan nyaya atau sutra. Bhagavatam diterima sebagai smriti-purana dan juga nyayasastra karena merupakan ulasan atau bhasya atas Brahmasutra). Semua nama dan rupa Tuhan, dan juga filsafat untuk menginsafi Tuhan yang mereka jelaskan, sebenarnya sudah ada dalam Pustaka Suci (Veda). Tetapi beliau-beliau ini kemudian lebih lanjut menyederhanakan jalan pengabdian kepada Tuhan dan memperluas bahan-bahan yang bersifat devosional dengan mengungkapkan, misalnya lila Radha Krishna, sedikit lebih banyak daripada yang telah diulas dalam Upanishad, Purana, dan Bhagavatam.

Perbedaan-perbedaan yang tampak dalam tulisan-tulisan mereka dan ajaran-ajarannya merupakan representasi dari ketidakterbatasan wujud Tuhan, dan perbedaan-perbedaan ini berhubungan dengan status rohani sesungguhnya dari pribadi-pribadi yang mengungkapkannya. Hal tersebut juga merepresentasikan kebenaran ini, yaitu bahwa Tuhan Yang Maha Esa memiliki semua wujud yang tak terbatas. Demikianlah keyakinan penganut Sanatana Dharma terhadap ajaran para Sant dan Acharya yang berbeda-beda dalam tubuh tunggal Dharma kita ini.

SEMUA ACHARYA SEJATI DALAM SAT-SAMPRADAYA HANYA MENYAMPAIKAN SATU KEBENARAN


Adi Sankaracharya

Sri Ramanujacharya turun dari Vaikuntha, jadi beliau menekankan bhakti kepada Vishnu, namun beliau juga menjelaskan tentang pemujaan kepada Bhagavan Sri Rama dan Bhagavan Krishna. Beliau menulis tentang Sri Rama dalam bukunya, Sri Rama Patal dan Sri Rama Rahasya. Nimbarkacharya turun dari Goloka-dhama, jadi beliau mengajarkan tentang devosi kepada Radha Krishna. Sankaracharya merupakan titisan Siva, yang adalah Tuhan dalam yoga dan pembebasan, dan beliau juga seorang pemuja Krishna yang taat, jadi Sankaracharya menjelaskan tentang jnana dan yoga, namun disisipi juga tentang bhakti seperti yang kita dapatkan dalam bagian akhir ajaran Aparoksha-anubhutinya. Sankaracharya kemudian menguraikan pemujaan Krishna secara terperinci dalam Prabodha-suddhakara. Goswami Tulsidas adalah seorang pemuja Bhagavan Sri Rama yang abadi, jadi beliau secara panjang lebar memuji dan menyembah Bhagavan Sri Rama dalam semua tulisannya. Tetapi dalam suatu bagian Vinaya-patrika, beliau menulis bahwa maya tidak dapat menipunya karena beliau telah memiliki Nanda-kumara (Krishna) dalam lubuk hatinya. Contoh-contoh ini merepresentasikan status rohani sesungguhnya (posisi ontologis) dari masing-masing Sants dan Acharya, sekaligus juga menunjukkan penyerahan diri yang bersifat internal kepada berbagai Wujud Rohani Tuhan Yang Maha Esa.

