OM SRI SAIRAM

OM SRI SAIRAM........

Minggu, 02 Januari 2011

Kesalahpahaman tentang buddha-avatara



Buddha (bukan Budha) sangat dihormati dalam masyarakat Hindu. Ini merupakan nama dari salah satu Avatara dari Bhagavan Sri Vishnu, sehingga Buddha dikatakan dipuja oleh umat Hindu, terutama dari golongan Vaishnava, sebagai Vishnu-avatara atau Inkarnasi Vishnu. Pendapat atau keyakinan ini memang ditentang oleh umat Buddha, terutama dari kalangan Theravada. Dalam agama Buddha, Sakyamuni atau Gautama, yang kita kenal sebagai Buddha historis adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan sempurna menjadi Buddha seperti Buddha-Buddha lain yang telah mendahuluinya pada jaman yang telah lampau. Buddha bukanlah penjelmaan siapa-siapa. Tetapi pertanyaannya adalah apakah Buddha Sakyamuni (atau Sakyasingha) adalah Buddha yang sama, yang dibicarakan oleh kedua kelompok, umat Buddha dan Hindu Vaishnava?

Sepengetahuan kita, Vaishnavisme banyak tidak sependapat dengan ajaran Buddhisme sebagaimana dibawakan oleh Sakyasingha, lalu apa logikanya mereka bisa memuja pendiri agama lain sebagai penjelmaan dari Pujaan Tertinggi dalam keyakinan mereka? Belum lagi tidak ada satu Vaishnava pun secara tradisi yang bersedia melakukan pemujaan di tempat-tempat suci Buddhis. Perkecualian hanya di Vajrasana atau Maha-bodhi Vihara di Gaya (Bihar)! Sekalipun sering dikatakan bahwa golongan Hindu Vaishnavalah yang mengangkat Buddha masuk ke dalam pantheon para deva Hindu demi membangkitkan kembali pengaruh agama Veda yang mengalami kemunduran selama berabad-abad oleh perkembangan pesat agama Buddha, tetapi sesungguhnya ini tidak benar. Pada praktiknya, tidak ada Vaishnava yang bersembahyang di Vihara Buddha, kecuali pada tempat yang kita sebut sebelumnya. Kita harus memperhatikan benar kenyataan ini.

Tempat Pemujaan Buddhadeva bagi Vaishnava (Hindu)


Bila ada pertanyaan, apakah Vaishnava memuja Buddha? Maka jawabannya YA, tetapi bukan dalam Vihara Buddhis, karena ini bukan tempat sembahyang bagi para pengikut Veda. Buddhis tidak menerima Veda sebagai kebenaran, karena itu tidak sepantasnya para Vaishnava turut memuja Buddha di Vihara, di samping konsep Buddha yang dipegang oleh kedua ajaran juga berbeda. Namun bukan larangan bagi Vaishnava maupun umat Hindu yang lain untuk pergi ke Vihara dan menghormati "Buddhanya umat Buddha". Bagaimanapun juga kita memuliakan Sakyasingha Buddha atau Gautama Buddha sebagai pribadi yang terhormat. Seorang guru agung bagi banyak orang yang juga turut kita ajak bersama-sama berbagi susah dan senang bersama di dunia ini.

