OM SRI SAIRAM

OM SRI SAIRAM........

Senin, 03 Januari 2011

PANCARAN KECIL DARI SINAR SANG JIWA TERTINGGI



yathagneh ksudra visphulinga vyuccarantyevam evasmadatmanah sarve pranah sarve lokah sarve devah sarvani bhutani vyuccaranti
Seperti halnya percikan-percikan bunga api yang terpancar dari api yang berkobar, demikian pula semua jiva dengan sifat-sifatnya yang khusus terpancar dari paramatma (Sang Jiwa Tertinggi Yang Utama), begitu pula dewa-dewa, planet-planet, dan makhluk hidup, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
(Brhad-aranyaka Upanisad 2.1.20)

isvarera tattva yena jvalita jvalana jivera svarupa yaiche sphuliogera kana
Tuhan bagaikan kobaran api yang sangat besar, dan para makhluk hidup (jivatma) adalah bagaikan percikan-percikan kecil bunga api dari api itu.
(Caitanya caritamrta. Adi 7.116)

Bagaikan percikan-percikan bara yang melompat-lompat keluar dari dalam kobaran api yang besar, demikian pula jiva-jiva yang tiada terhitung banyaknya, bagaikan pancaran, bagian-bagian kecil dari cahaya matahari rohani, Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna. Walaupun para jiva ini tiada berbeda dengan Sri Hari, mereka juga secara kekal berbeda dengan Dia. Perbedaan yang kekal antara jiva dengan Isvara (Tuhan Yang Maha Esa) adalah bahwa Isvara merupakan Tuhan dan penguasa dari maya-shakti (energi illusif), sedangkan jiva dapat jatuh dalam kendali maya, bahkan dalam keadaan terbebas (moksa) sekalipun, ini adalah karena dipengaruhi oleh sifatnya yang alamiah, yang paling mendasar.” Dalam pengertian, walaupun sang jiva telah terbebas dari ikatan maya (moksa), namun bila dia tidak berada dalam perlindungan langsung dari cit shakti (kekuatan rohani Tuhan) maka selalu ada kemungkinan untuk jatuh kembali ke dalam ciptaan alam material.

Ini merupakan apurva-siddhanta, kesimpulan yang paling akhir, dan didukung oleh berbagai pernyataan dalam Veda serta Upanisad. Dikatakan dalam Brhad-aranyaka Upanisad, jiva-jiva yang tiada terhitung jumlahnya memancar dari para-brahma, bagaikan percikan-percikan kecil dari kobaran api. Ada dua kedudukan yang harus dipertimbangkan oleh jiva-purusa (sang jiwa) yaitu alam duniawi yang tanpa kesadaran (acit), dan dunia rohani yang mahasadar (cit). Para jiva berada dalam posisi ketiga, yang bagaikan keadaan saat mimpi (svapna-sthana) seperti keadaan tidak tidur maupun tidak terjaga sepenuhnya, dan adalah merupakan pertemuan (tata-stha) di antara keduanya. Karena berada pada tempat pertemuan kedua dunia, dia melihat baik jada-jagat (dunia kebendaan) maupun cid-jagat (dunia rohani) tersebut. Seperti seekor ikan besar yang terkadang berenang ke tepian sebelah barat, lalu kadang ke tepian sebelah timur dari sebuah sungai, begitu pula para jiva selalu bergerak ke kedua sisi, yaitu keadaan bagaikan mimpi dan keadaan keterjagaan.

Dengan berada di tengah-tengah, jiva dapat melihat dunia rohani di satu sisi, dan juga alam duniawi di sisi yang lainnya. Shakti rohani dari Sri Bhagavan di satu sisi adalah tiada batasnya, dan maya-shakti di sisi yang lain juga sangat kuat, jiva-jiva dalam bentuknya yang halus (suksma) berada di antara keduanya ini. Krishna memiliki ketiga shakti ini, antaranga, kekuatan dalam, bahiranga, tenaga luar, dan tatastha, tenaga marjinal. Para jiva secara alami bersifat marjinal, karena mereka diwujudkan dari tatastha-shakti (kekuatan marjinal) Krishna.

Sifat marjinal ini disebut tatastha-svabhava, yang memungkinkannya melihat kedua sisi. Sifat alamiah dari keadaan pertengahan ini adalah ia memiliki kecenderungan untuk berada di bawah pengendalian kedua shakti yang lain. Apabila jiva memandang Krishna, yaitu ke arah dunia rohani, maka dia akan dipengaruhi oleh krishna-shakti. Akan tetapi bila dia memandang maya, maka dia akan menentang Krishna dan menjadi dikuasai oleh maya.

Kekuatan Tuhan yang mahasempurna disebut svarupa-shakti, karena shakti ini berada dalam rupa Tuhan, dalam Diri Tuhan. Kekuatan ini cinmaya, sepenuhnya sadar (penuh kehidupan), dan maka dari itu kekuatan ini merupakan lawan atau antitesis dari zat kebendaan yang mati. Energi ini dikenal pula sebagai cit-shakti, kekuatan yang mengandung prinsip kesadaran. Karena shakti ini sangat berhubungan erat dengan Tuhan, dengan berada di dalam rupa pribadi-Nya, selanjutnya energi ini dikenal pula sebagai antaranga shakti (kekuatan yang berada di dalam). Karena kekuatan ini lebih luhur daripada kekuatan marjinal dan kekuatan luar baik dari segi bentuk maupun kemuliaannya, maka dia juga disebut para-shakti, kekuatan yang mahatinggi.

Svarupa-shakti ini dibagi menjadi tiga. Sandhini, kekuatan yang memperantarai keberadaan rohani Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna beserta para rekan kekal-Nya, samvit, kekuatan yang menganugerahkan pengetahuan rohani mengenai Tuhan, dan hladini, kekuatan yang dengannya Krishna menikmati kesukacitaan rohani serta menganugerahkan kebahagiaan kepada para bhakta-Nya.

Insan Yang Mahatinggi dikenal sebagai parabrahma berwujud sac-cid-ananda. Sifat-sifat ini (keabadian, penuh pengetahuan, dan kebahagiaan tanpa banding) tidak pernah terpisahkan satu dengan yang lainnya. Begitu pula sandhini, samvit, dan hladini senantiasa terdapat bersama-sama. Kekuatan yang mahasempurna ini berada di dalam Tuhan, inilah cit-shakti.


Bagaimanakah hubungan jiva-shakti dengan cit-shakti? Krishna yang dibandingkan dengan matahari atau kobaran api merupakan tattva yang terwujud sendiri. Di tengah-tengah matahari yang berkobar itu, dengan kata lain di dalam Krishna, segala sesuatu merupakan perwujudan yang bersifat rohani, dan cahayanya menyebar luas dari bulatan matahari itu. Cahaya ini merupakan fungsi fraksional dari svarupa-shakti atau cit-shakti, dan sinar-sinar dalam fungsi fraksional itu adalah paramanu (bagian-bagian yang sekecil atom) dari matahari rohani itu. Para jiva adalah tattva yang sangat kecil ini. Svarupa-shakti atau cit-shakti yang mahasempurna mewujudkan dunia di dalam bulatan matahari rohani itu, sedangkan segala sesuatu yang berlangsung di luar bulatan matahari itu dijalankan oleh jiva-shakti, yang merupakan representasi langsung dari cit-shakti. Dengan demikian segala kegiatan yang berhubungan dengan para jiva berjalan adalah melalui jiva-shakti ini, bukan cit-shakti secara langsung, tapi hanya merupakan representasinya.