Sri Ramanujacharya
Perbedaan-perbedaan yang tampak dalam berbagai bhasya (ulasan terhadap kitab suci) dari para Jagadguru atau Acharya ini bukanlah perbedaan atau pertentangan yang bersifat substansial. Mereka merupakan deskripsi dari Zat Illahi (divya-vastu) yang sama dengan suatu penyajian yang berbeda dan dengan pendekatan yang berbeda, dan terkadang mereka merupakan penjelasan yang lebih dalam lagi mengenai kebenaran rohani yang sama. Sebagai contoh, Sankaracharya mengatakan dalam bhasyanya bahwa Tuhan adalah impersonal (nirakar) dan maya hanyalah khayalan belaka. Sri Ramanujacharya tidaklah menolak keberadaan nirakar-brahman dan sifat mengkhayalkan dari maya, namun beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa nirakar-brahman merupakan salah satu aspek dari purushottam-brahman (Pribadi Tertinggi Tuhan) dan berada di dalam-Nya. Maya sendiri bukanlah khayalan, hanya efek atau hasil karyanyalah yang berupa khayalan, sedang maya merupakan kekuatan yang kekal dan tidak memiliki hidup (achit–lifeless). Jagadguru yang lain mengatakan bahwa roh merupakan bagian yang sangat kecil dari chit-shakti Tuhan. Jiva Goswami lebih lanjut mengungkapkan keadaan roh ini dan menjelaskan bahwa ada kekuatan (Tuhan) yang disebut jiva-shakti yang merupakan bagian dari chit-shakti. Roh sesungguhnya adalah suatu bagian yang sangat kecil dari jiva shakti tersebut. Nimbarkacharya dan Vallabhacharya memantapkan supremasi Krishna (aspek maskulin) tetapi mereka tidak sepenuhnya menjelaskan Ketuhanan Radharani (aspek feminin). Jiva Goswami dan Rupa Goswami lebih lanjut menjelaskan bahwa Radharani adalah jiwa Krishna dan kemutlakan dari kekuatan hladini (energi kebahagiaan Tuhan) yang merupakan kekuatan (shakti) personal utama dari Tuhan Tertinggi Krishna. Para Goswami kemudian juga menuliskan dalam Krishna-sandarbha, Priti-sandarbha, dan Ujjvala-nilamani suatu uraian yang terperinci mengenai keadaan-keadaan cinta rohani dan luapan kesukacitaan para gopi, Krishna, dan Radha sebagaimana mereka dilihat di Goloka-Vrindaban. Dengan demikian kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan substansial dalam ajaran para Jagadguru dan Acharya Sanatana Dharma. Semua ini merupakan deskripsi dari keberadaan rohani yang sama dalam gaya penulisan atau gaya pengajaran mereka yang khas dan sesuai dengan pengalaman pribadi mereka akan Tuhan.

KITA SEJIWA



Adalah salah apabila kita mengatakan berbagai sampradaya yang dirintis oleh para Jagadguru dan Acharya ini merupakan suatu perpecahan dalam tubuh Hindu atau Sanatana Dharma. Hindu juga bukanlah sekedar penggabungan (konglomerasi) secara sembarangan berbagai jenis tradisi dan ajaran rohani berbeda, dengan tujuan hanya untuk memperbesar kuantitas pengikut. Semua tradisi rohani yang beranekawarna, yang berkembang di India maupun yang tersebar luas di seluruh dunia, memang merupakan bagian dari Sanatana Dharma. Sekalipun wujud kasarnya berbeda, tetapi jiwa kehidupannya tetap sama, yaitu mengembangkan cintakasih rohani kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sanatana Dharma ini sungguh-sungguh menghormati keunikan relasi setiap roh dengan Tuhan, sekaligus juga membantu perkembangan potensi rohani kita setinggi-tingginya, cocok sesuai dengan keadaan yang kita butuhkan. Karena itu, sekalipun jiwa kehidupan Sanatana Dharma adalah satu, namun kita disediakan begitu banyak metode pendekatan yang sempurna sebagaimana dihadirkan oleh para Jagadguru-Acharya dan sampradayanya masing-masing.


Kata dharma dalam Veda diterjemahkan menjadi bermacam-macam. Dharma merupakan sesuatu yang menjadi satu dengan sang roh, kekal bersama roh, dia yang memberikan roh jati dirinya yang sejati. Tanpa dharma segala sesuatu bukanlah menjadi sebagaimana adanya (as it is). Seperti panas dari api atau terangnya cahaya memberikan jati diri bagi api dan juga cahaya. Tanpa panas, api bukanlah api dan tanpa terang, cahaya bukanlah cahaya. Panas dan terang merupakan dharma dari api dan cahaya. Demikian pula halnya dengan dharma bagi sang roh, adalah berkaitan langsung dengan jati diri sejatinya. Dharma bukanlah sesuatu yang dibuat-buat karena itu dia dapat disebut pula sebagai agama dalam pengertian seperti di atas. Jadi agama juga bukan merupakan suatu keadaan yang tidak alamiah, tidak dipaksa-paksakan. Dia merupakan pancaran sejati dari jati diri sang roh yang asli.


