OM SRI SAIRAM

OM SRI SAIRAM........

Rabu, 29 Desember 2010

Belajar dari Sebuah Pengalaman


Hampir semua umat Hindu di dunia ini pasti tahu Bukit Suci Thirumala, di Thirupati, Andhra-pradesh, India. Thirumala adalah rangkaian tujuh bukit, sehingga disebut juga Saptagiri. Di puncak bukit ke tujuh yang paling tinggi, adalah Pura Agung Tuhan Venkateshwara, atau di India Selatan dikenal sebagai Srinivasa Perumal dan di Utara lebih termashyur sebagai Balaji. Pura Agung ini adalah tempat perziarahan paling popular di seluruh dunia dan merupakan institusi keagamaan yang terkaya di dunia, bahkan melebihi Mekkah dan Vatican. Pada hari-hari biasa, minimal 10 ribu orang akan berdesakan dan mengantri berjam-jam untuk dapat masuk dan melihat sekilas Archa Tuhan Srinivasa, yang merupakan salah satu Svayamvyakta-murti atau Citra Suci yang terwujud sendiri tanpa sentuhan tangan makhluk fana.


Pura Agung Tuhan Srinivasa ada di puncak tertinggi bukit ini yang disebut Thirumala. Kita berjalan dari kota Thirupati di bawah. Lihat puncak-puncak menara gapura yang menandai jalur tangga-tangga mendaki bukit ini

Pura Agung ini dikelola oleh semacam badan khusus disebut Thirumala Thirupati Devasthanam (TTD) yang mengatur berbagai hal, mulai dari keteraturan berlangsungnya ritual di kuil, akomodasi para peziarah, mengelola dana yang berasal dari sumbangan umat, sampai menyalurkannya untuk kegiatan-kegiatan sosial di berbagai bidang seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, proteksi dan pelestarian budaya Hindu, dsb. Karena luar biasanya kepopuleran Pura ini, sampai-sampai TTD juga menerapkan sistem ticketing untuk berbagai hal yang mungkin akan dilakukan oleh peziarah. Mulai dari sekedar masuk Pura dan darshan kepada Tuhan Srinivasa, melakukan persembahan khusus, dan mengikuti upacara-upacara yang terjadwal dalam kehidupan keseharian Pura ini. Semakin mudah dan cepat bisa masuk ke dalam Pura, maka semakin mahal harga tiket yang harus dibayar. Jadi kita mengenal pembelian tiket sampai booking tiket VIP dan VVIP untuk sekedar masuk ke dalam Pura. Sistem ini selain membantu keberlangsungan dukungan dana untuk Pura, juga mempermudah bagi peziarah yang memiliki sedikit waktu. Bayangkan saja dengan waktu libur kita yang terbatas di luar India, kita jauh-jauh datang ke Thirumala, lalu harus antri lagi berjam-jam.

Dengan nilai uang yang sangat tinggi di India banyak yang tidak dapat membeli tiket VIP apalagi VVIP, padahal bagi kita orang Indonesia yang mampu ke luar negeri, 200 – 300 ribu bukan jumlah yang berarti. Itu karena nilai uang kita sangat rendah di negara kita sendiri. Bayangkan negara-negara yang nilai mata uangnya jauh lebih tinggi dari Indonesia. Jadi ticketing ini cukup menguntungkan bagi peziarah yang datang dari luar India seperti kita. Beberapa saudara kami yang ke Thirumala, semua membeli tiket VVIP. Tapi itupun membuat mereka harus antri 2-3 jam untuk masuk dan melihat ke dalam Ruang Mahasuci (hanya kurang dari 10 detik!).

Seorang paman berkisah kepada saya. Dia datang berziarah ke Thirupati dan hendak membeli tiket VVIP. Dengan nilai mata uang negaranya, tentu beliau termasuk orang yang sangat berada bila di India. Sayang, semua tiket VVIP, bahkan VIP biasa pun sudah habis. Uring-uringan mereka sekeluarga terpaksa mengikuti jalur biasa yang bisa memakan waktu 5-6 jam, mendaki ribuan anak tangga yang melalui keenam bukit menuju bukit ke tujuh yang paling tinggi. Ribuan peziarah lokal dari kalangan bawah juga mengikuti jalur yang sama, karena mereka memang tidak punya uang untuk membeli tiket VIP apalagi VVIP seperti “turis kaya” semacam kita.

Sekeluarga peziarah sederhana baru saja datang dari Pura Tuhan Srinivasa di puncak bukit. Mereka yang tidak mempersembahkan harta paling tidak berusaha mempersembahkan rambut mereka, sebagai ungkapan syukur dan rasa terimakasihnya kepada Tuhan. Ini adalah praktik relijius yang sangat khas di Thirumala

Satu keluarga berpenampilan miskin dan lusuh menjadi teman seperjalanan keluarga paman. Paman bertanya kepadanya dia datang dari mana. Dia menyebut sebuah desa yang cukup jauh juga sekalipun masih dalam negara bagian Andhra. Lalu bagaimana dia datang ke sini? Mereka sekeluarga ternyata berjalan kaki dari desanya karena tak ada biaya untuk sewa kendaraan! Lalu sudah berapa kali mereka berziarah ke Thirupati? Sang ayah berkata kalau dia sejak usia 7 tahun selalu ke Thirupati setiap tahun tanpa absen (kira-kira dia berusia 35-40 tahun saat pertemuan itu). Wow! Dan dia selalu menempuh jalan yang sama, karena dari sekian tahun yang lalu ekonomi keluarga mereka tidak pernah membaik. Selama sekian tahun dia berjalan kaki dari desanya, lalu mendaki ribuan anak tangga sampai ke puncak bukit ke tujuh, mengantri berdesakan selama 5-6 bahkan pernah 8-12 jam (ini biasa kalau ada perayaan besar seperti Brahmotsava, “perayaan ulang tahun” Pura Agung itu), dan itu hanya untuk dapat melongok ke dalam Ruang Mahasuci yang tak lebih dari 10 DETIK!

Satu-satunya foto asli Archa Tuhan Srinivasa Perumal yang pernah dibuat. Karena manajemen Pura melarang keras kegiatan dokumentasi elektronik apapun terhadap Archa Beliau yang asli ini karena alasan keamanan. Perhatikan bagaimana perhiasan emas dan mahkota bertatahkan berlian menghiasi Beliau. Bahkan kain yang Beliau kenakan ditenun dari benang-benang emas halus seberat 2-3 kilogram. Karena besarnya jumlah peziarah, kita hanya bisa memandang Beliau di Ruang Mahasuci kurang dari 10 detik

Paman baru sekali lewat jalur non VVIP ini. Dia bertanya, “Apa yang anda cari di sini. Apa yang anda mohon setiap tahun dari Tuhan Srinivasa dengan menempuh kesulitan begitu besar?” Si ayah, kepala keluarga yang miskin ini menjawab, “Saya tidak mencari apa-apa. Saya tidak memohon apa-apa. Saya hanya ingin memperlihatkan pada Tuhan Srinivasa bahwa selama setiap tahun ini saya baik-baik saja dan sekarang saya membawa keluarga saya juga untuk memperlihatkan bahwa mereka baik-baik saja. Saya datang untuk berterimakasih karena Tuhan Srinivasa selama sekian lama sudah merawat saya dan kami semua dengan begitu baik.”

Airmata Paman menetes (saya yang mendengar cerita ini juga meneteskan airmata). Paman sudah merasakan, bahwa dengan bertemu keluarga ini, seluruh perziarahannya ke Thirupati Thirumala sungguh-sungguh berhasil. Perziarahan ke Pura Agung paling termashyur di dunia ini dan Darshan 10 detik kurang itu sekarang benar-benar bermakna. Tuhan Srinivasa Sendiri sudah mengajarkan kepada kami, bagaimana sesungguhnya cinta sejati kepada-Nya. Inilah bagaimana kunjungan ke sebuah Pura merubah pandangan kami terhadap hidup ini, terhadap diri kami, dan terhadap Tuhan. Inilah bagaimana Tuhan yang bertahta sebagai Sri Srinivasa Perumal dalam bentuk sebuah arca batu hitam yang tak dibuat oleh makhluk fana manapun, telah mengubah hati kami!

Pemujaan Citra Suci Tuhan


Kini kita akan membahas secara mendalam topik yang paling sering disalah pahami oleh orang-orang Non Hindu, terutama mereka yang termasuk dalam tradisi Abrahamik. Inilah topik yang paling sering diserang oleh mereka yang ingin melakukan konversi atau proselitasi terhadap umat Hindu. Suatu karakteristik Hindu yang dianggap sebagai salah satu kelemahan kita, yang bahkan membuat umat Hindu sendiri terkadang merasa malu dan menolak keberadaannya. Itulah pemujaan Citra Suci, Srimurti, atau Archa-avatara. Sekalipun dalam posting-posting terdahulu saya sudah menceritakannya, namun kita belum pernah tahu kenapa pemujaan pada Srimurti, bagaimana pun kita berusaha menghapuskan, menyangkal, dan mencoba menyingkirkannya dengan pemikiran rasional, namun masih tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari Hindu sejak berabad-abad.


Sebuah Pura atau Archa Hindu dihancurkan sudah biasa... kalau mau digali pasti banyak sisanya seperti yang ditemukan oleh Badan Arkeologi India di bawah dasar Masjid Babri Ayodya. Tapi "pemuja Archa" belum kapok juga.. (gb.hindujagruti)
Bila anda kebetulan seorang Hindu pemula atau justru orang non Hindu yang tak terbiasa dengan pemujaan sejenis ini. Lalu ingin bertanya pada seorang Hindu, setidaknya yang cukup ahli, maka cobalah buka ensiklopedia Hindu, atau buku-buku Hindu yang ditulis oleh para rohaniwan Hindu populer, anda pasti akan menemukan jawaban sama. Coba saja lihat di Wikipedia misalnya. Jadi saya tidak akan mengulang lagi jawaban-jawaban itu. Saya akan membuka sebuah rahasia dari pemujaan Archa yang sesungguhnya.