TUHAN DAN JIWA, SAMA DAN JUGA BERBEDA



Walaupun jiva dapat dipengaruhi oleh maya, namun tidak ada setitikpun penyusun duniawi di dalamnya. Berdasarkan penjelasan tad tac-cakti parinama vada (teori perubahan energi) yang dijelaskan oleh Maharishi Vyasadeva dalam Vedanta Sutra, dapat dimengerti bahwa sekalipun jiva dapat jatuh dalam pengaruh maya, namun jiva sama sekali bukan hasil ciptaan maya-shakti. Oleh karena itu jiva dikatakan berbeda dari maya. Sripad Madhvacarya menjelaskannya sebagai jiva-jada bheda. Demikian pula jiva juga tidak sama dengan brahman, Kesadaran Yang Mahabesar (brhad-cit). Sehingga jivatma tidak akan pernah sama dengan Tuhan (brahman) ataupun menjadi brahman. Dia tetap berbeda dari brahman, bahkan dalam tingkat pembebasan sekalipun. Inilah brahma-jiva bheda. Brahma Yang Tertinggi adalah satu dan tiada dua-Nya. Beliau adalah Prinsip Kebenaran yang Mahamutlak (advaya-jnana-tattva). Sekalipun Beliau tunggal namun kekuatan-Nya yang tiada dapat dipahami penuh keanekawarnaan dan tenaga rohani-Nya (cit-shakti) adalah tenaga Beliau yang paling sempurna, tiada bandingannya.

Namun jiva sebagai pancaran dan percikan-Nya ada dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya. Para jiva ini memiliki jati diri masing-masing yang juga kekal. Antara jiva satu dengan jiva yang lain adalah berbeda, jiva-jiva bheda. Begitu pula kekuatan duniawi yang mengkhayalkan juga beranekawarna karena merupakan pantulan yang terputar balik dari tenaga rohani yang asli. Dengan demikian ada perbedaan antara energi duniawi yang satu dengan energi duniawi yang lain, jada-jada bheda. Lima perbedaan ini (panca-bheda) diuraikan oleh Sripada Madhvacarya, merupakan titik tolak dari dvaita-vedanta.

Sekalipun ketiga kekuatan ini berbeda, namun tiada lain merupakan manifestasi dari krishna-shakti. Kemanunggalan di sini dapat dijelaskan hanya melalui suddha-advaita vedanta yang diuraikan melalui tad tac-cakti parinama vada yang diajarkan oleh Maharishi Vyasadeva dan para Acarya. Konsep bheda (dvaita) tidak mampu menjelaskan keseluruhan kebenaran dengan sempurna. Sedangkan konsep abheda (advaita) yang mutlak juga tidak benar. Oleh karena itu keduanya, bheda dan abheda yang diwujudkan oleh kekuatan Krishna yang tiada dapat dipahami (acintya-shakti), itulah yang tepat. Inilah acintya bheda-abheda tattva.

Sekarang apabila maya tidak ada urusan dalam pembentukan svarupa dari jiva, apakah cit-shakti yang menciptakan para jiva dengan sifat kemarjinalannya (tatastha-svabhava) itu? Sama sekali tidak. Karena cit-shakti merupakan shakti yang sempurna dari Krishna, sedangkan para jiva terwujud dari jiva-shakti Krishna. Cit-shakti adalah kekuatan yang lengkap dan sempurna, cit-shakti juga dikenal sebagai svarupa-shakti, energi yang mewujudkan ketuhanan dari Tuhan Sendiri, sedangkan jiva-shakti adalah manifestasi kekuatan yang tidak lengkap.

Oleh karena itulah, sejatinya jiva dan Tuhan memiliki hubungan yang bersifat alamiah dan mendasar. Sebagaimana diuraikan dalam Caitanya caritamrta. Madhya 20.108-109 :
jivera 'svarupa' haya krsnera 'nitya-dasa'
krsnera 'tatastha-shakti', 'bhedabheda-prakasa
suryamsa-kirana, yaiche agni-jvala-caya
svabhavika krsnera tina-prakara 'shakti' haya
Kedudukan dasar dari makhluk hidup adalah menjadi pelayan kekal dari Tuhan (Sri Krishna). Sebagai manifestasi dari tenaga marjinal Tuhan, ia secara simultan sama dan berbeda dengan Tuhan seperti partikel dari sinar ataupun api. Tuhan (Sri Krishna) memiliki tiga jenis tenaga atau shakti yaitu cit-shakti, tatastha-shakti, dan maya-shakti.

Lalu Caitanya caritamrta. Madhya 22.10-13 :
sei vibhinnamsa jiva dui ta' prakara
eka 'nitya-mukta', eka 'nitya-samsara'
'nitya-mukta' nitya krsna-carane unmukha
'krsna-parisada' nama, bhunje seva-sukha
'nitya-bandha' krsna haite nitya-bahirmukha
'nitya-samsara', bhunje narakadi duhkha
sei dose maya-pisaci danda kare tare
adhyatmikadi tapa-traya tare jari' mare
Para jiva dibagi menjadi dua kategori. Golongan pertama adalah nitya-mukta atau nitya-siddha yang terbebas secara kekal dan yang kedua adalah nitya-baddha yang terikat secara kekal. Mereka yang tergolong dalam nitya-mukta atau nitya-siddha selalu sadar akan Krishna dan mereka mengabdi dalam pelayanan cinta bhakti rohani kepada kaki padma Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna. Mereka adalah sahabat-sahabat dan pelayan kekal Sri Krishna. Mereka menikmati kebahagiaan rohani yang kekal dalam melayani Sri Krishna.


Selain penyembah-penyembah yang terbebaskan selamanya, ada roh-roh yang terikat yang selalu berpaling dari pelayanan rohani kepada Tuhan. Mereka terus-menerus terikat di dunia material ini dan mereka menjadi sasaran atas kesengsaraan material, yang terbawa bersama dengan penerimaannya atas berbagai bentuk badan jasmani dalam keadaan yang bagaikan neraka. Karena menunjukkan sifat penentangan yang mereka miliki terhadap Kesadaran Tuhan, roh-roh yang terikat dihukum oleh jahatnya tenaga luar yang mengkhayalkan atau maya. Dia tersiksa oleh tiga jenis penderitaan yang disebabkan oleh badan atau pikiran, sikap permusuhan dari makhluk hidup lainnya dan bencana-bencana alam yang disebabkan oleh para dewa.

Dengan memahami kedudukan dasar jivatma sebagai bagian percikan kecil dari Bhagavan, maka dapat pula dimengerti bahwa kecenderungan alamiah dari bagian adalah melayani keseluruhannya. Jadi Bhagavan Caitanyadeva mengatakan bahwa svarupa, atau jati diri sang roh sesungguhnya adalah pelayan Krishna. Apabila dia berada di posisi marjinalnya maka dia akan cenderung tertarik ke salah satu sisi, sisi rohani atau sisi khayal.