Pura Agung Jagannath di Puri, Orissa, India

Lalu di manakah para Vaishnava memuja Buddhadeva? Tentunya di Jagannath Puri, Orissa. Karena kita memuja Jagannath sebagai Param-brahman, dan Buddhadeva adalah salah satu wujud-Nya. Selain itu umat Hindu juga memuja Buddhadeva di Mahabodhi Vihara, di Bihar. Buddhadeva yang dipuja oleh Vaishnava merupakan salah satu wujud manifestasi Jagannath yang adalah Adi-Buddha, sumber semua potensi pencerahan, bukan Buddha Sakyasingha, Buddha historis yang merupakan manusia dan guru besar yang telah mencapai pencerahan, pendiri agama Buddha yang masih ada di jaman modern ini. Vajrasana atau Mahabodhi Vihara dinyatakan sebagai tempat pemujaan Adi-Buddha, jadi tidak mengkhusus pada peringatan pencapaian pencerahan Buddha historis saja. Lalitavistara bab 21 menyatakan bahwa Sakyasingha (Siddhartha) duduk di bawah pohon Bodhi di Vajrasana demi mencapai pencerahan sebagaimana para Buddha sebelumnya (purvabuddhasanasthah). Jadi jelas bahwa Mahabodhi Vihara tidak hanya dimaksudkan sebagai monumen peringatan pencapaian pencerahan Sakyasingha saja, melainkan semua Buddha sebelumnya. Dengan kata lain Mahabodhi merupakan tempat memuja hakikat tertinggi Kebuddhaan itu sendiri yang disebut Adi-Buddha dalam Vajrayana dan Vishnu-avatara Buddha atau Jagannath dalam Vaishnavisme. Inilah sebabnya mengapa para Vaishnava hanya bersembahyang pada Buddha di Mahabodhi Vihara saja.

Mahabodhi Vihara, Bihar

Arca Buddha dalam Mahabodhi Vihara. Satu-satunya Arca Buddha di India yang dipuja oleh umat Hindu ortodoks

Gaya-ksetra, tempat perziarahan suci dalam Veda bahkan sebelum munculnya Gautama Buddha historis
Bagaimana dengan para Vaishnava dan umat Hindu Indonesia secara umum? Apakah harus ke India dulu untuk bisa memuja Buddha? Untuk ini kita harus "melihat" sejarah. Dari sumber-sumber Buddhisme di Cina, dikatakan bahwa raja Subhakarasingha dari Odra atau Orissa berjasa dalam membawa agama Buddha ke Cina. Subhakarasingha dikatakan merintis penyebaran agama Buddha ke Cina dengan membawa Mahavairochana-sutra dan sebuah kitab ikonografi memuat berbagai mandala yang bernama Sarvatathagatha-tattvasamgraha yang secara khusus menekankan pentingnya Mahavairochana. Mahavairochana di sini juga merepresentasikan kembali konsep Adi-Buddha-Jagannath yang sudah berkembang di Orissa sebelumnya. Mandala-mandala terkenal yang berkaitan dengan ajaran ini antara lain Mahakaruna-garbhodbhava-mandala dan Vajradhatu-mandala. Ajaran-ajaran ini memang mencapai popularitasnya pada awal abad ke-8 di Orissa. Jagannath yang dipuja di Orissa sebagai Adi-Buddha sekali lagi mendapat tempat-Nya di pusat Vajradhatu-mandala sebagai Mahavairochana. Para sejarawan di Orissa meyakini bahwa ajaran ini mencapai Cina setelah melalui Sumatra dan Jawa, di Indonesia. Ajaran tentang Mahavairochana ini masih dianut di Cina dan Jepang sampai sekarang.

Ajaran ini juga berkembang dengan kuat di Indonesia di masa kejayaan Srivijaya-Sumatra dan Mataram-Jawa, bisa dilihat dari isi kitab Sang Hyang Kamahayanikan Mantrayana, yang masih dilestarikan hingga saat ini oleh sebagian umat Buddha Indonesia. Bahkan lebih dari itu ternyata juga sampai pada jaman Majapahit yang melahirkan konsep Siva-Buddha sebagaimana ditemukan dalam kitab Sutasoma. Buddhisme Indonesia tampaknya merupakan turunan Mahayana-Vajrayana-Mantrayana. Para praktisi ajaran ini menyebut diri mereka mengikuti Dharma Kasugatan. Memang Buddha historis juga disebut dengan gelar Sugata, tetapi Amarasingha terutama menggunakan nama Sugata Buddha untuk menyebut Vishnu-avatara Buddha. Melihat pelaksanaan Dharma Kasugatan dan keyakinannya akan konsep Adi-Buddha yang theistik, maka tampaknya Buddhisme Indonesia ini bersifat Vajrayana. Theravada, yang lebih bersifat non-theistik, mazhab Buddhisme terbesar di Asia Tenggara dan Srilanka tampaknya tidak banyak berpengaruh pada Buddhisme Indonesia di masa lampau, yang sekarang sisa-sisanya masih ditemukan di beberapa tempat. Kompleks Candi Borobudur merupakan pengejawantahan fisik dari ajaran ini.