Ya, dalam Hindu kita memang mengenal pemujaan Citra (Ikon) atau Tuhan yang diwujudkan secara fisik. Ini disebut Srimurti-puja. Ada beberapa orang yang tersentak oleh teori pemujaan Srimurti. Kata mereka, “Oh pemujaan Srimurti adalah penyembahan berhala! Srimurti adalah berhala yang dibuat oleh seniman dan diperkenalkan tiada lain oleh Setan-Iblis, Baalzebub dan Lucifer sendiri. Memuja objek seperti itu akan membangkitkan kecemburuan Tuhan dan membatasi kemahakuasaan, kemahatahuan dan kemahaadaan-Nya!” Kepada mereka kami akan berkata, “Wahai saudara, nyatakanlah keingintahuanmu secara tulus dan jangan biarkan dirimu dibuat salah paham oleh dogma-dogma yang bersifat sektarian. Tuhan tidaklah mungkin cemburu, karena Beliau adalah yang tunggal tiada duanya. Baalzebub atau Satan tak lain hanyalah objek imajinasi atau perumpamaan belaka. Makhluk imajiner atau perumpaan seperti itu seharusnya tidak boleh menjadi penghalang cintamu kepada Tuhan (bhakti).”

Mengapa beberapa orang berdoa dan menyembah harus menengadah... apakah langit (atau atap rumah) adalah Tuhan?
Mereka yang meyakini Tuhan sebagai impersonal mengidentikkan Beliau dengan suatu kekuatan atau atribut dalam Alam, misalnya saat kita berdoa kita menengadah ke langit atau menyebut Tuhan dengan istilah Yang Di Atas, walaupun sesungguhnya Beliau jauh lebih luhur, mengatasi Alam, hukum maupun aturan-aturannya. Keinginan-Nya adalah hukum dan akan menjadi tidak adil bahkan bila kita “membatasi” keunggulan-Nya yang tak terbatas dengan atribut-atribut seperti mahakuasa, mahatahu, dan mahaada; atribut-atribut yang juga bisa dimiliki oleh objek-objek yang diciptakan seperti ruang dan waktu.

Sri Krishna menunjukkan Wujud Semesta-Nya yang meliputi segala manifestasi dan segala bentuk kepada Arjuna.
Termasuk dalam keunggulan-Nya adalah bahwa di dalam Diri-Nya segala sifat dan kekuatan yang saling bertentangan berada di bawah pengendalian Diri-Nya yang adiduniawi (seperti Beliau mahabesar, juga mahakecil). Beliau Sendiri hanyalah identik dengan Persona-Nya Sendiri yang penuh segala keindahan, memiliki berbagai kekuatan seperti kemahaadaan, kemahatahuan, dan kemahakuasaan, yang tak dapat disamai oleh apapun. Pribadi-Nya yang suci dan sempurna ada secara kekal di dunia rohani dan pada saat yang sama juga ada dalam tiap ciptaan di mana-mana dalam segala kesempurnaan-Nya. Pemikiran seperti ini melampaui segala pemikiran tentang bentuk Citra apapun. Pemujaan Citra dalam Veda dikembangkan dalam konsep ini, dengan kesadaran penuh akan ketidakterbatasan Tuhan.

Wajah Hindu


Sebelumnya kita membicarakan wajah Hindu. Yah..., sebaik apapun kita mengatakan apa isi hatinya, tetapi tetap saja orang biasanya menilai dari wajah. Sayangnya wajah Hindu mungkin adalah wajah yang paling sering “digambarkan” oleh orang lain. Orang boleh dibilang jarang mengenal wajah Hindu dari “langsung bertemu dengannya”. Memang biasanya umat Hindu sendiri seringkali sungkan menggambarkan “wajah” agamanya sendiri. Orang Bali (Hindu) sering berkata dengan rendah hati, “Depang anake ngadanin, biarlah orang lain yang menilai.” Ternyata tepat sekali, selama ini Hindu sellu dilihat dari mata para Indolog asing seperti Max Muller dan teman-teman. Bahkan penilaian mereka ini justru dengan bodohnya diakui oleh umat Hindu sendiri. Betapa buruknya pengaruh penilaian luar ini bahkan terhadap cendikiawan Hindu sendiri

Sayangnya penilaian manusia memang umumnya subjektif. Inilah yang sering dilupakan oleh umat Hindu. Penilaian subjektif selalu dibentuk oleh berbagai karakteristik mental si penilai. Kalau sudah dari awal pikiran diset buruk, maka apapun yang dilihat adalah buruk. Sekali lagi inilah kondisi di alam duniawi ini, alam relativitas. Kalau penilaian bisa bersifat subjektif seperti ini maka umat Hindu juga berhak melakukan penilaian subjektif terhadap agamanya sendiri. Ketika kita sendiri meyakini bahwa agama adalah suatu pilihan, maka kita adalah yang paling bertanggung jawab menjelaskan penilaian kita atas pilihan kita sendiri itu. Maka yang paling berhak dan paling berkewajiban menghadirkan wajah Hindu adalah umat Hindu sendiri. Orang-orang yang langsung bertemu dengannya bahkan hidup bersamanya.


Dalam khusuknya kesendirian...


.... maupun gempitanya perayaan dan kebersamaan.
Doa Hindu adalah demi seluruh dunia
Papan nama Hindu adalah, “sarve janas sukhino bhavantu. loka samasta sukhino bhavantu. sarve badrani pasyantu, samasta sanmangalani santu, semoga semua orang berbahagia, semoga seluruh dunia berbahagia, semoga semuanya tumbuh dan berkembang, semoga segalanya mendapat kebaikan, semoga di mana-mana ada kedamaian.” Inilah kata kunci Veda. Singkatnya semoga semua orang, tak peduli status sosial, keyakinan, dan agamanya dapat hidup harmonis dan berbahagia. Hindu tidak mengajarkan jalan keselamatan yang egois. Kita tidak menggantungkan diri pada satu tuhan dan utusannya yang sewenang-wenang. Yang hanya menyelamatkan pemujanya, seberapa besarpun mereka berbuat kerusakan di bumi dan membuang sisa seluruh umat manusia ke neraka, sebaik apapun mereka bertingkah laku di dunia.

Veda mengajarkan bahwa dengan menyesuaikan tingkat kesadaran, maka kita dapat menentukan masa depan kita. Kitalah yang memutuskan untuk menempatkan diri dalam tingkat kesadaran yang mana. Apakah dalam pemuasan kebutuhan duniawi semata atau dalam keinsafan akan Tuhan. Semakin tinggi dan rohani tingkat kesadaran masyarakat, maka perubahan-perubahan buruk dalam masyarakat dan bumi secara keseluruhan akan berkurang. Segala sesuatu di dunia akan menjadi selaras dan seimbang. Kita diajarkan bahwa keadaan dunia ini merupakan cerminan dari kesadaran para penduduknya. Ketika umat manusia dapat bekerja sama secara harmonis dengan alam, maka alam tidak akan membuat kita menderita dengan bencana dan sebagainya. Ketika manusia dan alam seimbang, maka alam akan memberikan segala sesuatu yang kita butuhkan untuk hidup yang baik. Jadi umat Hindu tidak cuma berusaha menyimpan kenikmatan eksternal dari alam surga yang dinantikannya setelah mati seperti pada agama lain. Kita diajarkan untuk membangun kebahagiaan internal dalam arus kesadaran rohani. Kebahagiaan itu bersumber dari cintakasih rohani kita kepada Tuhan, yang kemudian memancar, meluas kepada semua makhluk dan seluruh alam semesta. Kebahagiaan itu harus dibagikan kepada dunia tanpa membeda-bedakan.

Di dalam persembahyangan pribadi di rumah sendiri pun kita mendoakan seluruh dunia...

Tidak seperti pencitraan orang selama ini, sesungguhnya tidak ada diskriminasi dalam Hindu, baik antara pengikutnya sendiri maupun terhadap umat beragama lain. Sistem kasta adalah noda yang paling sering dilekatkan pada wajah Hindu. Diskriminasi berdasarkan kelahiran, pelanggaran hak asasi manusia, dan ketidakadilan pada kemanusiaan. Kasus-kasus kaum Dalit atau keterbelakangan hidup para Adivasi (suku-suku asli pedalaman), ditambah teori Invasi Arya atau pemecahan Aryan dengan Dravidian ciptaan penjajah Barat seakan memperkuat kenyataan ini di dalam masyarakat Hindu. Tentu umat Hindu pun sudah lelah menyatakan bahwa kasta bukan bagian dari ajaran agamanya. Walau demikian bila mau jujur, kita toh sadar tetap saja kasta dan pelapisan sosial, disebutkan atau tidak, diakui atau tidak, diinstitusikan atau tidak, memang sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Sistem kasta semacam itu tak lebih dari permasalahan sosial yang alamiah, muncul tanpa perlu dasar relijius atau teologis, dan memang selayaknya diselesaikan sebagai bagian dari perbaikan kehidupan sosial masyarakat.




Kekejaman akibat sistem kasta yang "sebenarnya"
Tetapi kita sering melupakan sistem kasta yang sebenarnya jauh lebih mengerikan. Diskriminasi antara orang percaya dengan yang tidak percaya, antara kaum beriman dengan orang kafir. Diskriminasi yang tak hanya dilekatkan untuk hidup ini saja tetapi juga setelah kematian, hanya dengan berdasarkan sistem klasifikasi paling kasar dan tidak masuk akal. Pengakuan eksternal terhadap suatu “kebenaran” yang tak dapat dikenal. Diskriminasi yang telah terbukti sepanjang sejarah telah membawa dampak yang paling mengerikan bagi kemanusiaan. Suatu kisah yang diwarnai oleh perang, pembantaian, penjarahan, tertumpahnya darah, kucuran airmata, hancurnya banyak peradaban, punahnya keanekawarnaan budaya, dan musnahnya banyak suku bangsa. Semuanya terjadi hanya karena konsep kasta yang paling menyeramkan ini. Kita tidak pernah bermaksud mengobarkan rasa amarah atau dendam, tetapi inilah kenyataan yang harus kita terima bersama. Akankah kesalahan masa lalu harus terulang? Semua berada di tangan kita.