Dalam sisi rohani dia akan berlindung kepada cit-shakti, dan membuatnya kebal dari kedukacitaan maupun kesukacitaan yang bersifat semu. Di wilayah ini svarupa dari sang roh sepenuhnya berada dalam kesempurnaannya sebagai dasa, hamba, yang berhubungan dengan Tuhan dalam berbagai bentuk ikatan cintakasih. Bila dia memilih sisi khayal atau sisi duniawi maka dia akan menerima sebentuk tubuh duniawi yang menyelubungi jati diri sejatinya. Di sisi ini karma, hukum sebab akibat akan mengikatnya. Perjuangan keras hanya demi mendapatkan setitik kesenangan yang bersifat sementara.

Jalan karma memberikan seseorang kesenangan dengan perantaraan hukum sebab akibat. Kebahagiaan yang diperoleh tidak akan pernah kekal adanya, karena didasarkan atas pemahaman akan jati diri sejati yang salah. Jalan jnana atau yoga, mengantar sang roh sampai kepada pembebasan dari maya, namun di sini dia terangkat sampai tingkat kemarjinalannya. Pada keadaan pembebasan yang demikian, jati diri sejati sang roh diabaikan atau bahkan dilenyapkan (nirvana). Keadaan kekosongan, sunyata. Tetapi hal inipun tidak kekal, karena sekali lagi dia dapat melihat kedua sisi dunia yang berbeda. Kemungkinan untuk jatuh kembali ke dalam alam maya selalu ada.

Hanyalah jalan bhakti, yang sesungguhnya merupakan perwujudan dari cit-shakti sendiri, yang dapat menempatkan sang roh dalam jati diri sejatinya yang kekal. Sehingga kesempurnaan tertinggi bagi sang roh hanya dimungkinkan dicapai melalui bhakti yang murni.

AKAR DARI KARMA DAN REINKARNASI



Jiva yang terikat di dunia material ini karena dikhayalkan oleh tenaga maya atau triguna, mempersamakan diri dengan badan material baik yang halus maupun kasar. Oleh karenanya mereka melakukan berbagai kegiatan yang dimaksudkan untuk kepuasan indria-indrianya dan dengan berbagai cara berusaha menguasai objek-objek material. Dan oleh karenanya mereka melakukan berbagai macam kegiatan berdosa yang mengantarkannya memperoleh berbagai macam jenis kehidupan. Dalam Padma Purana diberikan pernyataan rinci tentang berbagai jenis kehidupan makhluk hidup yang berbeda sebagai berikut :
1. Jalaja-nava-laksani, 900 ribu jenis bentuk kehidupan yang hidup di air
2. Sthavara laksa-vimsati, 2 juta dalam bentuk pohon dan tumbuh-tumbuhan lainnya
3. Krimsyo rudra sankhyakah, satu juta seratus jenis makhluk hidup kecil (serangga, reptil dan binatang melata lainnya).
4. Paksinam dasa laksanam, 1 juta jenis burung-burung
5. Trimsah-laksani pasavah, 3 juta jenis kehidupan binatang
6. Catur laksani manusah, 400 ribu jenis manusia

Semua jenis bentuk kehidupan tersebut di atas termasuk manusia dibedakan atas dasar tingkat kesadarannya, yang dapat dibagi sebagai berikut yaitu :
Delapan jenis bentuk kehidupan di bawah manusia dibagi atas dua tingkat kesadaran yaitu:
1) acchadita/abruta cetana atau kesadaran tertutup dan
2) sankucita cetana atau kesadaran yang mengkerut.
Adapun 400 ribu jenis kehidupan manusia digolongkan pada tiga tingkat kesadaran yaitu :
3) mukulita cetana, kesadaran yang mulai membentuk kuncup
4) vikacita cetana, kesadaran yang mulai mekar, dan
5) purna vikacita cetana, kesadaran yang mekar sepenuhnya

Setelah melalui proses evolusi ataupun perpindahan dari satu badan ke badan yang lain dari jenis kehidupan yang rendah ke jenis kehidupan yang lebih tinggi selama 8 juta kali, akhirnya atas karunia Tuhan dan hukum alam, sang makhluk hidup memperoleh bentuk kehidupan sebagai manusia. Hal ini dijelaskan dalam Brahma-vaivarta Purana:

asitim caturas caiva laksamstan jiva-jatisu, brahmadbhih purusaih prapyam manusyam janma-paryayat
Artinya : ada sebanyak 8.400.000 bentuk kehidupan, dan sang jiva akan mendapat bentuk badan kehidupan manusia setelah mengalami perubahan atau evolusi ataupun perpindahan badan sebanyak 8 juta bentuk kehidupan lainnya di bawah manusia.

Karena itulah bentuk kehidupan manusia sangat jarang dan sulit dicapai – durlabham manusa janma, di samping itu kehidupan manusia ini tidak kekal atau sementara namun sangat bermakna – tad apy adhruvam arthadam.(Bhag.7.6.21) Kehidupan manusia ini khususnya dimaksudkan untuk mengenal tentang keberadaan Tuhan dan identitas diri kita serta kewajiban-kewajiban dalam hubungan antara jiva dengan Tuhan, dengan kata lain menempuh jalan untuk kembali kepada Tuhan. Jika tidak demikian maka akan jatuh lagi dalam berbagai jenis kehidupan yang lebih rendah dan melanjutkan evolusi sesuai karma kita masing-masing. Bahkan selama kehidupan manusia inipun kita sudah mengalami proses perpindahan badan dari bayi ke kanak-kanak, dari kanak-kanak menjadi dewasa, dari badan dewasa merosot menjadi tua lagi dan akhirnya meninggal.


Bhagavad-gita 2.13 :
dehino ‘smin yatha dehe kaumaram yauvanam jara tatha dehantara-praptir dhiras tatra na muhyati
Seperti halnya sang roh terkurung dalam badan, terus menerus mengalami perpindahan di dalam badan ini, dari masa kanak-kanak sampai masa remaja, sampai usia tua, begitu juga sang roh masuk ke dalam badan lain pada waktu meninggal. Orang yang tenang tidak bingung karena penggantian ini.

Bhagavad-gita 2.27 :
jatasya hi dhruvo mrtyur dhruvam janma mrtasya ca tasmad apariharye ‘rthe na tvam socitum arhasi
Orang yang sudah dilahirkan pasti akan meninggal, dan sesudah kematian, seseorang pasti akan dilahirkan lagi. Karena itu, dalam melaksanakan tugas kewajibanmu yang tidak dapat dihindari, hendaknya engkau jangan menyesal.

Jadi segala aktivitas dalam kehidupan sebagai manusia hendaknya dimaksudkan untuk menghentikan proses perputaran kelahiran, kematian, usia tua dan penyakit melalui proses pengabdian suci cintakasih rohani kepada Tuhan, Sri Krishna. Jika kita membentuk kehidupan kita sedemikian rupa untuk selalu sadar akan Tuhan, dan mengembangkan cinta bhakti dan pelayanan kepada-Nya, maka atas karunia Tuhan yang tiada taranya, pada saat meninggalkan badan ini kita dapat berpulang ke dunia rohani dan tidak akan pernah lahir lagi ke dunia sementara yang penuh penderitaan ini, dukhalayam asasvatam.