Makhluk hidup atau roh (atma), sang kesadaran yang menghidupkan, disebutkan sebagai pancaran kecil dari Parambrahman Bhagavan Sri Krishna, Kesadaran Yang Mahatinggi atau Tuhan. Semua roh ini memiliki hubungan sejati dengan Roh Tertinggi. Hubungan ini merupakan salah satu dari kebenaran yang paling mendasar, yang disebut sebagai sambandha-tattva. Pengetahuan mengenai hubungan ini disebut sambandha-jnana. Kebenaran selanjutnya adalah tindakan dalam hubungan tersebut. Apa yang seharusnya terjadi dalam hubungan itu, ini disebut abhideya-tattva, dan pengetahuan mengenai hal itu dikenal sebagai abhideya-jnana. Pada titik akhir sampailah kepada apa maksud dari hubungan itu. Apa yang menjadi tujuan tertinggi dari semuanya ini. Kebenaran mengenai tujuan tertinggi dikenal sebagai prayojana-tattva, dan mengetahui hal ini merupakan keinsafan terhadap prayojana-jnana. Bila seseorang merenungkan semua ini dalam-dalam dan juga melihat dari mata kitab-kitab suci yang diwahyukan, maka kita mendapatkan bahwa cinta merupakan penjelasan bagi ketiga kebenaran ini. Kita berhubungan dengan Tuhan melalui cinta, tindakan dalam hubungan itu adalah karya-karya dalam cinta, dan tujuan tertinggi segalanya adalah mencintai Tuhan dengan sepenuh-penuhnya. Cinta ini merupakan tujuan (sadhya) dan juga merupakan cara (sadhana) untuk mencapai tujuan itu. Cara yang sempurna adalah merupakan kesempurnaan itu sendiri, sadhana yang sejati juga merupakan sadhya yang tertinggi itu, bagaikan lingkaran yang tak terputuskan, tiada awal dan akhirnya, dan mahamutlak. Inilah kosep ketuhanan dan kerohanian yang sejati, yang dinyatakan oleh semua kitab suci dan oleh mereka yang tercerahkan.


Pengabdian cintakasih atau Bhakti merupakan jawaban sesungguhnya atas semuanya ini. Hanya dia yang mampu mengungkapkan kebenaran yang paling mendasar, karena dia merupakan kebenaran itu sendiri. Bhaktilah yang merupakan dharma sejati, agama yang asli bagi semua makhluk hidup. Bhaktilah yang mampu mengungkapkan ketiga kebenaran mendasar itu dengan sempurna. Agama sejati adalah yang mampu membawa roh dalam keinsafan seperti itu. Dapatlah kita simpulkan bahwa Bhakti adalah merupakan dharma sejati bagi sang roh. Bhakti bercahaya sebagai perwujudan jati diri sang roh yang sesungguhnya. Dia kekal bersama roh, dia merupakan sifat alamiahnya, karena hanya dalam Bhaktilah hubungan antara roh dengan Tuhan diungkapkan secara sempurna. Oleh karena itu dikatakan bahwa Bhakti merupakan jiwa kehidupan Sanatana Dharma.

PERHATIKAN JIWANYA!


Hindu seperti yang telah kita pahami sebenarnya adalah Sanatana Dharma yang berdasarkan atas ajaran Veda. Sanatana Dharma sendiri merupakan fungsi roh yang kekal, sehingga sesungguhnya penampakan luar atau jasmaniah tidaklah seberapa penting dalam Hindu. Penerapan ajaran Veda atau agama Hindu dapat berkembang sesuai dengan keadaan di tempat dia tumbuh, sekalipun prinsip-prinsip yang mendasarinya tetap sama.

Sebagai contoh seorang pemuda yang jatuh cinta dengan seorang gadis bisa saja mengungkapkan perasaannya dengan cara yang berbeda-beda. Masing-masing orang tidaklah sama. Ada yang mengungkapkannya dengan memberi setangkai mawar, ada yang memberi isi seluruh toko kembang, ada yang mengarang puisi atau menyanyikan lagu, dan sebagainya. Ungkapan cinta juga bisa diberikan dengan mempersembahkan sesuatu yang menurut kita paling baik dan indah. Tentu saja batasan yang terbaik dan terindah ini sangat relatif, berbeda masing-masing bangsa, masing-masing suku, masing-masing keluarga, bahkan masing-masing individu. Tetapi esensi dari cinta itu tetap sama. Di manapun juga cinta adalah cinta yang sama. Inilah yang diajarkan oleh Veda. Hindu mengijinkan umatnya mengembangkan potensi pribadinya sendiri setinggi-tingginya. Standarisasi bukan dalam hal eksternal tetapi menyatukan pandangan secara internal atau batiniah.