Veda justru mengajarkan sama-darsana, melihat persamaan dan kesejajaran semua makhluk. Hal ini sejalan dengan pemahaman mendasar yang diberikan Veda mengenai atma. Semua makhluk sejatinya adalah atma, yang semua merupakan bagian dari Tuhan Yang Maha Esa, Paramatma, Roh Tertinggi. Semua kehidupan pada dasarnya adalah suci. Kanchi Sankaracharya Sripada Candrasekharendra Sarasvati (Sri Maha Periyava) berkata, “Perhatian kepada segenap ciptaan Tuhan ini, yang kita temukan terungkap oleh Veda, tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Sanno astu dvipade sancatuspade... ini terdapat dalam suatu mantra Veda. Veda berdoa bagi kebaikan semuanya, makhluk berkaki dua, berkaki empat, dan sebagainya. Bahkan rumput, semak, pepohonan, gunung-gunung, dan sungai-sungai tak luput dari lingkupnya yang damai. Melalui keutamaan Veda yang begitu spesial, semua makhluk hidup dan benda mati dibawa ke dalam keadaan yang bahagia.” Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak aspek yang indah dari Hindu. Veda mengajarkan untuk tidak saja memikirkan kesejahteraan diri pribadi dan umat seagama saja, tetapi mendoakan kebaikan bagi seluruh makhluk hidup, manusia, hewan, tumbuhan, dan segenap alam. Inilah wajah yang harus kita gambarkan, kita perkenalkan, dan dengan tegas kita nyatakan. Wajah dari “yang kita cintai”. Cinta mungkin memang bisa membutakan, tapi inilah yang dengan tegas dan jujur kita katakan. Inilah wajah Hindu yang kita kenal, yang dikenal baik oleh para pengikutnya yang telah berhasil bertahan selama berabad-abad dalam berbagai tekanan. Kita harus menyampaikannya dengan penuh keyakinan, melebihi keyakinan “mereka” akan kebenaran penilaiannya terhadap wajah Hindu.

Mengasihi hewan dalam Go Puja...
Memberinya makanan dari tangan sendiri dengan kasih sayang seperti seorang saudara

Saling Gugat

Non Hindu (NH): Mengapa umat Hindu menyembah benda mati bukan Tuhan yang sejati dan hidup?

Hindu (H): Itu katamu, bukan kami. Kami memuja Parabrahman Sri Bhagavan, Kebenaran Mutlak yang Utama dan Pribadi Tertinggi yang asli.

NH: Tapi di Pura-Puramu kamu memuja patung batu, mempersembahkan sesaji dan menyembahnya.
H: Kamu cuma bisa melihat batu, tapi kami melihat Rupa menakjubkan dari Sri Bhagavan yang kami cintai sepenuh hati.

NH: Tuhan Mahabesar, Mahaagung, Tak Terbatas, Mutlak, Mahakuasa, tak berwujud, tidak menyerupai apapun. Bagaimana kamu bisa mengatakan melihat Rupa-Nya?
H: Kamu tidak melihat tapi kami melihat. Kamu tidak tahu tapi kami tahu. Para Rishi kami mengetahui Rupa sejati Beliau tetapi kamu tidak. Dalam sastra suci kami Tuhan mengungkapkan Rupa-Nya tetapi dalam sastramu tidak. Kami mengenal-Nya dengan baik tetapi kamu tidak. Lalu mengapa kamu bisa mengatakan kami salah atau benar, sedangkan kamu tidak tahu apa-apa?

NH: Kalaupun Tuhan berwujud, tetapi kamu tidak bisa membuat citra-Nya. Kamu tidak bisa membuat gambar-Nya, patung-Nya, atau ukiran-Nya. Sekalipun mungkin bentuk-bentuk ini bisa mengingatkanmu kepada-Nya, sebagai objek untuk membantu memusatkan pikiran kepada-Nya seperti yang sering dikatakan oleh pemuka-pemuka agamamu, tetapi tetap saja kamu tidak bisa menyembahnya. Foto seseorang bagaimana pun sempurnanya bukan orang itu sendiri. Orang bodoh pun tahu ini.
H: Itu keterbatasanmu bukan keterbatasan Tuhan. Fotomu memang berbeda dengan dirimu. Memberikan makanan pada fotomu tidak akan membuatmu kenyang. Tapi Tuhan tidak seperti kamu. Beliau Mahakuasa, paramasvatantra, tidak terikat oleh syarat-syarat apapun. Satyasankalpa, segala hal dimungkinkan bagi Beliau. Sarvasaktiman, Beliau adalah pemilik dari segala kekuatan yang tak terbatas, sumber dari energi rohani maupun duniawi. Beliau juga adalah paramakrupalu, yang paling berkarunia. Oleh karunia Beliau yang tiada sebabnya, nirhetuka-krupa, Beliau telah mengungkapkan Veda dan Agamasastra seperti Pancaratra, yang memungkinkan kami mengundang kehadiran rohani Beliau di dalam Rupa Archa-Nya. Oleh kemurahan hati-Nya kepada kami, Beliau telah memberitahukan rahasia ini. Beliau telah memberitahu kami bagaimana caranya memohon kehadiran Beliau dan Beliau sangat mengasihi kami sehingga Beliau juga bersedia hadir seperti itu demi kami. Setelah itu kami dapat melakukan pelayanan secara langsung kepada Beliau melalui Archa-Nya. Bukan salah kami jika Tuhan tidak memberikan keistimewaan ini kepada kamu.

NH: Bila Tuhan benar-benar hadir dalam Archa-Nya yang kalian sembah, lalu kenapa kami bisa meremukkannya menjadi debu? Mengapa kami dapat menghancurkan Pura-Puramu dengan mudah? Mengapa Dia hanya diam saja melihat tempat suci-Nya diporak-porandakan?
H: Kami menerimanya sebagai pelajaran dan karunia juga dari Beliau. Peristiwa mengerikan semacam ini tidak membuat kami sedikitpun kehilangan keyakinan kepada Tuhan. Dengan ini Beliau memperlihatkan kepada kami, bahwa masih ada kekurangan dalam cinta dan pelayanan kami kepada Beliau, sehingga kehadiran Beliau yang rohani tidak ada lagi dalam Archa-Nya. Ini berarti kami harus memperbaiki kekurangan kami. Dengan melenyapkan Rupa Beliau yang tertampak di mata kami, Beliau telah hadir dalam Rupa-Nya yang jauh lebih mulia di hati kami, tempat kami memuja-Nya dalam kerinduan kami. Lihatlah bagaimana Sri Thyagaraja memuja Sri Rama ketika Archa Sri Rama pujaannya dibuang ke sungai. Dia bertemu dengan Sri Rama setiap saat, setiap detik, melihat-Nya dalam hatinya. Dapatkah kamu memuja Tuhan seperti ini? Beliau juga ingin memperlihatkan sesuatu yang lain kepada mata dunia. Atau lebih tepatnya kamu sendiri yang menunjukkan kepada dunia, betapa bodohnya dirimu. Bagaimana kamu bisa berpikir dengan menghancurkan Archa-Nya kamu sudah bisa melenyapkan Tuhan? Sekalipun bila benar patung-patung itu tidak memiliki nilai rohani sama sekali. Tidak ada kenyataan apapun yang kamu buktikan dengan menghancurkannya. Hanya kebodohan, kemarahan, dendam, pengendalian diri yang lemah, dan keterikatanmu pada hal-hal duniawi yang dapat kamu pamerkan. Kamu mengatakan itu hanya benda mati, tetapi kenapa tuhanmu yang sejati begitu takut padanya. Kenapa dia merasa benda-benda ini dapat menyainginya dan mengurangi keimananmu kepadanya? Lalu bila dia sungguh mahakuasa, mengapa dia tidak turun sendiri ke sini dan menghancurkan tuhan-tuhan “palsu” saingannya, supaya kami bisa sadar dan turut meyakininya? Ketika Pura-Pura kami dihancurkan, kami tidak melihat kegeraman murka tuhan sejati yang dijatuhkan pada penyembahan tuhan kami yang kalian kutuki. Kami justru melihat kebodohan besar sekelompok orang yang begitu menjijikkan dan tak mengenal budaya, yang mengikuti perintah tuhan yang sama lemah dan tidak beradabnya. Dengan demikian Beliau mengajarkan dan menunjukkan kepada kami secara nyata, siapa yang harus didengar, siapa yang harus dipercayai.

NH: Kamu sangat ahli berfilsafat sehingga hatimu membatu dan tidak dapat menerima firman tuhan yang benar. Filsafat dan pengetahuan ini semua berasal dari Iblis.
H: Iblismu lebih pintar dari tuhanmu, dia lebih licik dan pandai, mengapa kami harus percaya pada tuhan yang ada saingannya seperti itu? Wajar saja kalau akhirnya orang bisa-bisa lebih memilih ikut iblis saja. Bhagavan Sri Krishna yang kami puja tidak memiliki saingan, satu tiada dua-Nya, segala pengetahuan berasal dari-Nya, Beliau adalah sac-cid-ananda-vigraha, yang wujud-Nya kekal, penuh pengetahuan dan penuh kebahagiaan. Kami belajar agar hati kami sepenuhnya dirohanikan agar Tuhan berkenan bersemayam di dalamnya. Karena itu kami dapat melihat kehadiran Tuhan di mana-mana. Tapi hatimulah yang membatu dipenuhi berbagai konsep duniawi sehingga hanya bisa melihat batu sebagai batu saja. Sekalipun Tuhan hadir di hadapanmu, yang kamu lihat hanyalah batu. Ini ketidakberuntunganmu, bukan kami.

NH: Kamu sudah menghina tuhan dan agama kami. Kamu menjelek-jelekkan kepercayaan kami dan menghujat tuhan.
H: Kamu terlalu miskin untuk membeli cermin...

Pemujaan Avatara


Kita sering mendengar orang-orang lain bertanya, "Mengapa orang Hindu juga memuja manusia-manusia dalam kisah mitologi? Sekalipun mereka tampak sangat hebat namun masih memiliki kekurangan". Ini pastilah pertanyaan tentang konsep Avatara dan pemujaan-Nya dalam Hindu.

Para bhaktivedanta-bhagavata-acharya menjelaskan bahwa Para-brahman adalah Pribadi Tuhan Yang Maha Esa Sri Bhagavan. Rupa Beliau yang kekal merupakan pujaan dan tujuan tertinggi yang dinyatakan dalam Veda-Vedanta. Bagi para bhakta-Nya, Para-brahman adalah Sri Sri Radha Krishna atau Divya-dampathi Sri Sri Laksmi Narayana atau Sri Sri Sita Rama.