Minggu, 02 Januari 2011

PUSTAKA SUCI VAIDIKA DALAM HINDU




Hindu memiliki kekayaan pustaka suci yang luar biasa besar dan luasnya. Selama ini kebanyakan dari kita hanya sekedar mengetahui bahwa pustaka suci Hindu adalah Veda. Dalam pengertian luas, Veda ini mencakup seluruh literatur yang disebut Sruti-sastram, Smriti-sastram (atau Dharma-sastram), Sad-angam, dan Upa-angam. Secara keseluruhan semua ini disebut sebagai Vaidika-sastram atau Pustaka Suci Vaidika. Vaidika berarti tergolong Veda atau bisa juga diterjemahkan “bersifat” Veda (Vedic in nature).

Sruti-sastram merujuk kepada Empat Veda Utama yaitu Rik, Yajus, Sama, dan Atharva yang masing-masing dibagi menjadi Saakha. Masing-masing Saakha memiliki bagian Samhita (kumpulan mantra), Brahmana (aplikasi mantra-mantra dalam yajna/ritual-persembahan), Aranyaka (penjelasan esoteris di balik mantra dan yajna), dan Upanishad (bahasan atas paratattva atau kebenaran tertinggi). Sruti selama ini biasanya dijelaskan sebagai revelasi “yang langsung didengar”. Definisi ini seakan membuatnya terbatas seperti wahyu-wahyu yang didengar oleh para nabi agama non-Vedik. Padahal para Rishi Veda disebut sebagai drishta, “yang melihat”, mengandung makna bahwa mereka menginsafi pengetahuan itu melalui pengalaman langsung (brahma-sakshatkaram). “Bertatap muka” dengan Sang Kebenaran yang kemudian terungkapkan atau tersingkapkan oleh para Rishi sebagai mantra yang mengandung Kebenaran itu dalam wujud Suara (Shabdam). Suara Rohani ini tidak dapat diinsafi tanpa mendengarnya secara langsung. Sekalipun Bhagavan Vedavyasa kemudian menghadirkannya dalam bentuk tertulis, namun ini adalah demi alasan pelestarian. Sruti tidak dapat dipelajari dengan cara membaca seperti buku biasa, tetapi harus melalui mendengar. Itulah sebabnya dalam Veda-pathasala atau sekolah Veda tradisional yang asli, para sishyam mempelajarinya dengan cara mendengar dengan aturan-aturan pengucapan yang sangat ketat. Sistem ini dilaksanakan tanpa terputus melalui sistem garis perguruan yang dilindungi bahkan hingga sekarang, sekalipun sebagian besar dari keseluruhan Veda Saakha sudah punah. Penerjemahan Sruti sebenarnya adalah sesuatu yang tak masuk akal dan mustahil. Ini hanya terjadi karena pengaruh budaya akademis bergaya Barat. Makna mantra-mantra dalam Sruti-sastram hanya bisa diketahui melalui mendengar dan menginsafinya saja. Sri Madhva mengatakan bahwa dalam satu mantra Veda paling tidak terkandung tiga makna, dalam satu sloka Mahabharata terkandung sepuluh makna, dan satu Nama dalam Vishnu-sahasranama-stotra mengandung seratus makna. Penerjemahan Sruti melalui studi bahasa hanya mengungkapkan sebagian kecil saja dari kebenaran itu, bahkan sering menimbulkan kontradiksi antar beberapa pernyataan Sruti. Jadi tiada cara lain untuk mempelajarinya kecuali dengan mendengar dari Sad-acharya, guru kerohanian sejati yang telah tercerahkan. Dalam Sad-sampradaya yang adalah garis para Sad-acharya, segala ajaran haruslah bebas dari kontradiksi antar pernyataan Veda sebagaimana dinyatakan oleh Sri Vedanta Desika dalam kitab Sampradaya-parisuddhi. Sesungguhnya karena alasan inilah dia disebut Sruti.

APA YANG HARUS SAYA BACA?


Kita tahu bahwa membaca adalah kegiatan yang banyak digemari oleh orang-orang di dunia ini. Hindu, saya yakin merupakan agama yang paling banyak menghasilkan bahan bacaan. Pada usia 15 tahun saya mulai terpikat untuk mempelajari karya-karya keagamaan Hindu secara lebih mendalam, disamping tulisan-tulisan relijius agama lainnya. Tulisan-tulisan yang bersifat sakral maupun profan, relijius dan sekuler, terus bertumbuh dan bermunculan dengan sangat dinamis dalam masyarakat Hindu sejak ribuan tahun yang lalu. Veda yang merupakan pustaka suci Hindu, terus-menerus dikaji, didiskusikan, dan dipelajari dengan aktif, sehingga dari jaman ke jaman dunia sastra Hindu dihiasi oleh karya-karya dan pemahaman-pemahaman rohani yang selalu segar. Hindu memang benar-benar bisa memenuhi hobi ini dengan sangat memuaskan.


[Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati]

Tahun 1930-an di Kolkata pernah ada penerbitan sebuah harian rohani bernama Nadiya-prakasa yang diprakarsai oleh Sri Bhaktisiddhanta Sarasvati. Seorang tokoh politik di masa itu meragukan kemampuan beliau menerbitkannya. Masalahnya apakah tidak bakal kekurangan bahan? Tetapi Srila Siddhanta Sarasvati berkata bahwa Kolkata hanya satu kota di bumi yang begitu luas, toh tetap saja ada surat kabar yang bisa terbit setiap hari. Sedangkan Veda, adalah pengetahuan dari dunia rohani yang tak terbatas. Bila saja ada cukup sumber daya, maka jangankan hanya harian, masing-masing kota di bumi bisa menerbitkan surat kabar dari dunia rohani, pembahasan Veda-dharma ini, setiap detik. Jadi bisa kita bayangkan betapa banyak, luas, dan dalamnya pengetahuan yang ada dalam Veda.

Sekarang ada begitu banyak buku dan juga tulisan yang dibuat oleh begitu banyak orang tentang berbagai aspek kehidupan rohani. Salah satu pertanyaan bagi mereka yang punya hobi membaca, apalagi membaca tentang topik-topik spiritual, adalah “Apa yang harus saya baca?” Atau paling tidak bila kita ingin mengetahui sesuatu tentang Sanatana-dharma, tentang Hinduisme, tentu kita perlu tahu buku apa yang seharusnya kita baca. Kita tentu tidak dalam posisi untuk menilai apakah suatu karya itu baik atau buruk secara objektif. Sungguh..., secara logis ini sulit dan nyaris tidak mungkin. Apalagi dalam Hindu kita memahami bahwa setiap orang, setiap individu memiliki relasi pribadinya yang unik dengan Tuhan. Konsekuensinya setiap orang juga memiliki pemahamannya sendiri dalam hidup rohani. Apapun yang mereka katakan atau mereka tulis merupakan ekspresi dari realisasi mereka. Untuk itu kita harus memberikan penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya kepada apapun karya mereka. Ketika kita menentukan apa yang harus kita baca atau pelajari, bukanlah berdasarkan penilaian relatif mengenai baik-buruknya suatu karya. Tetapi dengan memperhatikan interaksi intensi kita, yaitu apa maksud yang ingin disampaikan oleh penulis, dan apa tujuan kita yang membacanya. Bila kita merasakan bahwa karya itu dapat mendukung tujuan utama pembelajaran kita, maka baiklah kita terima. Tetapi bila tidak, kita berhak meninggalkannya tanpa perlu berkomentar buruk apapun. Selama kita tidak memiliki keinsafan menyeluruh terhadap hidup rohani, maka kita tentu juga tidak memiliki pengalaman apapun mengenai keinsafan orang lain. Jadi wajar kita tidak punya kompetensi untuk melakukan penilaian, apalagi sampai menjelek-jelekkan. Ini prinsip belajar yang sangat baik, terutama dalam usaha memahami ajaran Veda yang begitu luas dan dalam.