Sebenarnya bukan saja Hindu di India tampak berbeda dengan di tempat lain, bahkan tradisi Hindu di India Utara dengan Selatan saja sudah cukup berbeda. Sebagai contoh lagi dalam sejarah kita ketahui di kala India berada dalam masa kelam di bawah penjajahan bangsa-bangsa dan agama asing, India Selatan relatif tidak terlalu terpengaruh oleh kondisi penuh tekanan ini. Kebudayaan Veda masih tumbuh dan berkembang dalam keindahan dan keasliannya yang sama sebagaimana beribu-ribu tahun yang lampau. Dengan adanya perlindungan kerajaan-kerajaan dan panglima-panglima perang Hindu yang cukup kuat, peradaban Veda yang suci tetap terjaga di India Selatan. Demikian pula hampir semua orang suci utama di jaman Kali, jaman kita ini, yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan ajaran Veda hingga hari ini, muncul dan hidup di India Selatan. Di antara mereka adalah para Nayanmar Saiva, Alvar Vaishnava, dan para Acharya. Sedangkan di Utara, tradisi Hindu telah menyesuaikan dengan pengaruh budaya bangsa lain yang pernah menjajah India dengan penuh tekanan. Kita tidak mendapatkan bentuk pemujaan yang penuh gegap gempita dan kemewahan seperti di Selatan. Di Utara kita bisa melihat Pura-pura Hindu yang berbentuk Haveli, seperti rumah orang kebanyakan.

KEBENARAN MUTLAK DALAM SEBATANG KAYU




Seringkali orang menganggap bahwa penempatan sesaji di bawah pohon atau persembahyangan yang dilakukan di bawah pohon adalah suatu bentuk keyakinan primitif yang dilakukan oleh orang-orang purba yang tidak beradab. Orang-orang sering berpikir bahwa pemujaan yang dilakukan di satu gedung mewah, dengan bangunan yang permanen, adalah lebih baik atau lebih tinggi nilainya dari pemujaan yang dilakukan di alam terbuka, termasuk di bawah pohon. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang bersembahyang di bawah pohon tidak mengenal Tuhan yang sejati, melainkan memuja roh-roh yang bersemayam di pohon-pohon itu. Ini adalah pendapat yang sama sekali salah. Dalam Veda-dharma kita tidak saja mengenal pemujaan yang bertempat di bawah pohon, tetapi juga ada pemujaan terhadap beberapa pohon tertentu yang disucikan. Pippala (beringin), Bael, dan Tulasi adalah sebagian dari banyak pohon yang dihormati oleh para pengikut Veda.


Pohon tidaklah lebih dari tempat-tempat atau elemen-elemen alam lainnya. Penghormatan Veda terhadap pohon adalah dengan memperhatikan beberapa hal. Pohon adalah suatu makhluk hidup. Itu artinya dia memiliki jiva atau atma. Pohon adalah suatu pribadi, suatu individu. Pohon juga merupakan tempat tinggal bagi begitu banyak kehidupan. Dia memiliki peran yang penting dalam memberikan kehidupan bagi makhluk lainnya dan juga menyediakan perlindungan. Dalam satu pohon, apalagi semakin dia besar, akan ada banyak sekali makhluk yang tergantung padanya. Kita juga meyakini, bentuk-bentuk kehidupan tertentu yang tidak dapat dilihat oleh mata jasmani bisa saja menganggap pohon sebagai rumahnya. Ada begitu banyak jiva yang berdiam di sana. Pohon juga adalah simbolisasi. Dia bisa berperan sebagai emblem yang mengingatkan kita kepada Sang Sumber Segala Sesuatu. Melihat pohon tertentu dapat membuat kita mengingat Tuhan, Penguasa Sejati seluruh alam semesta.