Sri Sri Sita Rama Laksmana Bharata Satrughna dan Hanuman
Walau demikian ketika kita mempelajari Purana dan Itihasa yang menguraikan kegiatan rohani (lila) Tuhan ketika turun ke dunia atau dikenal sebagai Avatara, terkadang kita melihat adanya kekurangan, kelemahan, dan sifat negatif yang dimiliki oleh makhluk fana. Jadi keraguan dalam pertanyaan ini dapat dipahami. Seperti dalam Diri Sri Rama yang diuraikan dalam Srimad Ramayana, kita melihat bahwa Sri Rama meratap sedih ketika ditinggalkan oleh Sita. Beliau juga marah ketika penguasa samudera tidak kunjung menampakkan diri saat Sri Rama memanggilnya. Kebohongan dan penipuan juga mewarnai kisah Sri Krishna. Sehingga timbullah pertanyaan, bila ini sungguh Parabrahman yang hadir di dunia, mengapa ada berbagai kekurangan ini? Ada kalanya pula Tuhan hadir dalam kedudukan yang lebih rendah dari seseorang. Seperti misalnya Vamanadeva menjadi saudara muda dari Indra, Sang Raja Surga yang digulingkan dari tahtanya oleh Maharaja Bali Cakravarthi. Vamana bertindak sebagai bawahan Indra dan membantunya kembali ke surga dengan melakukan suatu muslihat untuk menaklukkan Bali Cakravarthi. Di kemudian hari setelah Bali terusir dan jatuh ke daerah Patala, sebagai balasan atas kerelaannya menyerahkan seluruh dunia kepada Indra, Vamana kemudian menjadi penjaga pintu istana Bali. Bagaimana mungkin Tuhan Yang Mahatinggi bertindak sebagai seorang dewa yang tak penting di bawah kekuasaan Indra, kemudian setelah melakukan kewajiban-Nya terhadap Indra, Beliau pergi ke alam bawah untuk menjadi pelayan dari seorang raja yang jatuh?

Sri Krishna mencuri mentega
Apakah semua cerita Purana ini adalah hanya mitologi, perumpamaan, atau justru hanya dongeng semata? Mungkinkah Sri Rama, Sri Krishna, Sri Vamanadeva, dsb. adalah benar-benar Pribadi Tuhan Yang Maha Esa, Sang Kebenaran Mutlak Tertinggi, Parabrahman? Mengapa orang Hindu memuja pribadi-pribadi yang memiliki kekurangan seperti ini sebagai Tuhan? Kalau pun benar semua adalah Avatara Tuhan, apakah layak kita memuja para Avatara seperti ini? Demikianlah yang mungkin selama ini menjadi pertanyaan bahkan di benak orang-orang Hindu sekalipun. Apalagi kita sudah menjelaskan bahwa sebagai Pribadi Tertinggi, Parabrahman adalah heya-pratyanikatva, bebas dari segala sifat-sifat dan kekurangan makhluk fana.Mengapa Avatara yang dikatakan tiada berbeda dari Tuhan Sendiri bisa memiliki kekurangan? Beberapa sarjana yang tidak mengetahui siddhanta Veda yang benar membuat berbagai pernyataan. Ada yang mengatakan bahwa ketika Parabrahman turun ke dunia, Dia bersentuhan dengan maya (kekuatan khayalan duniawi). Saguna-brahma (Brahman beratribut dan bersifat) yang hadir sebagai Avatara bila Dia turun ke dunia, mendapatkan atribut dan sifat-Nya dari maya. Walaupun di dalamnya adalah Brahman, namun tubuh Avatara adalah tubuh duniawi yang dibentuk oleh maya, sehingga kekuatan ilusi duniawi juga mempengaruhi sang Avatara. Bila Parabrahman mengambil rupa, maka itu merupakan ciptaan maya. Mereka mengatakan bahwa begitu rupa ini tidak dibutuhkan lagi, dengan kata lain tugas atau misi sudah diselesaikan, maka akan kembali lagi menjadi nirguna-brahman. Dengan demikian adalah wajar jika ditemukan adanya kekurangan dalam diri Sri Rama atau Sri Krishna.

Ada pula yang mengatakan bahwa inilah bukti bahwa Tuhanpun tidak luput dari hukum alam yang menyatakan bahwa tiada yang sempurna di dunia ini. Bila Dia masuk ke dalam dunia, maka Dia harus mengikuti hukum alam ini seperti makhluk lainnya. Di antara kedua pernyataan ini, maupun pernyataan serupa yang diajukan oleh mereka, tak satupun diterima oleh para bhaktivedanta-acharya sebagai kebenaran. Bagaimana mungkin Parabrahman yang merupakan sumber segalanya, yang dijelaskan dalam Brahma-sutra, intisari semua Upanishad, sebagai janmadhy-asya-yatah, sumber dan asal-muasal segala keberadaan, menjadi di bawah ciptaan-Nya. Tidakkah maya merupakan kekuatan yang bersumber dari Beliau juga? Orang waras macam apa yang dapat berpikir bahwa Tuhan dapat dikhayalkan oleh maya dan dipengaruhi keduniawian? Ide bahwa Tuhan terpaksa harus mengikuti hukum alam yang diciptakan-Nya adalah pandangan yang tidak sesuai dengan sastra suci, tidak didukung oleh para sadhu, tidak diterima oleh para sad-guru dan acharya, serta tidak mendapat tempat dalam logika yang sehat.

Krishna manifestasi menjadi ribuan Wujud Vishnu yang Berlengan Empat
Dengan mengatakan bahwa rupa Pribadi Tuhan Yang Maha Esa hadir untuk sementara untuk kemudian musnah, juga tidaklah sesuai dengan kata-kata kitab suci, advaitam-acyutam-anadim-ananta-rupam. Wujud-wujud rohani-Nya adalah tiada berbeda satu dengan yang lainnya, tidak pernah tergagalkan atau terusakkan, tiada awal-Nya dan tiada akhir, tak terbatas. Jelas pula disebutkan parama-tattva visuddha-sattvam, Kebenaran Mutlak Tertinggi sepenuhnya berada dalam kebaikan murni.

Lalu bagaimana kita menjelaskan “sifat-sifat negatif” yang ditunjukkan oleh Sri Rama atau Sri Krishna? Kitab suci sangat jelas mengumandangkan bahwa sifat-sifat Tuhan sepenuhnya mutlak bebas dari segala kelemahan dan kekurangan. Walau demikian sewaktu-waktu Kripa-sakti, kekuatan belas kasih-Nya mengatur kenampakan sifat-sifat kelemahan manusiawi ini sehubungan dengan Sri Rama, Krishna, dan sebagainya. Akan tetapi kekuatan dari Kripa-sakti juga membuat kelemahan ini justru bukan menjadi sesuatu yang buruk, sebaliknya sesuatu yang nampak sebagai kekurangan ini menjadi keagungan rohani. Mereka menjadi kemuliaan-kemuliaan rohani yang mewarnai kepribadian Tuhan.

Engkau bukan tertangkap saat mencuri segentong mentega... tapi saat mencuri hatiku...
Sebagai contoh kegiatan mencuri adalah suatu kejahatan yang dikutuk oleh semua kitab suci. Lalu kita melihat bagaimana Krishna mencuri mentega dari banyak rumah dan membohongi begitu banyak orang demi mencapai tujuan-Nya. Orang biasa tidak dapat melihat keindahan dari kegiatan mencuri yang dilakukan Krishna, tetapi dengan cahaya pemahaman siddhanta Veda yang benar kita dapat mengetahuinya. Mereka yang rumahnya kecurian pada saat itu tidaklah merasa sedih atau marah. Mungkin di luar tampak demikian, namun sesungguhnya mereka merasa sangat senang dan bahagia karena Krishna mencuri di tempat mereka. Di sisi lain dengan mencuri Krishna menunjukkan betapa berharganya karya para penyembah-Nya. Beliau menunjukkan penghormatan dan penghargaan yang amat sangat besar terhadap persembahan cinta mereka. “Segala sesuatu yang kalian persiapkan bagi-Ku begitu dipenuhi cinta, begitu menggiurkan bagi-Ku, sehingga Aku tidak tahan untuk mengambilnya, entah kalian siap atau tidak.”

Sifat seperti ini hadir dalam hubungan yang erat dan intim antara Tuhan dengan hamba-Nya. Secara eksternal itu ditunjukkan oleh kekuatan Kripa-sakti-Nya, yang kemudian hadir sebagai sifat bhakta-vatsalya. “Demi kebahagiaan penyembah-Ku, Aku akan lakukan apa saja”. Maka Iccha-sakti (kekuatan mewujudkan segala kehendak-Nya) menjadikan semua ini mungkin. Tuhan adalah sarvamangala, mahasuci dan mahamenyucikan. Bahkan keburukanpun akan menjadi agung bila bersentuhan dengan-Nya. Inilah penjelasan yang dapat diterima oleh sastra, sadhu, dan guru. Tidak pula bertentangan dengan logika yang sehat, karena kita telah menempatkan Tuhan sebagai yang mahamulia, maka uraian ini tidaklah mengurangi kemuliaan Tuhan, justru sifat-sifat negatif yang diperlihatkan-Nya semakin menambah kemuliaan-Nya.

Bagi Yashoda, Tuhan adalah seorang anak yang disayanginya melebihi apapun...
Lalu mengapa Tuhan tidak bersedia turun untuk menerima cinta "Ibu-Nya"
Kripa-sakti-Nya ini yang menjadikan Tuhan bersedia turun sedemikian rendah. Sifat belas kasih agung-Nya yang mengatasi segalanya inilah yang menjadikan Tuhan begitu dekat dengan kita, yang merupakan satu-satunya penghiburan dan sumber pengharapan kita. Dengan Kripa atau Daya-Nya, Beliau menyisihkan keagungan-Nya yang tiada banding (paratva) dan menerima kedudukan serta peran sebagai Pribadi yang lebih mudah didekati. Maharishi Valmiki sangat menikmati dalam memuliakan sifat-sifat Sri Rama dalam berbagai tempat dalam Srimad Ramayana. Namun terlebih-lebih beliau begitu memuliakan sifat saulabhya (mudah didekati) dan sausilya (bebas bergaul dengan siapapun)-Nya. Dengan kemurahan hati-Nya dan belas kasih-Nya Dia telah berkenan menjadi seperti salah satu dari kita dan bergerak dengan bebas di antara kita. Dia berkenan merendahkan Diri-Nya agar kita tidak takut datang kepada-Nya.

Tuhan Pujaanku, DIA datang ke sini untuk memelukku... Aku Hanuman-Nya dan Dia adalah Ramaku
Inilah yang ditekankan Valmiki dalam Srimad Ramayananya. Dalam Ayodhya-kanda Valmiki berkata, anrisamsyam anukrosam … raghavam sobhayantyete sadgunah purusottamam, “Betapa indahnya kemuliaan Sang Pribadi Tertinggi Sri Rama (Raghava), penuh belas kasih dan memahami perasaan orang lain.” Kemahakuasaan-Nya ditutupi oleh belas kasih-Nya yang begitu besar dan tak terbatas kepada para hamba-Nya. Sekali lagi ini demi membuat Diri-Nya lebih mudah didekati dan bergerak secara bebas di tengah-tengah ciptaan-Nya.