Tetapi masyarakat pengikut Veda ortodoks bukanlah sama sekali tidak memiliki standar penilaian, atau lebih tepatnya penggolongan, untuk karya-karya rohani yang bersifat otoritatif. Otoritatif di sini bermakna bahwa pemikiran itu dapat diterima oleh para praktisi ajaran rohani Veda, yang dapat berguna mendukung praktik rohani (sadhana) mereka menjadi lebih baik dan lebih maju lagi. Sebagai contoh kita ambil karya rohani yang menjelaskan Bhaktiyoga. Salah satu filsuf India terbesar yang pernah ada, Sri Jiva Goswamipada mengatakan pada bagian awal salah satu kitab Sandarbha karyanya, “sri-bhagavato nirdharanaya sandarbho 'yam arabhyate, sekarang secara lebih khusus lagi saya akan menjelaskan tentang Tuhan, Pribadi Tertinggi yang dipenuhi segala kemuliaan, dalam Sandarbha ini. Saya akan mendasarkan semua argumen saya pada apa yang telah diungkapkan dalam sastra Veda, bukan dengan logika pikiran duniawi semata. Karena Veda adalah yang terbaik dari semua pramana (bahan pembuktian). Dalam Brahmasutra (1.1.3), yang terluhur dari semua Rishi (Sri Vedavyasa) berkata sastra-yonitvat, Yang Mahatinggi hanyalah dapat dipahami melalui Veda. Juga dikatakan tarka-apratisthanat (2.1.11), logika tidak dapat menyimpulkan pemahaman mengenai Yang Mahamutlak. Dengan kata ini beliau mengritik keterbatasan logika manusia. Karena itu saya juga bersikap sama seperti beliau.”


Disamping itu Sri Jiva juga mengatakan bahwa dirinya menyusun kitab Sandarbha berdasarkan dakshinatyena bhattena adyam granthana-lekham, catatan-catatan tertulis yang asli dari Sri Gopala Bhatta, filsuf mulia dan sarjana ahli Veda yang berasal dari India Selatan. Beliau menerima catatan-catatan dari Bhatta Goswami karena dua alasan. Pertama adalah karena tau santosayata santau srila-rupa-sanatanau, memuaskan para santa, hamba-hamba Tuhan yang tersuci, seperti Sri Rupa Goswamipada dan Sri Sanatana Goswamipada. Dua tokoh ini adalah orang suci yang paling dimuliakan di India Utara pada jamannya sampai sekarang, karena kemurnian dan kesempurnaan rohaninya. Bahkan dikatakan bahwa Akbar, raja paling cemerlang dalam dinasti Mughal yang beragama Islam, bersujud menghormati Sri Rupa. Jadi apa yang dikatakan oleh Bhatta Goswami disetujui oleh orang suci sempurna seperti itu, bahkan sangat menyenangkan hati mereka. Lalu alasan kedua adalah kranta-vyutkranta-khanditam, apa yang ditulis oleh Bhatta Goswami telah dapat membantah semua kesalahpahaman filsafat sebelumnya atau pendapat-pendapat lain yang terbukti salah. Jadi berdasarkan dua alasan ini, Sri Jiva menggunakan catatan-catatan dari Bhatta Goswami dalam menyusun Sandarbha-nya, selain tentu saja menggunakan kutipan-kutipan berbagai sastra Veda.

Dalam Mahabharata Tatparya Nirnaya, Sri Madhvacharya juga berkata, “Saya dapat menyampaikan kesimpulan segala pengetahuan (siddhanta) – dalam tulisan saya – karena sastrantarani sanjanan vedantasya prasadatah dese dese tatha granthan drishtva caiva prithag vidhan yatha sa bhagavan vyasah saksan narayanah prabhuh jagada bharatadyeshu tatha vakshye tadikshaya iti, saya memahami semua intisari pustaka suci berkat karunia dari Upanisad-Vedanta. Saya juga telah berkeliling seluruh penjuru negeri dan sudah mengetahui semua kitab suci yang tersebar di mana-mana. Namun yang paling penting adalah saya sepenuhnya memuliakan kata-kata Bhagavan Vedavyasa, yang tiada lain adalah Tuhan Sriman Narayana Sendiri, sebagaimana tertulis dalam Mahabharata dan kitab-kitab lainnya.”


[Srila Saccidananda Bhaktivinoda Thakura]
Pada awal abad ke-20 tokoh rohaniwan besar sekaligus penulis produktif dari Bengala, Sri Thakura Bhaktivinoda, juga menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam perkembangan kekayaan pustaka Hindu. Beliau hidup sejaman dengan para pendiri Brahmo-samaj dan teman baik keluarga Tagore. Berbeda dengan sastrawan seperti Rabindranath Tagore yang lebih memilih penampilan populer, Thakura Bhaktivinoda memilih memasuki inti masyarakat Veda yang lebih ortodoks dan menjadi pewaris dari garis perguruan tradisional Goudiya. Thakura Bhaktivinoda, sekalipun memelihara penyampaian ajaran Veda dalam kalangan konservatif, namun beliau berhasil merintis dibagikannya ajaran-ajaran esoterik Veda bagi dunia internasional, yang sebelumnya hanya terbatas dalam lingkungan masyarakat tertentu. Beliau adalah Acharya Goudiya pertama yang menyampaikan ajaran Veda dalam tulisan-tulisan berbahasa Inggris. Srila Thakura Bhaktivinoda juga menulis dalam karyanya yang berjudul Amnaya-sutra, “Seorang yang bernama Bhaktivinoda, dengan bersujud pada guru semesta Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu, atas pemberkatan para hamba Tuhan dan perintah roh-roh yang agung, menyusun 130 sutra ini yang menguraikan kesimpulan akhir semua Veda-veda. Kesimpulan ini diperoleh setelah mengkaji delapan pramana, enam lingam, dan makna langsung serta tidak langsung semua kata-kata sabda. Semoga semua hamba-hamba Tuhan, yang berlindung pada kaki padma Bhagavan Sri Caitanya mempelajari sutra-sutra ini.”