Pertama kita melihat pohon sebagai salah satu bagian dari keanekaragaman isi alam semesta. Dia adalah salah satu elemen alam. Tidak ada satu tempat pun di seluruh manifestasi kosmis ini yang tidak diresapi oleh kehadiran Tuhan. Tuhan sebagai Paramatma bahkan berada di atom yang terkecil sekalipun. Jadi bukanlah hal yang salah bila beberapa orang, atau beberapa kelompok manusia, yang memiliki rasa kedekatan dengan alam justru menemukan Tuhan di pepohonan. Mereka menjadikan pohon yang terpilih sebagai tempat mereka melakukan pemujaan, menyatakan rasa syukurnya, atau ungkapan perasaan lainnya kepada Tuhan di bawah pohon. Dalam pemahaman seperti ini, apa bedanya sebatang pohon dengan bangunan dari beton? Tentu tidak ada. Ini hanyalah suatu tempat kita bisa mencurahkan perasaan kita. Banyak orang masih pacaran di bawah pohon, padahal sudah ada cafe, resto mewah, dsb. Jadi bukan masalah bila beberapa orang menjalin kasih dengan Tuhan Yang Maha Esa di bawah pohon, toh seluruh tempat di alam semesta ini adalah milik-Nya. Kita juga harus ingat betapa besar manfaat pohon bagi kita. Regulasi air, udara bersih, pangan, sandang, dan papan kita, semua dikerjakan oleh tumbuh-tumbuhan. Pohon-pohon ini adalah karunia Tuhan yang begitu besar kepada kita semua. Bukankah dengan demikian naungan sebuah pohon boleh kita anggap sebagai salah satu tempat terbaik untuk memuliakan Tuhan?

Pemahaman kedua adalah kita melihat pohon sebagai tempat berdiamnya begitu banyak makhluk hidup. Bila kita ke Bali, Thailand, Kamboja, Myanmar, India, dan tempat-tempat lain yang masih berpegang pada tradisi Dharma, kita akan melihat begitu banyak altar-altar kecil di bawah pohon-pohon besar. Orang awam hanya bilang pohon itu angker, ada penunggunya, ada hantunya, dsb. Tetapi pengertian sebenarnya adalah ada bentuk-bentuk kehidupan yang berdiam di pohon itu. Manusia adalah trespasser (pelanggar). Kita sering melakukan pelanggaran dalam segala hal, sengaja maupun tak sengaja. Dengan tingginya individualisme sekarang ini, bahkan bila kita melangkah di pekarangan orang pun bisa ditodong senapan oleh yang punya. Ini lazim di negara-negara Barat, tapi mungkin di Indonesia belum setajam itu. Tetapi untuk hidup kita banyak melanggar wilayah tempat tinggal berbagai makhluk hidup lainnya. Pada jaman dahulu apabila orang membuat desa, biasanya dengan merabas hutan. Satu pohon beringin besar disisakan atau sengaja ditanam di tengah-tengah desa. Desa-desa di India dan setahu saya di Bali juga memiliki pola seperti ini. Lalu pohon beringin ini menjadi pusat desa, selain Pura tentunya. Di sana penduduk mendirikan altar kecil dan memberikan persembahan makanan, dan lain-lain. Mengapa seperti itu? Kita yakin bahwa begitu banyak makhluk tinggal di pohon. Ketika kita menebang pohon untuk keperluan kita, begitu banyak yang kehilangan tempat tinggal. Kita harus menebang secukupnya saja, dengan betul-betul memperhatikan efeknya pada lingkungan, baik yang kasat mata maupun yang tidak. Jadi kita berusaha selalu ingat, bahwa demi fasilitas yang kita nikmati, banyak makhluk yang kesenangannya kita ganggu dan wilayahnya kita langgar. Para tetua pendiri desa, sebagai contoh, lalu mempersilakan semua makhluk itu untuk berdiam di pohon yang berada di pusat desa. Manusia mengajaknya sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Setiap hari kita menyatakan rasa terimakasih kita dengan memberikan sedikit hasil alam yang kita nikmati dalam bentuk sesaji sederhana. Setiap generasi yang hidup di desa itu harus ingat, bahwa mereka bisa tinggal di sana berkat kerelaan makhluk lain untuk berbagi tempat tinggalnya. Kita tentu tidak bisa membuktikan secara ilmiah, apakah memang benar ada hal-hal semacam makhluk halus yang menjadi penghuni pohon dan sebagainya. Apakah mereka memang mau dan bisa makan sesajian. Kita tidak bisa memastikan. Tetapi seekor semut pun berguna bagi kita, sehingga kita juga perlu berterimakasih pada mereka. Kenyataannya semut-semut itu yang pasti mendapat makanan dari sisa persembahan kita. Paling tidak sikap mental yang baik kita kembangkan. Pikiran dibiasakan untuk berterimakasih, untuk selalu mengusahakan kehidupan bersama yang harmonis, untuk selalu mengingat bahwa manusia hidup tidak sendiri dan memang tidak mampu untuk hidup sendiri.