Ritual Hindu Bukan Sesuatu yang Memberatkan


Orang-orang sering bertanya kok dalam Hindu banyak sekali dikenal upacara-upacara? Gini dikit upacara, gitu dikit upacara juga. Sampai mau masuk rumah saja ada upacaranya... Karena itu sebagai bagian dari tradisi rohani tertua ini kita harus tahu mengapa ada begitu banyak upacara yang harus dilakukan.

Tujuan hidup ini adalah melatih diri secara bertahap dalam rangka menuju kepada kesempurnaan rohani tertinggi. Seluruh hidup manusia sesungguhnya adalah rangkaian sebuah ritual dan upacara penyucian. Dalam setiap fase evolusi fisik kehidupan haruslah disucikan demi pelayanan kepada Tuhan. Maka paling tidak selama perkembangan dan pertumbuhan hidupnya, seorang manusia menjalani banyak upacara. Para rishi pada masa lampau menyusun berbagai ritual penyucian demi membangun masyarakat manusia yang memiliki nilai-nilai budaya tinggi dan sepenuhnya sadar akan tujuan-tujuan rohaninya.

Ritual atau upacara-upacara ini dalam Hindu disebut samskara. Melalui pelaksanaan samskara-samskara ini pikiran dibangkitkan menuju Tujuan Akhir yaitu pencerahan sempurna dan berakhirnya siklus kelahiran–kematian yang berulang-ulang. Bagi umat Hindu samskara merupakan pengalaman spiritual yang hidup. Melalui samskara-samskara dalam berbagai fase kehidupan manusia maka tubuh jasmani ini, yang merupakan Pura tempat bersemayamnya Tuhan, menjadi disucikan dan dibuat agar pantas dalam pelayanan kepada Tuhan. Samskara dimaksudkan untuk menempa kepribadian seseorang sehingga ia dapat menjadi anggota masyarakat yang ideal dan seorang yang mendapatkan pencerahan rohani. Dua samskara terpenting dalam Hindu adalah Inisiasi (Samasrayana/ diksha) dan pernikahan (Vivaha-samskara).

Ritual-ritual keagamaan yang bersifat lahiriah dimaksudkan untuk membangkitkan pemahaman batin dan pengalaman rohani yang dapat memberikan perubahan-perubahan menuju kebaikan dalam diri suatu individu, lalu keluarga, dan akhirnya masyarakat secara keseluruhan. Kita menyadari bahwa kondisi mental sangat mempengaruhi aktivitas jasmani. Pelaksanaan ritual-ritual yang maknanya dipahami dengan baik oleh mereka yang terlibat di dalamnya, akan membangun sikap mental yang baik dan memperbaiki pemikiran-pemikiran yang menyimpang.

Homa, persembahan melalui api suci, salah satu upacara Veda yang tertua.
Tradisi Veda mengemas begitu banyak ritual yang masih dilaksanakan oleh umat Hindu sampai sekarang sebagai suatu sarana komunikasi batin ini, sebagai suatu cara menyampaikan pesan yang dapat diresapi sampai ke dalam hati pemuja maupun yang dipujanya. Sebagai contoh, pada akhir dilaksanakannya Homam (persembahan api suci), seluruh biji-bijian yang tersisa dan buah (biasanya pisang atau satu butir kelapa utuh) dipersembahkan ke dalam api. Ini merupakan suatu komunikasi simbolik yang menyatakan bahwa kita mempersembahkan sepenuhnya badan, ucapan, dan pikiran kita kepada Tuhan. Keakuan kita yang palsu dibakar habis dalam api kebijaksanaan dan akar segala penderitaan dimusnahkan dalam api penyerahan diri. Dibantu dengan mantra, yang juga merupakan bahasa simbolik pula, maka kita dapat mewujudkan pemahaman ini dalam pikiran kita. Semakin sering kita melaksanakan yajna Homam seperti ini, maka semakin jelas dan semakin kuat visi batin yang kita dapatkan. Impresi mental yang kuat ini kemudian secara perlahan dapat mengurangi sifat buruk seperti egoisme yang berlebihan dan perilaku buruk yang mementingkan diri sendiri. Seperti inilah sebuah ritual Veda disusun untuk memperbaiki seluruh aspek kehidupan.


Purna-ahuti, persembahan terakhir ke dalam api suci
Salah satu ritual Hindu yang terpenting adalah Nitya-homam dan Tarpanam. Tetapi sayangnya oleh pengaruh modernisasi telah mulai ditinggalkan atau dilaksanakan tanpa diketahui maknanya. Akhirnya keduanya ini dianggap sebagai sesuatu yang asing, atau apabila masih dilaksanakan, hanyalah sebatas kebiasaan saja. Padahal kedua upacara ini sangatlah penuh kekuatan, sangat berguna, dan sangat dianjurkan bagi setiap orang yang ingin kemajuan rohani dengan cepat.

Melalui Homam, Tuhan dan para devata dimohonkan agar hadir secara rohani dalam api dan dipuaskan dengan berbagai persembahan serta mantra. Pelaksanaan Nitya-homam atau persembahan api suci secara teratur dan berkesinambungan akan dapat meningkatkan api rohani yang berkobar dalam tubuh halus, membakar segala halangan dan rintangan yang menghambat kemajuan spiritual, memberikan kejernihan batin, dan membuat pikiran menjadi fokus serta selalu stabil.

Kemudian melalui Tarpanam, para devata, para rishi yang suci, dan para leluhur dimohonkan agar hadir di dalam air dan dapat dipuaskan dengan persembahan yang dihaturkan kepada mereka. Pelaksanaan Tarpanam secara teratur akan dapat menguraikan dan melepaskan berbagai ikatan-ikatan karma yang menimbulkan berbagai kelemahan dalam hidup ini. Kelemahan dan kekurangan itu sendiri dapat menghambat kemajuan pencapaian duniawi maupun rohani seseorang. Inilah beberapa contoh bagaimana ritual Hindu sungguh-sungguh bermanfaat. Dia memberikan pengembangan batiniah yang khusus, sehingga juga mempengaruhi perilaku sehari-hari. Bila dipahami dengan benar maka semua ini bukanlah beban.

Abhisekam, mempersembahkan air kepada sebuah Sivalinga. Merupakan bentuk ritual yang bersifat Agamik (berdasarkan kitab-kitab Agamasastram)

Mengapa Saya Mesti Tetap Hindu?


Sungguh saya terharu ketika membaca tentang masyarakat Tengger. Rasanya dari sebuah buku yang judulnya ada kata "...Kami Punya Agama". Keteguhan mereka dalam kondisi alam, ekonomi, dan banyak keterbatasan lain yang begitu sulit dijalani, masih tetap menjaga tradisi Dharma yang telah mereka warisi dari para leluhur. Yah, memang benar... kepercayaan dan praktik rohani masyarakat Tengger adalah pengejawantahan nilai-nilai Veda-dharma. Hindu! Seperti masyarakat Dayak dengan keyakinan Kaharingannya. Betapa tangguhnya orang-orang ini menjaga "hatinya" dan "hati" para leluhurnya.

Rohaniwan Tengger. Penjaga Dharma yang terhormat (Pemkab Probolinggo)
Tidak dapat dipungkiri, banyak umat Hindu dari generasi baru yang bertanya-tanya. Saya dilahirkan dalam keluarga Hindu, saya sejak kecil mengikuti puja dan berdoa kepada para Devata. Di luar sana banyak orang yang tidak seperti saya, bahkan mereka mengatakan apa yang saya kerjakan selama ini salah. Lalu mengapa saya harus tetap bertahan untuk menjadi Hindu? Mengapa saya harus tetap berdoa dengan cara-cara ini? Untuk apa saya terus percaya pada sesuatu yang tidak diyakini oleh kebanyakan orang? Benarkah saya bila mempertahankan cara hidup leluhur ribuan tahun yang lalu di jaman sekarang ini? ... Kemudian di keadaan yang lain ada orang yang baru saja menganut Hindu. Entah itu karena pernikahan dengan seorang Hindu atau karena tanpa sengaja dia tertarik pada ajaran Hindu setelah ikut kelas yoga untuk kesehatan. Oke sekarang saya Hindu, tetapi apakah kehinduan saya ini pantas untuk dipertahankan?

Ritual tradisional Dayak. Fisik boleh beda tapi lihatlah hatinya(http://ronnyteguh.blog.upr.ac.id/category/budaya-dayak/)
Pada umumnya kita selalu akan melihat hal yang superfisial dulu. Hindu, seperti juga agama lain, memiliki wajah. Wajah itu bisa menarik bagi yang tertarik, bisa juga jelek bagi yang tidak menyukainya sedari awal. Kecantikan wajah adalah sesuatu yang relatif. Tetapi kecantikan sejati berasal dari dalam. Keindahan yang sesungguhnya memancar dari cahaya roh kehidupan dan semua orang, terutama umat Hindu harus mengetahui bahwa jiwa di balik wajah Hindu adalah Veda Dharma, Sanatana Dharma.

Satguru Sivaya Subramuniyaswami berkata, “Pencarian akan Tuhan, Kebenaran, disebut Sanatana Dharma, atau jalan yang kekal, karena dia terkandung dalam roh itu sendiri, tempat berasalnya agama. Jalan ini, kembalinya hidup kepada Sumbernya, selalu ada dalam diri manusia, selalu bekerja, baik prosesnya disadari maupun tidak. Tidak dicari-cari oleh siapapun juga. Lalu dari manakah datangnya tenaga penggerak ini? Dia datang dari dalam diri manusia itu sendiri. Oleh karenanya Hindu selalu hidup dan bergelora, karena dia bergantung pada sumber inspirasi yang asli ini, denyut pertama dari jiwa di dalam, memberikan energi dan gejolak yang terus-menerus dapat diperbaharui untuk selama-lamanya.”