Semua orang yang serius dalam menempuh hidup rohani dalam jalan Veda mengetahui bahwa Sri Caitanya adalah teladan sempurna bagi mereka yang mendalami Bhaktiyoga. Seorang Acharya dan penulis seperti Srila Bhaktivinoda menginginkan agar semua orang yang mendalami Bhaktiyoga di bawah bimbingan ajaran Sri Caitanya dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari sutra karya beliau itu. Ini adalah intensi dari sang penulis. Lalu Sang Thakura juga mempermudah kita dengan terlebih dahulu mempelajari begitu banyak aspek Veda kemudian menyimpulkannya untuk mendukung pelaksanaan bhakti kita. Selain itu beliau menulis buku bukan atas dasar keinginan sendiri saja atau untuk mendapat jasa dari usahanya itu, melainkan atas perintah begitu banyak orang suci yang hidup pada masanya. Penulisan buku itu sendiri juga memperoleh pemberkatan dari masyarakat para santa atau sadhu, yang tentu juga selalu mengharapkan kesejahteraan rohani semua orang. Jadi bagi mereka yang juga ingin benar-benar membina diri dalam Bhaktiyoga, kitab-kitab yang disusun oleh para penulis seperti Sri Jiva Goswamipada, Sri Madhvacharya, dan Srila Thakura Bhaktivinoda, adalah merupakan bacaan wajib.

Dalam Hindu setiap orang maju dengan pemacunya sendiri, mencapai keinsafannya sendiri, dan membangun relasinya yang paling pribadi bersama Tuhan. Setiap orang harus dapat menghormati dan menghargai semua ini. Tetapi sekalipun agama adalah hal yang sangat pribadi, Hindu mendukung setiap orang untuk selalu membagi kemajuan rohaninya pada tingkat apapun juga. Ini bisa dicapai dengan menuliskannya. Siapa saja bisa menuliskan dan membagi keinsafannya itu kepada semua orang. Sebanyak pencapaian tingkat-tingkat kesempurnaan spiritual setiap orang, sebanyak itu pula karya-karya relijius yang bisa kita temukan dalam masyarakat Hindu. Setiap orang juga berhak memilih bacaan apapun dari sekian banyak yang tersedia baginya. Tetapi bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin mencapai keberhasilan dalam hidup rohaninya, maka buku-buku seperti diuraikan sebelumnya itu harus dibaca. Harus bukan berarti kita salah jika membaca yang lainnya, tapi sayang bila kita melewatkan tulisan-tulisan ini begitu saja.

Kesalahpahaman tentang buddha-avatara



Buddha (bukan Budha) sangat dihormati dalam masyarakat Hindu. Ini merupakan nama dari salah satu Avatara dari Bhagavan Sri Vishnu, sehingga Buddha dikatakan dipuja oleh umat Hindu, terutama dari golongan Vaishnava, sebagai Vishnu-avatara atau Inkarnasi Vishnu. Pendapat atau keyakinan ini memang ditentang oleh umat Buddha, terutama dari kalangan Theravada. Dalam agama Buddha, Sakyamuni atau Gautama, yang kita kenal sebagai Buddha historis adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan sempurna menjadi Buddha seperti Buddha-Buddha lain yang telah mendahuluinya pada jaman yang telah lampau. Buddha bukanlah penjelmaan siapa-siapa. Tetapi pertanyaannya adalah apakah Buddha Sakyamuni (atau Sakyasingha) adalah Buddha yang sama, yang dibicarakan oleh kedua kelompok, umat Buddha dan Hindu Vaishnava?

Sepengetahuan kita, Vaishnavisme banyak tidak sependapat dengan ajaran Buddhisme sebagaimana dibawakan oleh Sakyasingha, lalu apa logikanya mereka bisa memuja pendiri agama lain sebagai penjelmaan dari Pujaan Tertinggi dalam keyakinan mereka? Belum lagi tidak ada satu Vaishnava pun secara tradisi yang bersedia melakukan pemujaan di tempat-tempat suci Buddhis. Perkecualian hanya di Vajrasana atau Maha-bodhi Vihara di Gaya (Bihar)! Sekalipun sering dikatakan bahwa golongan Hindu Vaishnavalah yang mengangkat Buddha masuk ke dalam pantheon para deva Hindu demi membangkitkan kembali pengaruh agama Veda yang mengalami kemunduran selama berabad-abad oleh perkembangan pesat agama Buddha, tetapi sesungguhnya ini tidak benar. Pada praktiknya, tidak ada Vaishnava yang bersembahyang di Vihara Buddha, kecuali pada tempat yang kita sebut sebelumnya. Kita harus memperhatikan benar kenyataan ini.

Tempat Pemujaan Buddhadeva bagi Vaishnava (Hindu)


Bila ada pertanyaan, apakah Vaishnava memuja Buddha? Maka jawabannya YA, tetapi bukan dalam Vihara Buddhis, karena ini bukan tempat sembahyang bagi para pengikut Veda. Buddhis tidak menerima Veda sebagai kebenaran, karena itu tidak sepantasnya para Vaishnava turut memuja Buddha di Vihara, di samping konsep Buddha yang dipegang oleh kedua ajaran juga berbeda. Namun bukan larangan bagi Vaishnava maupun umat Hindu yang lain untuk pergi ke Vihara dan menghormati "Buddhanya umat Buddha". Bagaimanapun juga kita memuliakan Sakyasingha Buddha atau Gautama Buddha sebagai pribadi yang terhormat. Seorang guru agung bagi banyak orang yang juga turut kita ajak bersama-sama berbagi susah dan senang bersama di dunia ini.

Pura Agung Jagannath di Puri, Orissa, India

Lalu di manakah para Vaishnava memuja Buddhadeva? Tentunya di Jagannath Puri, Orissa. Karena kita memuja Jagannath sebagai Param-brahman, dan Buddhadeva adalah salah satu wujud-Nya. Selain itu umat Hindu juga memuja Buddhadeva di Mahabodhi Vihara, di Bihar. Buddhadeva yang dipuja oleh Vaishnava merupakan salah satu wujud manifestasi Jagannath yang adalah Adi-Buddha, sumber semua potensi pencerahan, bukan Buddha Sakyasingha, Buddha historis yang merupakan manusia dan guru besar yang telah mencapai pencerahan, pendiri agama Buddha yang masih ada di jaman modern ini. Vajrasana atau Mahabodhi Vihara dinyatakan sebagai tempat pemujaan Adi-Buddha, jadi tidak mengkhusus pada peringatan pencapaian pencerahan Buddha historis saja. Lalitavistara bab 21 menyatakan bahwa Sakyasingha (Siddhartha) duduk di bawah pohon Bodhi di Vajrasana demi mencapai pencerahan sebagaimana para Buddha sebelumnya (purvabuddhasanasthah). Jadi jelas bahwa Mahabodhi Vihara tidak hanya dimaksudkan sebagai monumen peringatan pencapaian pencerahan Sakyasingha saja, melainkan semua Buddha sebelumnya. Dengan kata lain Mahabodhi merupakan tempat memuja hakikat tertinggi Kebuddhaan itu sendiri yang disebut Adi-Buddha dalam Vajrayana dan Vishnu-avatara Buddha atau Jagannath dalam Vaishnavisme. Inilah sebabnya mengapa para Vaishnava hanya bersembahyang pada Buddha di Mahabodhi Vihara saja.