Pemahaman ketiga adalah kita melihat bahwa dalam Veda ada penghormatan terhadap pohon-pohon tertentu. Tumbuhan yang disucikan oleh umat Hindu antara lain Tulasi, Bael (Bilva), dan Pippala. Di sini pohon-pohon ini dihormati sebagai suatu individu, suatu pribadi yang istimewa. Sebagai contoh, Tulasi terutama dipuja sebagai manifestasi dari Vrinda-devi oleh para Vaishnava. Tulasi merupakan tumbuhan yang disayangi Tuhan Yang Maha Esa Sriman Narayana. Setiap bagian tumbuhan ini adalah mutlak diperlukan dalam segala jenis pemujaan kepada Sriman Narayana. Daun-daunnya dan bunga-bunganya digunakan untuk untaian bunga yang dipersembahkan kepada Tuhan. Kayunya ada dalam kapas tercelup minyak yang digunakan untuk persembahan pelita kepada Tuhan. Selain itu bila digiling menjadi pasta, dia dapat digunakan sebagai penyejuk yang dipersembahkan juga untuk Tuhan. Api homa menyala dengan kayu Tulasi pula. Setiap yajna dan puja tidak sempurna tanpa kehadirannya. Tulasi menyatakan ideal seorang bhakta yang mencintai Tuhan dengan segenap jiwa raganya. Setiap bagian dirinya adalah persembahan bagi Tuhan. Hidupnya adalah semata demi memuliakan Sriman Narayana di dunia ini. Mungkinkah kita mendapatkan teladan lain yang sebaik Tulasi dalam memuja Tuhan? Bahkan hanya dengan berada di dekatnya dan melihatnya, seorang Hindu segera diingatkan akan Sriman Narayana pujaannya. Karena itulah semua keluarga Hindu tradisional biasanya menanam Tulasi di rumahnya dan memujanya setiap hari. Tulasi juga bisa digolongkan sebagai tadiya. Ini adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan segala benda yang berhubungan dengan Tuhan. Semua tradisi Bhakti dalam Hindu menyatakan bahwa tadiya ini juga harus dipuja, karena pemujaan itu akan menganugerahkan bhakti yang semakin dalam kepada Tuhan. Oleh karena itu kita juga mengenal kebiasaan memisahkan semua alat-alat yang digunakan untuk puja (kumbhan, vattil, piring, vastram, ganta, tripada, dsb.), dengan alat-alat yang kita gunakan untuk diri kita sendiri. Alat-alat ini disucikan, bahkan dihormati sedemikian rupa, karena kehadirannya menyatakan kehadiran Tuhan. Pohon-pohon yang memiliki hubungan khusus dengan pemujaan kita pada Tuhan, seperti Tulasi, Bilva, dan Pippala, juga turut dihormati dan dipuja sebagai pribadi-pribadi istimewa.

Tulasi
Pemahaman yang keempat adalah bahwa pohon sendiri merupakan simbolisasi Tuhan, bahkan Citra dari Tuhan Sendiri. Dalam Veda, Citra Tuhan dapat diwujudkan dengan Sila (batu) seperti Salagramam, Lekhya (lukisan) seperti Yantra-Mandala, dan juga Daru atau kayu. Tuhan dalam kayu disebutkan oleh Taittiriya-upanishad (10.12) adau yaddaro plavate sindho pare apaurusam tada ravasva durdano tena yahi parasparam. Citra Tuhan ini, adalah Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu, yang tiada terbentuk oleh tangan makhluk fana, mengapung di atas samudera. Dengan memuja-Nya, kediaman tertinggi dan kesempurnaan yang paling akhir dapat dicapai. Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu ini dijelaskan dalam Purana dan Itihasa sebagai Daru-brahman, yang kini dipuja di Jagannath Puri Orissa, India Timur. Daru-brahman hadir dalam Tiga Wujud yang dikenal sebagai Jagannath, Balabhadra, dan Subhadra. Para Vedanti memahami-Nya sebagai pengejawantahan Ananda (Kebahagiaan Tertinggi), Cit (Kesadaran Tertinggi), dan Sat (Kenyataan Tertinggi atau Kekekalan). Mereka adalah Trimurti Hindu, Vishnu, Rudra, dan Brahma, sekaligus merupakan Adi-parasakti. Para Tantrika memuja-Nya sebagai Adi Bhairava, Uttara-sadhaka, dan Uttara-sadhika. Bagi Vaishnava dinyatakan sebagai perwujudan Paravasudeva dengan berbagai sakti-Nya. Bagi Jaina adalah Sang Jina, dan bagi Buddhis Vajrayana adalah Tri Ratna, sebagaimana tercantum dalam Jnanasiddhi dari Indrabhuti-tantra. Para Adivasi (suku pribumi) tetap memuja-Nya dalam pohon yang berada di desa mereka sebagai Jagant-Kitung atau ada pula yang menyebut-Nya dengan tiga nama Jakeri-penu, Tana-penu, dan Murabi-penu, dalam wujud pilar kayu. Sungguh menarik juga ketika Media Hindu mengatakan bahwa umat Hindu Alukta melihat pohon tertentu sebagai sthana dari Puang Matua atau Tuhan Yang Maha Esa.