Persembahyangan (puja) di Pura Luhur Poten Bromo (foto: WT Atmojo)
Sanatana Dharma tidak berurusan dengan keadaan jasmaniah apapun. Dia tidak mengubah kita, tetapi membantu kita menemukan dan menyadari diri kita yang asli. Diri yang merupakan bagian dari keilahian yang paling suci dan penuh potensi. Jadi ajaran Veda ini dapat diterapkan dalam semua bentuk budaya, semua golongan, semua jenis orang. Dia tidak mematikan kreativitas pikiran, tidak membunuh rasa kemanusiaan, tidak menghancurkan budaya tempatnya bertumbuh. Justru dia menyempurnakan, memperindah, memberikan semangat kehidupan bagi mereka yang mempelajarinya. Dia tidak membuang-buang waktu memperbaiki wajah, tetapi langsung kepada inti. Ketika jiwa telah disegarkan, maka keindahan internalnya akan memancar sendiri keluar. Inilah sebabnya mengapa peradaban-peradaban manusia di dunia yang menerima pengaruh Veda memiliki budaya yang tinggi, tetapi sekaligus unik dengan tidak matinya budaya awal. Ini karena ajaran Veda dapat menyatu, melebur dengan harmonis bersama nilai-nilai luhur setempat. Menjadi Hindu adalah menjadi diri sejatimu.

Saat melihat orang-orang "kuat" ini. Tengger, Dayak, Alukta, dsb. yang berada di seluruh Indonesia mungkin saja kita ada berpikir "kok bisa dibilang Hindu?". Maka kita pantas balik bertanya, "Dengan hati seperti ini, dengan jiwa dan semangat seperti ini, apalagi mereka kalau bukan Hindu?" Mereka telah mengawali dari menjadi dirinya sendiri, menjalani hidupnya sebagai bagian dari alam, menuruti nuraninya yang bersih bersahaja, menuju keinsafan tertinggi akan 'sang diri sejati'. Begitu alamiah dan sedemikian jujur secara rohani. Prinsip-prinsip Veda-dharma "sudah menjadi satu" dengan jiwanya. Mereka sungguh benar menjaga ke-Hindu-annya.

Tuhan Dalam Tiga Aspek

Dalam perguruan-perguruan Vaishnava dipahami bahwa Upanishad dan Vedantasutra mengajarkan tiga jenis konsep ketuhanan secara lengkap dan sempurna. Zat nyata yang tiada duanya itu (advaya-tattva) diinsafi dalam tiga aspek yang berbeda. Satu aspek melampaui alam semesta, transenden, tidak terbatas, tidak berwujud, dan tidak terpengaruh segala sifat alam. Satu aspek meliputi segalanya, meresapi segenap alam dan segenap kehidupan. Tidak ada sesuatu apapun yang tidak mengandung Diri-Nya. Ini merupakan aspek yang bersifat immanen. Satu aspek lagi adalah yang mengatasi sifat transenden dan immanen-Nya. Suatu aspek yang memungkinkan Parabrahman menjaga kondisi transendensi dan immanensi-Nya, tanpa mengorbankan

  1. keunggulan-Nya (paratva) dibanding segala sesuatu yang diresapi-Nya dalam kondisi immanen
  2. kemudahan dalam mencapai-Nya (vatsalyatva) serta manisnya keintiman dalam berhubungan dengan-Nya (madhuryatva) dalam kondisi transenden. 
Aspek pertama merupakan tujuan para Advaitavadi. Tentu saja tidak mungkin mencapai kondisi ini tanpa menjadi transendental juga. Maka praktisi (sadhaka) yang ingin mencapai kondisi ini harus meyakini bahwa dirinya dan Brahman adalah satu. Pemikiran yang bersifat monistik dan impersonal sangat dibutuhkan untuk mendapatkan keadaan tersebut. Tuhan Personal atau yang berpribadi tidaklah diperlukan bagi mereka karena mereka tidak menginginkan adanya hubungan dua arah, yang tentu saja bersifat dualistik. Adanya bentuk pribadi pasti akan menimbulkan perbedaan antara dua pribadi, lalu bagaimana bisa terjadi kesempurnaan yang menurut mereka adalah persatuan. Menurut pemahaman ini jivatma dalam keadaan terkondisi berada di bawah pengaruh Avidya, sehingga dia menganggap dirinya terpisah dengan Brahman. Atma tidak menyadari bahwa dirinya adalah Brahman. Ketika jivatma menginsafi bahwa dirinya adalah satu dengan Brahman, maka dicapailah pembebasan. Kondisi pembebasan atau moksa seperti ini diistilahkan sebagai Kaivalya-mukti atau Sayujya dengan Brahman yang bersifat impersonal. Keyakinan kevala-advaita-vadi ini menimbulkan konflik antara pernyataan-pernyataan dalam Catur Veda, Upanishad, dan Itihasa-Purana yang membahas kondisi Nirguna dan Saguna. Untuk menegakkan keutamaan Nirguna Brahman atau Nirvisesa Cinmatram ini maka Sankara harus menolak otoritas bagian-bagian Pustaka Veda yang menyatakan sifat-sifat Brahman Berpribadi (seperti Purana dan Itihasa), atau menyatakannya memiliki kedudukan lebih rendah.

Aspek kedua diinsafi oleh para mistikus yogi. Melalui pengalaman meditasi yang sempurna mereka dapat menginsafi kehadiran Brahman yang meresapi segala-galanya. Sekalipun mungkin mereka masih berada dalam tubuh jasmaninya, namun mereka yang telah mencapai kesempurnaan dalam aspek Tuhan ini, mampu mengalami Tuhan seketika itu juga. Mereka sepenuhnya menyadari bahwa sesungguhnya Tuhan berada di dalam dirinya dan juga di segala yang ada di seluruh alam semesta ini. Pemahaman akan Tuhan yang bersifat pantheistik merupakan pengalaman langsung bagi mereka. Tidak ada yang tidak diresapi oleh Brahman termasuk diri mereka sendiri. Keinsafan ini sangat mirip dengan Kaivalya. Bedanya tentu hanya dapat dirasakan oleh mereka yang mengalaminya. Tetapi secara teori dapat dikatakan dalam kesempurnaan Advaitik dialami bahwa sang diri sesungguhnya adalah Brahman, satu dengan Brahman. Sedangkan dalam keinsafan para yogi meditatif ini, kesempurnaan merupakan ketidakterpisahan diri dengan Brahman. Singkatnya para Advaitin sepenuhnya menerima Abhedatva dan menolak Bhedatva (perbedaan antara atma dengan Brahman), sedangkan para siddha-yogi menerima Bhedatva tetapi menganggap Abhedatva lebih fundamental, lebih bermakna, dan lebih mendominasi.Aspek ketiga diinsafi oleh para Bhagavata. Aspek inilah yang merupakan tujuan tertinggi bagi para Vaishnava, Dvaitavadi, dan Suddha-bhakta. Untuk mencapainya hanyalah ananya-suddha-bhakti, bhakti yang sepenuhnya murni yang menjadi satu-satunya sarana. Bhakti ini berbeda dengan pengertian bhakti yang dianut oleh seorang Advaitavadi. Bagi Advaitavadi bhakti, juga jnana, karma, dan dhyanayoga merupakan sarana mencapai moksa, menunggal dengan Brahman. Bhakti diperlukan pada tahap awal dengan berbagai kegiatan pelayanan, pemujaan, dan penyembahan kepada Saguna Brahman yang tampaknya masih berbeda dengan penyembah-Nya. Sampai penyembah mengembangkan jnana-nya, yaitu menyadari kesatuannya dengan Brahman, maka bhakti ini sudah tidak diperlukan lagi. Bagi Dvaitavadi, bhakti bukanlah sekedar sarana (sadhana) tetapi juga merupakan tujuan tertinggi (sadhya). 

Kebahagiaan yang dirasakan oleh pengikut paham monisme dan pantheisme setelah mencapai kesempurnaan dikenal dengan brahmananda, sukacita dalam persatuan dengan Brahman. Sedangkan kebahagiaan yang dirasakan oleh penganut Dvaita adalah seva-sukha-purnanandaatau premananda, kesukacitaan yang dirasakan dalam pelayanan cintakasihnya kepada Tuhan. Baik dalam tingkat masih terkondisi (baddha), kemudian melaksanakan bhakti-sadhana, sampai mencapai kesempurnaan (siddha), seorang praktisi yang menganut paham Dvaita tetap mempertahankan perbedaannya dengan Tuhan. Bagi Dvaitavadi Tuhan adalah sarvottama, Pribadi Tertinggi yang tiada duanya. Mereka ada yang menerima Abhedatva, tetapi ada pula yang sepenuhnya menolak Abhedatva. Untuk mencapai aspek Tuhan ini Bhedatva adalah sangat fundamental.
Para Bhagavata juga menginsafi dua aspek Tuhan yang lainnya. Mereka memahami adanya Brahman yang tak berwujud. Mereka juga menyadari memiliki sifat-sifat yang sama dengan Brahman, tetapi tetap saja mereka mempertahankan bahwa Brahman berbeda dengan dirinya. Mereka juga memahami bahwa Tuhan sungguh-sungguh meresapi segalanya ini, tetapi tetap saja segalanya ini berbeda dengan Tuhan. Bagi para Dvaitavadi Tuhan tetap adalah sarvottama, Pribadi Tertinggi yang menjadi pusat cintakasihnya dan tujuan pelayanannya. Perbedaan ini, antara Tuhan dengan hamba-Nya adalah kekal. Tanpa adanya perbedaan ini tidak ada cinta, tidak ada prema yang mereka tuju dan tidak ada premananda yang dirasakan. Bagi mereka Aspek Tuhan yang Berpribadi adalah mutlak. Pribadi itu adalah satu-satunya Pribadi Tertinggi yang berbeda dengan segala sesuatu yang ada ini. Pribadi ini kekal, selalu ada. Tidak pernah menjadi ada lalu berhenti ada. Inilah Ekanta, pengabdian yang terpusat pada Satu Pribadi Tunggal. Mungkin ini bisa disebut personal-monotheisme, tetapi Upanishadik atau Vedantik personal-monotheisme. Bagi para Dvaitavadi tidak ada konflik sama-sekali antara pernyataan-pernyataan prasthanatraya Veda-Upanishad (sruti), Vedanta-sutra (nyaya), Gita (smriti), dan Itihasa-Purana. Dengan demikian monotheisme Veda ini berbeda dengan monotheisme agama-agama Abrahamik yang mengabaikan sama sekali dua aspek Tuhan yang lainnya.

Pelangi, pelangi, alangkah indahmu...