Mahabodhi Vihara, Bihar

Arca Buddha dalam Mahabodhi Vihara. Satu-satunya Arca Buddha di India yang dipuja oleh umat Hindu ortodoks

Gaya-ksetra, tempat perziarahan suci dalam Veda bahkan sebelum munculnya Gautama Buddha historis
Bagaimana dengan para Vaishnava dan umat Hindu Indonesia secara umum? Apakah harus ke India dulu untuk bisa memuja Buddha? Untuk ini kita harus "melihat" sejarah. Dari sumber-sumber Buddhisme di Cina, dikatakan bahwa raja Subhakarasingha dari Odra atau Orissa berjasa dalam membawa agama Buddha ke Cina. Subhakarasingha dikatakan merintis penyebaran agama Buddha ke Cina dengan membawa Mahavairochana-sutra dan sebuah kitab ikonografi memuat berbagai mandala yang bernama Sarvatathagatha-tattvasamgraha yang secara khusus menekankan pentingnya Mahavairochana. Mahavairochana di sini juga merepresentasikan kembali konsep Adi-Buddha-Jagannath yang sudah berkembang di Orissa sebelumnya. Mandala-mandala terkenal yang berkaitan dengan ajaran ini antara lain Mahakaruna-garbhodbhava-mandala dan Vajradhatu-mandala. Ajaran-ajaran ini memang mencapai popularitasnya pada awal abad ke-8 di Orissa. Jagannath yang dipuja di Orissa sebagai Adi-Buddha sekali lagi mendapat tempat-Nya di pusat Vajradhatu-mandala sebagai Mahavairochana. Para sejarawan di Orissa meyakini bahwa ajaran ini mencapai Cina setelah melalui Sumatra dan Jawa, di Indonesia. Ajaran tentang Mahavairochana ini masih dianut di Cina dan Jepang sampai sekarang.

Ajaran ini juga berkembang dengan kuat di Indonesia di masa kejayaan Srivijaya-Sumatra dan Mataram-Jawa, bisa dilihat dari isi kitab Sang Hyang Kamahayanikan Mantrayana, yang masih dilestarikan hingga saat ini oleh sebagian umat Buddha Indonesia. Bahkan lebih dari itu ternyata juga sampai pada jaman Majapahit yang melahirkan konsep Siva-Buddha sebagaimana ditemukan dalam kitab Sutasoma. Buddhisme Indonesia tampaknya merupakan turunan Mahayana-Vajrayana-Mantrayana. Para praktisi ajaran ini menyebut diri mereka mengikuti Dharma Kasugatan. Memang Buddha historis juga disebut dengan gelar Sugata, tetapi Amarasingha terutama menggunakan nama Sugata Buddha untuk menyebut Vishnu-avatara Buddha. Melihat pelaksanaan Dharma Kasugatan dan keyakinannya akan konsep Adi-Buddha yang theistik, maka tampaknya Buddhisme Indonesia ini bersifat Vajrayana. Theravada, yang lebih bersifat non-theistik, mazhab Buddhisme terbesar di Asia Tenggara dan Srilanka tampaknya tidak banyak berpengaruh pada Buddhisme Indonesia di masa lampau, yang sekarang sisa-sisanya masih ditemukan di beberapa tempat. Kompleks Candi Borobudur merupakan pengejawantahan fisik dari ajaran ini.

Candi Buddha terbesar di dunia ini merupakan Vajradhatu-mandala tiga dimensi yang luar biasa, dengan Mahavairochana di pusatnya, yang dilambangkan dengan stupa induk Borobudur. Sedangkan Mendut merupakan mandala Buddha Mahavairochana yang juga diuraikan dalam Kamahayanikan. Mahavairochana Buddha kembali mewakili konsep Adi-Buddha dan Jagannath yang juga diyakini dan dipuja oleh Vaishnava. Di antara kedua candi ini, yang posisinya membentuk garis lurus, terdapat Candi Pawon. Pawon merupakan tempat puja Homa atau Agnihotra, sebuah ritual api suci yang nyaris hanya dilaksanakan dalam Vajrayana saja, selain dalam agama Hindu tentunya. Homa juga masih dilaksanakan oleh para pengikut Shingon Buddhisme di Jepang, salah satu cabang Tantra Buddha yang juga memuliakan Mahavairochana. Di Jepang upacara ini disebut Goma. Poros Mendut-Pawon-Borobudur dengan jelas menggambarkan konsep dan ajaran agama Buddha mana yang diterapkan di sini.
Dengan demikian kompleks Borobudur merupakan satu lagi tempat suci Buddha yang juga boleh menjadi tempat persembahyangan Vaishnava, setelah Mahabodhi Vihara di Gaya (Bihar). Sehingga secara spiritual tidak mengherankan bila Borobudur-Buddhis dibangun serangkaian dengan kompleks Candi Prambanan-Hindu (Prambanan=Param-brahman=Para-vasudeva). Borobudur dibangun berdasarkan konsep bahwa dia merepresentasikan Kebuddhaan Tertinggi dalam Vajradhatu-mandala yang berpusat pada Mahavairochana. Mahavairochana adalah Adi-Buddha yang adalah Jagannath atau Vishnu sebagai Svayam-bhagavan-para-vasudeva atau Param-brahman. Sedangkan Prambanan menghadirkan Param-brahman dalam representasi Tri Natha, Tri Deva, atau Tri Murti. Keduanya menyatakan Kebenaran Mutlak Tertinggi yang sama! Sehingga bagi umat Hindu di Indonesia, khususnya para Vaishnava, di candi-candi inilah mereka dapat memuja Buddhadeva.

Sebagai kesimpulan dapatlah kita nyatakan bahwa Sakyamuni, Sakyasingha, atau Gautama yang dikenal sebagai Buddha historis bukanlah Buddha yang dipuja oleh para Vaishnava sebagai Vishnu-avatara Buddha. Sakyasingha merupakan guru agung yang telah mengalami pencerahan tidak disembah oleh para Vaishnava, bahkan kenyataannya umat Buddha pun juga tidak menyembahnya. Umat Buddha hanya menghormatinya sebagai guru pembimbing, teladan yang tiada taranya bagi mereka. Buddha yang dimaksud oleh para Vaishnava berbeda dengan yang dimuliakan oleh umat Buddha sebagai pendiri agamanya. Perbedaan ini terutama sangat jelas sehubungan dengan pandangan kalangan Theravada dari Buddhisme. Selama ini golongan Vaishnava dianggap bertanggung jawab atas masuk atau diserapnya Buddha historis sebagai salah satu Avatara serta memperoleh kehormatan dalam pantheon deva-deva Hindu. Ini tidaklah benar! Pemujaan Vaishnava kepada Buddhadeva mendahului kemunculan Sakyamuni atau Buddha historis.