Citra Sri Sri Jagannath, Balabhadra, dan Subhadra di Mayapur, Bengala, India.
Persembahyangan di “pohon” memang ada dalam Hindu dan ini bukanlah bentuk keyakinan primitif atau kesesatan yang menjauhkan dari Tuhan Sejati. Tuhan memang berada di pohon, bahkan di setiap tempat dan sudut semesta. Umat Hindu diajarkan dan dilatih untuk melihat kehadiran-Nya yang universal itu. Kita dibawa untuk dapat menghargai dan menghormati alam ciptaan-Nya. Betapa kasih sayang-Nya dan berkat-Nya ada dalam setiap elemen yang menyusun seluruh manifestasi kosmis ini. Mereka yang tidak dapat memisahkan kehidupannya dari alam, menemukan Tuhan di dalam alam itu sendiri. Bahkan Kebenaran Mutlak Tertinggi, Parabrahman, telah mewujudkan Diri-Nya sebagai Daru-brahman, Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu, oleh cintakasih-Nya kepada segenap ciptaan-Nya, terutama bagi mereka yang juga menyayangi ciptaan-Nya.

KEBENARAN MENDASAR TENTANG SANG JIVA


Pengetahuan sejati apapun dalam Veda maupun spiritualisme pada umumnya, maka sungguhlah tidak mungkin bisa dimengerti jika kita tidak memahami dengan tepat dan benar berdasarkan filosofi Veda tentang subyek Jiva-tattva. Jiva-tattva adalah pengetahuan mendasar mengenai keberadaan diri sejati kita. Inilah yang didengungkan selama ini sebagai mengenali diri sendiri. Menjawab pertanyaan paling umum dalam penjajakan spiritual yaitu, “Siapakah Aku?”.

Jiva-tattva adalah titik awal perjalanan ke dalam diri dan pada akhirnya perjalanan untuk kembali kepada Tuhan, Sang Sumber Diri Tertinggi. Karena begitu pentingnya mata pelajaran ini bagi umat manusia, di medan perang Kuruksetra Bhagavan Sri Krishna pertama-tama mengajarkan pengetahuan ini kepada Arjuna, murid dan sahabat karib yang sangat dikasihi-Nya. Kemudian lima ratus duapuluh tahun yang lalu, ketika Bhagavan Sri Krishna muncul kembali dalam avatara-Nya sebagai bhakta, yang dikenal dengan Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu, Beliau kembali mengajarkan pengetahuan yang sama kepada Srila Rupa Gosvami dalam Dasa Mula Tattva yaitu sepuluh kebenaran sejati, sebagai berikut:

Sriman Mahaprabhu Caitanyadeva menganugerahkan ajaran Dasa-mula-tattva kepada Sri Rupa Goswamipada