Tuan Zakir Naik berkata, “Sri Sri Ravi Shankar menulis dalam bagian pertama bukunya tentang percaya kepada satu Tuhan. Hinduisme telah dipahami sebagai satu agama yang memuja banyak tuhan tapi berlawanan dengan pengertian ini, Hindu percaya pada satu Tuhan. Saya 100% setuju dengan beliau sebagaimana telah saya sampaikan dalam wacana saya.”

“Lebih lanjut beliau berbicara bahwa Hindu percaya advaitha non-dual monotheism. Walaupun tujuh warna membentuk pelangi, namun sesungguhnya dia berasal dari cahaya putih, satu cahaya putih. Begitu pula 33 crores devi dan devata, para dewa dan dewi berasal dari cahaya paramathma yang tunggal. Membandingkan tujuh warna pelangi ini yang berasal dari satu sinar putih dengan 33 crore devi dan devatha yang berasal dari sinar satu paramathma, saya merasakan sulit diterima akal karena saya adalah seorang dokter dan murid sains juga. Kita tahu bahwa dalam sains dikatakan sinar tersusun atas tujuh warna MEJIKUHIBINIU, merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu, tetapi masing-masing warna sinar ini bukanlah sinar putih dengan sendirinya. Semua ketujuh warna dalam proporsi yang tepat akan membentuk satu sinar putih. Masing-masing warna individual ini bukanlah sinar putih; dan jikalau satu warna hilang maka sinar putih tak akan terbentuk. Dengan mengumpamakan 33 crores devi dan devatha sebagai sinar dari satu paramathma, adalah seperti mengatakan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa memiliki 33 crore anggota tubuh seperti sesosok tubuh manusia yang punya sekitar 11 bagian: 2 kaki, 2 tangan, 1 kepala, 1 leher, 1 dada, 1 perut, 1 panggul; tapi masing-masing bagian tidaklah membentuk tubuh manusia yang lengkap. Semua bagian ditempatkan dalam posisinya yang tepat barulah menjadi tubuh manusia sempurna. Bila salah satunya hilang, itu bukan tubuh manusia yang lengkap. Menggunakan contoh ini untuk mengatakan 33 crore sama dengan satu Tuhan, atau Tuhan memiliki 33 crore bagian, ini saya tidak setuju dan bila satu bagian hilang maka tidak akan jadi satu Tuhan yang lengkap.”

Argumen Tuan Zakir untuk memotong argumen Sri Sri Ravi Shankar mengenai para devi dan devatha Hindu sekilas tampak sangat meyakinkan. Tetapi kedua argumen ini, baik yang diajukan maupun yang ditentang sama sekali tidak dapat menjelaskan apapun mengenai para devi dan devatha. Dalam siddhanta-siddhanta Sampradaya terpercaya tidak ada pengetahuan berdasar lemah semacam ini. Srimadacharya Madhva sudah terlebih dahulu mengritik para sarjana mayavada yang menggunakan perbandingan-perbandingan duniawi untuk menjelaskan Parabrahman secara tidak tepat. Memang harus diakui bahwa dalam tataran duniawi sangat sulit menyampaikan karakteristik Parabrahman tanpa menggunakan perumpamaan yang sifatnya fana, seperti memperbandingkan Parabrahman dengan samudera, angkasa, dsb. Namun semua ini harus diterapkan dengan kesadaran penuh bahwa semua penjelasan duniawi atau perbandingan duniawi tidaklah mampu menggambarkan secara tepat dan sempurna Kebenaran Mutlak Tertinggi itu. Sehingga menjadi sia-sia bila kita memperdebatkan hal-hal duniawi semacam yang dilakukan oleh Tuan Naik.

Semua orang Hindu yang paling bodoh pun tahu bila Parabrahman, Sri Bhagavan, sekalipun diumpamakan sebagai pelangi untuk menjelaskan sebagian aspek kemahakuasaan-Nya, tetapi Beliau bukanlah pelangi. Tidak ada gunanya mengkaji lebih jauh tentang ilmu perpelangian atau ilmu sinar untuk menyatakan hubungan Sri Bhagavan dengan para devi dan devatha. Kita semua mengetahui bahwa Tuan Naik selain seorang ilmuwan (dokter) juga adalah sarjana perbandingan agama. Beliau tentu sudah mempelajari teks-teks Veda, dan memang sepanjang wacana dan perdebatannya bersama Sri Sri Ravi Shankar beliau selalu mengutip teks-teks Veda tertentu. Namun kita juga tahu bahwa Tuan Naik mempelajari Veda tanpa keinsafan rohani apapun. Beliau mempelajari Veda hanya sekedar untuk mencari pembenaran atas agamanya dan mengungkap kesalahan-kesalahan dalam Hindu. Tuan Naik mempelajari Veda tanpa sedikitpun memiliki kualifikasi terendah yang harus dimiliki oleh seorang anak yang baru memasuki Veda-pathasala atau Gurukulam, yaitu pranipatya, penyerahan diri. Sehingga dengan demikian beliau hanyalah memiliki pemahaman yang dangkal atas teks-teks suci Veda, yang tentu tidak sama dengan kitab sucinya yang hanya sebatas kumpulan sejumlah kecil ayat-ayat yang diperuntukkan bagi orang-orang tak berbudaya di padang pasir. Bagaimana kita mengharapkan seorang yang dibesarkan dalam budaya intelektual yang sama sekali tak dapat melampaui ketakterbatasan semesta dapat menggapai keinsafan mengenai Kebenaran Mutlak yang jauh lebih luhur dari alam semesta ini?

Paling tidak kita bisa menyuruhnya membaca Bhagavad-gita seperti seorang anak yang baru masuk Gurukulam, bukan sebagai sarjana atau Pandita Veda. Sejumlah besar deva yang disebutkan dalam tradisi Hindu dengan jelas sekali sudah diuraikan dalam Adhyaya Vibhuti Yoga (Bab 10) Bhagavad-gita. Saya tidaklah perlu menjelaskannya lagi karena Paramgurupadapadma kami, Srila Prabhupadaji Maharaja sudah menyusun Bhagavad-gita Menurut Aslinya dengan penjelasan yang sangat rinci. Jadi untuk menjawab masalah devi-devatha ini, anda cukup membaca dari satu Adhyaya Vibhuti Yoga ini. Mengenai perumpamaan bahwa para devi-devatha adalah bagian dari tubuh semesta Tuhan, juga bisa dipelajari dari Bhagavad-gita Adhyaya 11 mengenai Visvarupa-darsana. Saya yakin bahkan orang paling bodoh pun dapat memahami penjelasan Srila Prabhupadaji Maharaja bila dia sungguh-sungguh mempelajari Gita dengan semangat yang benar.

Sayangnya Tuan Naik saya yakin akan menolak membaca Gita dari Srila Prabhupadaji Maharaja karena beliau akan berkelit dengan mengatakan bahwa Bhagavad-gita adalah smrithi-sastra jadi tidak memegang otoritas tertinggi dalam Hindu (Veda). Ini tampak dari awal wacana beliau mengenai hirarki sastra-sastra Veda. Lalu lebih jauh lagi bahwa Srila Prabhupadaji Maharaja menerjemahkan dan mengulas Bhagavad-gita dengan semangat yang bersifat sektarian, toh Srila Prabhupada adalah hanya seorang tokoh dari satu sekte Hindu. Ini asumsi saya pribadi berdasarkan pengalaman saja, mungkin benar demikian mungkin juga tidak. Tetapi andaikan prediksi dan asumsi saya ini benar adanya, maka keberatan pertama adalah alasan kekanak-kanakan dari seorang yang belum pernah hidup dalam tradisi Veda yang sebenarnya. Siapa dirinya sehingga dia merasa mampu memahami sruti-sastra dengan sendirinya tanpa berpegang pada otoritas sastra Veda lainnya. Apakah beliau setara dengan para penyusun smriti-sastra sehingga merasa layak untuk mengabaikan pengetahuan mereka dan lebih memilih mempelajari dan menjelaskan sruti-sastra secara langsung dengan keinsafan dari padang pasirnya? Hanya dengan membaca argumennya mengenai perumpamaan sinar-warna pelangi dan tubuh manusia kita sudah bisa melihat bahwa kesadaran dan keinsafan rohani beliau tidak mampu melampaui konsep kebendaan yang fana. Bagaimana bisa memahami pengetahuan yang melampaui segala keduniawian? Keberatan kedua hanya dapat dipahami sebagai pendapat seorang yang juga tidak memahami Veda. Di luar apakah seseorang mengakui atau tidak Srila Prabhupadaji Maharaja adalah otoritas terpercaya dalam tradisi Veda, paling tidak beliau menyusun Bhaktivedanta-Gitabhasyanya segaris dengan Gitabhasya para Acharya seperti Sri Ramanuja, Sri Madhva, Sri Jiva, Sri Baladeva, dsb, dan dibentuk sebagai paduan komprehensif banyak pramana dari berbagai sastra Veda, sruti, smriti, purana, dan itihasa. Bayangkan berapa banyak Acharya terkemuka yang harus kita tentang dan berapa banyak sastra Veda yang harus kita sangkal untuk menyatakan bahwa Bhaktivedanta-bhasya dalam Bhagavad-gita Menurut Aslinya adalah palsu?

Apabila beliau juga tidak mampu juga menerima Gita, lalu mengapa beliau yang adalah seorang sarjana perbandingan agama melupakan pernyataan Isavasya-upanishad? Sudah jelas dikatakan bahwa Parabrahman adalah OM PURNAM. Semua siswa Veda mengetahui mantra ini dengan baik. Parabrahman adalah kesempurnaan, sempurna dan lengkap. Walaupun begitu banyak kesatuan yang lengkap dan sempurna memancar dari Beliau, namun Beliau tetap sempurna dan lengkap. Kalau Tuan Naik masih bersikukuh mendebat perumpamaan pelanginya Sri Sri Ravi Shankar, maka pertama dia harus ingat, tidak ada umat Hindu yang cukup bodoh untuk berpikir bahwa Tuhan adalah pelangi. Tuan Naik bisa saja juga mengatakan bahwa dirinya setuju dengan pendapat saya ini, tapi nyata dari argumennya bahwa dia tidak dapat melepaskan dirinya dari konsep pelangi duniawi. Andaikan Parabrahman diumpamakan pelangi, maka Beliau bukanlah seperti satu-satunya pelangi yang diketahui Tuan Naik, pelangi fana. Parabrahman adalah bagaikan pelangi rohani, yang sekalipun tujuh warna sinar berasal dari satu sinar putih, tetapi tujuh warna ini tidak memberikan efek pengurangan apapun pada sinar tunggal yang menjadi asalnya. Benda duniawi seperti samudera juga bisa dipakai sebagai perumpamaan. Bila Parabrahman adalah samudera, maka manifestasi kemewahan Beliau (yang disebut vibhuti dalam Gita) adalah tetes-tetes air dari samudera itu. Maka kita dapat mengatakan bahwa bila setetes air diambil dari samudera berarti itu bukan samudera yang lengkap. Itu adalah samudera minus satu tetes air. Inilah pemahaman duniawi yang persis sama dengan analisa Tuan Naik tentang pelangi dan tubuh manusia. Tetapi Parabrahman adalah samudera rohani. Sebagaimana dinyatakan oleh mantra om purnam..., maka jangankan setetes air, tapi segentong, sewaduk, atau bahkan air satu samudera lain bila memancar dari samudera Parabrahman, maka airnya tetap tidak berkurang, tetap sebagai satu samudera yang lengkap dan sempurna. Inilah yang dinyatakan oleh Veda.