catatan: Kamahayanikan memang menyatakan bahwa Mahavairochana memancar dari wajah Sakyasingha. Namun sekali lagi, ini tampaknya tidak bersesuaian dengan keyakinan Buddhis populer yang memandang Gautama Buddha hanya sebagai pribadi agung yang telah mencapai pencerahan sempurna tanpa mengidentifikasikannya dengan makhluk illahi apapun. Akan tetapi, ketika kita berjumpa dengan konsep Trikaya Buddha dalam Mahayana-Vajrayana atau Dharma Kasugatan, maka kita akan menemukan hal yang hampir sama sekali berbeda dengan pandangan Buddhis tradisionalis (Theravadin). Konsep Trikaya Buddha lebih dekat dengan pemahaman Buddhadeva dalam Vaishnavisme. Dharmakaya Buddha adalah Jagannath atau Adi-buddha yang paralel dengan Para-vasudeva dalam Vaishnava-tantra. Sambhogakaya Buddha paralel dengan Vaibhava-avatara Buddha. Nirmanakaya Buddha adalah Sugata Buddha dalam Vaishnavisme (sedangkan dalam Mahayana-Vajrayana saat ini adalah Sakyamuni Buddha). Penelitian yang dilakukan oleh Bhakti Ananda Goswamy di berbagai negara Buddhis menunjukkan adanya kesejajaran teologi antara Vaishnavisme dengan berbagai pandangan denominasi-denominasi Mahayana-Vajrayana. Penelitian beliau tentang ajaran Sukhavati (Pure Land Buddhism/Tanah Suci) memperoleh kesimpulan yang mirip dengan observasi saya pada Vajrayana Kalinga dan hasil diskusi saya bersama Prof. Fakir Mohan Das Sahityacharya dari Uttkal University, Orissa. Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa Sakyamuni atau Gautama Buddha yang dikenal dalam komunitas Theravadin adalah 100% bukan Avatara Vishnu, sekalipun kesimpulan yang kurang tegas akan muncul bila kita membicarakan Buddha dalam pandangan Mahayana-Vajrayana (apakah Buddha mereka sama dengan Buddha yang dimaksud oleh pengikut Veda).

Saktya-avesha Buddha


Ada pula beberapa orang Hindu yang mengatakan bahwa Buddha adalah seorang Saktya-avesha Avatara. Saktya-avesha berarti seorang jiva-tattva atau makhluk hidup biasa yang diberikan kuasa khusus dan kekuatan khusus dari aspek tertentu Tuhan. Sebagai contoh adalah para Avatara seperti Narada, Mahidasa, dan Empat Kumara. Kekuatan Tuhan bekerja melalui mereka, sekalipun mereka sendiri adalah makhluk hidup biasa. Seperti dibahas pada posting-posting sebelumnya, dalam tradisi Vaishnava-vedanta kita memahami adanya tiga tattva utama, atau adanya tiga kenyataan yaitu ishvara, cit, dan acit. Cit dan acit tergantung pada ishvara, sedangkan ishvara atau Tuhan Tertinggi adalah merdeka sepenuhnya, tidak tergantung pada apapun juga (paramasvatantra). "Biasa" di sini dengan pengertian bahwa mereka bukan tergolong ishvara-vargam atau ishvara-tattva, namun adalah cit-tattva. Memang benar Buddha dianggap salah satu Saktya-avesha sesuai dengan keyakinan bahwa Tuhan Sendiri secara Pribadi tidak menjelma pada jaman Kali sebagai Avatara. Dalam Veda dengan jelas dikatakan bahwa tidak ada Avatara pada Kaliyuga, sehingga dengan demikian tentu saja Buddha bukan termasuk golongan Avatara seperti Rama, Nrisimha, Vamana, dan sebagainya, tetapi termasuk golongan Saktya-avesha.

Gambar lama Dasa-avatara. Buddhadeva pada pojok kanan atas. Tidak ditampilkan seperti gambaran Buddha biasanya, namun lebih menyerupai Vishnu Sendiri. Tidak ada klaim kepemilikan terhadap Gautama Buddha oleh umat Hindu, apalagi dari golongan Vaishnava seperti sering dinyatakan oleh orang-orang.

Walau demikian, menurut berbagai catatan dalam Veda dan Purana, yang juga diperjelas oleh Sri Jiva Gosvami dalam Sri Krishna Sandarbha, Sarva-samvadini-tika, dan Vishnu-dharmottara, dikatakan bahwa Buddha adalah seorang Saktya-avesha yang turun pada saat jaman Kali sudah berjalan selama 2000 tahun (tatah ity ayam kaler abda-sahasra-dvitiye gate vyaktah). Itu berarti sekitar 3500-4000 tahun yang lalu, sedangkan Sakyamuni atau Buddha Gautama hidup 2500 tahun yang lalu. Jadi jelas bahwa Buddha yang dimaksud dalam Veda bukanlah Buddha historis, melainkan Buddha lain yang oleh Amarasingha disebut sebagai Sugata Buddha. Sugata Buddha inilah yang disebut sebagai Saktya-avesha dari Vishnu, bukan Sakyamuni Buddha. Kemudian dalam Dasa-avatara-stotra, Sri Vadiraja Tirtha menjelaskan bahwa Vishnu-avatara Buddha mengajarkan dharma Kebuddhaan di alam surga kepada para deva, sedangkan Sakyamuni, yang dikatakan sebagai putra Suddhodana mengajar di alam manusia. Buddha yang dipuja oleh umat Hindu, khususnya para Vaishnava, adalah Sugata Buddha ini atau yang oleh Sri Vadiraja disebut Paramatma Buddha. Saat ini biografi Sakyamuni atau Gautama Buddha yang tersedia adalah kitab-kitab Lalitavishtara, Jatakamala (kisah-kisah kelahiran Buddha sebelum mencapai kebuddhaan), dan Buddhacarita yang lebih baru. Di sisi lain Sugata Buddha dikisahkan dalam bentuk prediksi oleh Purana-purana Hindu, karena Purana dalam bentuk tertulis disusun oleh Vedavyasa hampir 6000 tahun yang lalu. Ribuan tahun lebih awal dari kemunculan Buddha, baik Sugata Buddha maupun Sakyamuni Buddha. Bahkan dalam Srimad Bhagavatam juga dikisahkan adanya 2 Buddha berbeda karena Purana Hindu mencatat hampir semua kejadian relijius penting di setiap kalpa yang berbeda. Bila kita bandingkan kisah kehidupan Buddha Hindu dalam Purana dengan Buddhanya umat Buddha, maka akan jelas tampak sekali perbedaannya.

Gambaran Buddha dalam masyarakat Hindu lebih menyerupai pencitraan Vishnu tradisional dengan dua dvarapalaka Vaikuntha atau para Divyasuri

Hindu dan Buddhisme, sekalipun memiliki banyak persamaan, namun juga berdiri pada dasar konsep ketuhanan yang berbeda. Umat Buddha tidak perlu merasa keberatan dengan keyakinan Hindu bahwa Buddha adalah salah satu Avatara Vishnu. Di luar ada tidaknya dampak politis dari keyakinan ini, setidaknya secara filosofis Buddha yang dimaksud oleh kedua belah pihak tidaklah sama. Umat Hindu juga tidak benar memaksakan bahwa Sakyamuni merupakan Buddha-avatara dari Vishnu. Dalam literatur Veda sendiri tidak ada bukti-bukti yang mendukung hal ini, tidak pula dalam tulisan para guru Hindu terdahulu. Tampaknya keyakinan bahwa Sakyamuni Buddha merupakan Avatara adalah kesalahpahaman yang terlanjur populer dan disebar luaskan oleh mereka yang berada di luar tradisi Veda otentik. Satu-satunya penjelasan adalah oleh karena kebesaran nama Buddha historis sendiri dan juga oleh pemikiran para sarjana Barat yang menganggap tidak mungkin ada catatan sejarah lebih tua lagi dari jaman Buddha historis 2500 tahun yang lalu. Mereka tidak percaya bila sebelum masa itu sudah ada peradaban rohani Vaidika yang telah berkembang sangat tinggi.