1. Pramana: ajaran suci Veda yang diterima melalui guru-parampara dikenal sebagai amnaya (makna yang diresapkan ke dalam ingatan), bukti-bukti tak terbantahkan dari Veda, dari smrti-sastra terutama Srimad Bhagavatam, termasuk pula bukti-bukti dari persepsi indria secara langsung (pratyaksa), yang sejalan dengan bimbingan Veda, semua ini diterima sebagai pramana atau bukti. Pramana ini menegakkan prameya (kebenaran-kebenaran mendasar yang dibuktikan) berikut ini.
2. Parama-tattva: Hanyalah Sri Krishna Sendiri yang merupakan Kebenaran Mutlak Tertinggi.
3. Sarva-shaktiman: Sri Krishna adalah pemilik dari berbagai shakti yang beranekawarna dan tiada batasnya.
4. Akhila-rasamrta-sindhu: Dia adalah samudera manisnya rasa yang bagaikan madu kekekalan.
5. Vibhinnamsa-tattva: Baik jiva-jiva mukta (yang terbebas) maupun baddha (yang terikat) adalah bagian dan percikan-Nya yang terpisah (tidak sama) selamanya dari Dia.
6. Baddha-jiva: jiva-jiva terikat yang diselubungi maya
7. Mukta-jiva: jiva-jiva dalam pembebasan yang tak terikat maya.
8. Acintya-bheda-abheda-tattva: Seluruh alam semesta, yang terdiri dari jiva-jiva yang hidup dan memiliki kesadaran (cit), serta benda yang tidak memiliki kesadaran (acit), adalah acintya-bheda-abheda-prakasa dari Sri Hari, yaitu suatu manifestasi yang satu, sekaligus juga berbeda dengan Dia, dengan persamaan dan perbedaan yang tak dapat terjangkau oleh pikiran.
9. Suddha-bhakti: pelayanan dalam pengabdian suci yang murni adalah satu-satunya latihan rohani (sadhana) untuk mencapai tujuan tertinggi yang paling utama.
10.Krishna-priti: cinta dan kasih sayang rohani kepada Sri Krishna adalah satu-satunya tujuan akhir segala pencapaian.”
Dalam ajaran Bhagavad-gita dan Vedanta Sutra juga dijelaskan lima mata pelajaran pokok yaitu :
1. Isa tattva, kebenaran filosofis tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspek dan kekuatan-Nya.
2. Jiva tattva, kebenaran filosofis tentang identitas dan eksistensi makhluk hidup.
3. Prakrti, manifestasi alam material
4. Kala, pengaruh waktu terhadap makhluk hidup dan ciptaan material, dan
5. Karma, berbagai aktivitas makhluk hidup di dunia ciptaan material ini dalam usahanya mencari kebahagiaan.
Dalam membahas jiva tattva ini, berkaitan erat dengan mata pelajaran lainnya karena ia merupakan bagian yang tak terpisahkan.

Jiva-tattva atau vibhinnamsa-tattva, kebenaran sejati mengenai sang roh, merupakan salah satu kebenaran yang paling penting dan paling wajib untuk diketahui oleh semua jiva dalam kecerdasan yang telah berkembang sempurna, terutama dalam kehidupan manusia. Pemahaman yang baik mengenai jiva-tattva ini merupakan modal utama seseorang untuk menempuh jalan rohani yang sejati. Lebih lanjut dalam Dasa-mula juga dibicarakan mengenai mukta-jiva, kebenaran mengenai para roh yang berada dalam pembebasan, dan baddha-jiva, kebenaran mengenai para roh yang terikat oleh khayalan.

Menurut Vedanta, kita tidak akan pernah mempunyai sebuah teori yang menjangkau segala sesuatu jika hanya menyangkut materi atau interaksi-interaksi partikel-partikel material saja. Vedanta menyatakan, terlepas dari materi yang sifatnya tidak giat (inaktif), terdapat realitas lain di alam ini. Dialah partikel spiritual fundamental (disebut atman atau jiva dalam terminologi Vedanta), yang kini disebut sebagai “spiriton”* dalam bahasa ilmiah. Ia adalah partikel transendental dan secara ontologik berbeda dengan materi. Ia memiliki sifat sadar dan kebebasan bertindak atau berkehendak, berlawanan dengan partikel-partikel material seperti elektron, dsb. Hanya atas kehadiran dari spiritonlah materi kelihatannya hidup. Dalam Vedanta ”materi hidup” ini disebut sebagai kehidupan yang membadan.

Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu menjelaskan kepada Srila Rupa Gosvami bahwa di dalam alam semesta ini ada makhluk hidup yang jumlahnya tidak terhingga yang menurut kegiatan mereka yang dimaksudkan untuk membuahkan pahala, berpindah-pindah dari satu jenis kehidupan ke kehidupan yang lain dan dari satu planet ke planet yang lain. Dengan cara ini, keterikatan mereka dalam eksistensi alam duniawi ini telah berlanjut sejak jaman yang sangat purba. Walau kenyataannya semua makhluk hidup ini adalah percikan-percikan yang sangat kecil, yang tak terpisahkan dari Jiwa Yang Utama, Bhagavan Sri Krishna, Tuhan Yang Maha Esa.

(*istilah spiriton untuk substansi adiduniawi ini diusulkan dan dipopulerkan oleh Srila Sripada Maharaja - T.D. Singh, PhD.)