Nirguna dan Saguna Brahman


Tuhan sebagai Pribadi Tertinggi, pemilik dari sifat-sifat mulia yang tiada terbatas merupakan salah satu konsep yang paling fundamental dalam siddhanta-siddhanta theistik dalam Veda (kesimpulan ajaran yang sangat menekankan keberadaan Tuhan sebagai pusat penyembahan, pemujaan, pelayanan, dan pengabdian), dengan demikian Tuhan Yang Maha Esa juga dikenal sebagai Ananta-kalyana-gunanidhi (samudera kemuliaan yang tiada terbatas). Secara khusus pengutamaan atas aspek Pribadi (Personal) Tuhan merupakan sumbangan keinsafan Vaishnava bagi kekayaan konsep Ketuhanan dalam Hindu. Apabila Upanishad menjelaskan Parabrahman sebagai nirgunam atau tanpa sifat, menurut Vaishnava-siddhanta bukanlah berarti bahwa Brahman sungguh-sungguh tidak memiliki sifat apapun, namun hal ini bermakna bahwa Beliau tidak memiliki rupa dan sifat duniawi yang penuh kekurangan seperti makhluk fana atau heya-guna. Nirguna juga bermakna bahwa Beliau sepenuhnya berada di atas pengaruh tiga sifat alam yaitu kebaikan (sattvam), nafsu (rajas), dan kebodohan (tamas), dengan demikian Beliau disebut pula sebagai Trigunatita. Apabila kata nirguna ini diterima sebagai keadaan tanpa sifat apapun, maka akan timbul ketidaksesuaian di antara deskripsi sastra-sastra suci Veda. Kontradiksi antar pernyataan Veda tidak boleh ada dalam penjelasan yang berasal dari perguruan-perguruan filsafat Vaishnava. 

Pribadi Parabrahman berada dalam sifat kebaikan murni yang mutlak, non relatif, yang diistilahkan sebagai keadaan visuddha-sattvam, yang tidak mungkin hadir dalam diri makhluk terikat manapun. Pribadi Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, Sri Bhagavan dalam terminologi Vaishnava, tidak pernah jatuh dari keadaan ini. Kitab suci menguraikan delapanbelas kekurangan atau sifat-sifat negatif yang tampak dalam diri roh terikat yaitu: jatuh dalam khayalan, rasa kantuk, tidak beradab, nafsu birahi, loba, kegilaan, irihati, kelicikan, meratap sedih, berusaha terlampau keras, kecenderungan menipu, amarah, ketakutan, berbuat kesalahan, ketidaksabaran, dan kebergantungan. Kitab suci menyatakan dengan jelas bahwa sifat-sifat Tuhan sepenuhnya bebas dari segala kelemahan dan kekurangan ini. Maka dalam vaishnava siddhanta, heya-pratyanikatva atau tiadanya sifat-sifat duniawi merupakan salah satu indikasi pengenal (lingam) dari Kebenaran Mutlak Tertinggi, yang adalah merupakan kalyana-gunakaratva, pemilik sifat-sifat mulia yang tak terbatas. Jadi dua hal ini, yaitu tiadanya kekurangan atau tiadanya sifat negatif dan penuh sempurnanya kemuliaan, merupakan dua indikasi (ubhaya-lingam) terpenting dari Parabrahman. Dalam Vedanta, Nirguna dan Saguna tidak menyatakan dua Vastu (substansi) yang berbeda. Parabrahman adalah nirguna dalam artian heya-pratyanikatva dan saguna dalam artian kalyana-gunakaratva. (akhila-heya-pratyanika kalyanaikatana-svetara vastu vilakshana ananta jnana anandaika svarupa)

Hindu, Nusantara, dan Seorang Anak Indonesia


Seorang ayah membawa anaknya ke sebuah pantai di Bali Selatan. Keduanya menghadap ke Timur, melihat matahari terbit. Tampak dari pesisir, samudera luas dan juga gunung Agung di Timur Laut, gunung tertinggi di Bali. Dua generasi bertemu di sana. Sayangnya satu generasi tak sepenuhnya dibentuk oleh generasi di atasnya. Keduanya terpisah oleh budaya jaman.

foto sunrise yang buat saya jadi ada ide. Siapapun yang udah moto tengkyu banget...

Sang Ayah berkata pada anaknya,
“Matahari sudah terbit seperti ini semenjak jaman dahulu. Cahayanya sudah menerangi keluarga kita sejak leluhur pertama kita hidup di bumi ini. Terangnya sudah memperlihatkan segala hal bagi mereka. ”
“Inilah tanah air kita, anakku... tanah para leluhur kita yang agung. Diperlindungkan di bawah pandangan kasih penjaga kita yang paling mulia. Yang terbesar dari semua orang bijak, Bhatara Dapunta Hyang Kalashaja, Guru kita yang terluhur Agastya... dan juga para Vipra...”
“Inilah Nusantara, anakku... Bunda kita yang pengasih dan penyayang, tiada berbeda dengan Ibunda yang dimuliakan di negeri para Arya. Engkau dilahirkan dalam keluargaku, dalam darahku sendiri, darah yang sama, yang mengalir dalam nadi para leluhurmu yang mulia ribuan tahun lalu. Inilah hati kita, batin yang terikat erat dengan kaki padma para Rishi Veda yang purba...”
“Di negeri ini kita memandang semua sungai sesuci Ganga, setiap gunung seagung Himalaya, semua danau semurni Pushkara, dan hutan-hutannya semulia Naimisharanya. Inilah Dvipantara, dengan beribu pulau-pulaunya, negeri para Raja agung dan Brahmana mulia, diterangi oleh cahaya Veda-dharma, disuburkan oleh hujan belas kasih Tuhan Sri Vishnu Sendiri. Setiap anak yang lahir dibesarkan oleh kisah Sri Rama yang selalu jaya... dan hamba-Nya yang terkasih, Sri Hanuman. Dilindungi oleh pujaan kita Sri Krishna dan para Pandava dari Mahabharata. Dihidupi oleh rasa dan sari susu Purana yang paling manis...”
“Bagaimana engkau bisa berpikir untuk merendahkannya? Bisakah engkau berniat untuk meninggalkan warisan Dharma kita? Pernahkah engkau dapat berpikir untuk menundukkan dirimu pada pujaan yang asing atau melaksanakan adat-istiadat orang luar? Kapanpun niat seperti itu terlintas di benakmu, maka ingatlah keagungan para Rishi dan raja-raja kita di masa lampau. Ingatlah bagaimana mereka telah berjasa membuatmu menjadi Arya, manusia yang mulia. Haruskah engkau mengabaikan mereka yang telah memeliharamu dengan tangannya? Haruskah engkau menyangkal sumber dari darah yang mengalir di tubuhmu? Haruskah engkau mematahkan hati mereka?...”
“Tanah ini sudah dipelihara dan disuburkan oleh belas kasih mereka. Setiap tetes air, setiap bulir padi, mengandung pengharapan mereka. Leluhurmu sudah tak terlihat. Tetapi doa mereka kepada Vishnu dan Dharma yang mereka wariskan kepadamu selalu hadir di negeri ini. Mereka selalu menyayangi kita... Tetapi hari ini memang menjadi urusanmu. Mereka adalah masa lalu. Itu adalah hakmu sepenuhnya untuk tetap melanjutkan karya mereka di tanah ini, atau justru menyangkal hubunganmu dengan mereka. Itu urusanmu... urusanmu semata...”

Si Anak tidak dapat berkata apa-apa. Walau ayahnya mungkin tak mengerti soal kehidupan anak jaman sekarang. Walau generasi mereka berbeda. Tetapi dia setuju dengan ayahnya. Dia tidak perlu mengutarakan kesetujuannya dengan kata-kata. Dia sudah menunjukkannya dengan tetes-tetes airmata yang membasahi pipinya. (“... Ya...Saya paham...”)

Karena itu, anak ini tetap setia kepada Veda-dharma. Walaupun dia telah mengenal dengan baik berbagai jalan baru yang telah bertumbuh di negeri ini, walau dia telah bergaul dengan banyak pemuja junjungan bangsa-bangsa asing, walau dia sudah mempelajari begitu banyak ajaran yang tersebar di mana-mana, bahkan dia sudah mendapat sebagian hidupnya dari orang yang berada di luar masyarakat berperadaban Arya (mleccha-yavana). Dia tetap tak meninggalkan jalan lama, tetap melaksanakan adat-istiadat Arya, tetap tidak melayani junjungan bangsa asing, tetap setia pada warisan leluhurnya.
“... Saya adalah anak negeri ini. Saya adalah orang Indonesia, lahir di Dvipantara. Saya lahir oleh leluhur yang mulia, bagian dari para Arya. Saya akan terus hidup dalam Veda-dharma sampai keturunanku yang terakhir. Mleccha-dharma ini, apapun bentuknya, sama sekali bukan untuk saya...”

Kini dia memperlindungkan diri di bawah kaki padma Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu, yang tiada lain adalah Pribadi Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa Sendiri, dan garis perguruan-Nya yang termulia, pelindung Veda-dharma yang tiada bandingannya. Kini dia akan berusaha menyelami samudera Veda-dharma, semua sastra para Arya, untuk mencari mutiara-mutiara yang terkandung di dalamnya. Dia akan melayani para leluhurnya, para rishi, dan para devata dengan membagikan apapun yang telah ia ketahui kepada bangsa ini...