Candi Buddha terbesar di dunia ini merupakan Vajradhatu-mandala tiga dimensi yang luar biasa, dengan Mahavairochana di pusatnya, yang dilambangkan dengan stupa induk Borobudur. Sedangkan Mendut merupakan mandala Buddha Mahavairochana yang juga diuraikan dalam Kamahayanikan. Mahavairochana Buddha kembali mewakili konsep Adi-Buddha dan Jagannath yang juga diyakini dan dipuja oleh Vaishnava. Di antara kedua candi ini, yang posisinya membentuk garis lurus, terdapat Candi Pawon. Pawon merupakan tempat puja Homa atau Agnihotra, sebuah ritual api suci yang nyaris hanya dilaksanakan dalam Vajrayana saja, selain dalam agama Hindu tentunya. Homa juga masih dilaksanakan oleh para pengikut Shingon Buddhisme di Jepang, salah satu cabang Tantra Buddha yang juga memuliakan Mahavairochana. Di Jepang upacara ini disebut Goma. Poros Mendut-Pawon-Borobudur dengan jelas menggambarkan konsep dan ajaran agama Buddha mana yang diterapkan di sini.
Dengan demikian kompleks Borobudur merupakan satu lagi tempat suci Buddha yang juga boleh menjadi tempat persembahyangan Vaishnava, setelah Mahabodhi Vihara di Gaya (Bihar). Sehingga secara spiritual tidak mengherankan bila Borobudur-Buddhis dibangun serangkaian dengan kompleks Candi Prambanan-Hindu (Prambanan=Param-brahman=Para-vasudeva). Borobudur dibangun berdasarkan konsep bahwa dia merepresentasikan Kebuddhaan Tertinggi dalam Vajradhatu-mandala yang berpusat pada Mahavairochana. Mahavairochana adalah Adi-Buddha yang adalah Jagannath atau Vishnu sebagai Svayam-bhagavan-para-vasudeva atau Param-brahman. Sedangkan Prambanan menghadirkan Param-brahman dalam representasi Tri Natha, Tri Deva, atau Tri Murti. Keduanya menyatakan Kebenaran Mutlak Tertinggi yang sama! Sehingga bagi umat Hindu di Indonesia, khususnya para Vaishnava, di candi-candi inilah mereka dapat memuja Buddhadeva.

Sebagai kesimpulan dapatlah kita nyatakan bahwa Sakyamuni, Sakyasingha, atau Gautama yang dikenal sebagai Buddha historis bukanlah Buddha yang dipuja oleh para Vaishnava sebagai Vishnu-avatara Buddha. Sakyasingha merupakan guru agung yang telah mengalami pencerahan tidak disembah oleh para Vaishnava, bahkan kenyataannya umat Buddha pun juga tidak menyembahnya. Umat Buddha hanya menghormatinya sebagai guru pembimbing, teladan yang tiada taranya bagi mereka. Buddha yang dimaksud oleh para Vaishnava berbeda dengan yang dimuliakan oleh umat Buddha sebagai pendiri agamanya. Perbedaan ini terutama sangat jelas sehubungan dengan pandangan kalangan Theravada dari Buddhisme. Selama ini golongan Vaishnava dianggap bertanggung jawab atas masuk atau diserapnya Buddha historis sebagai salah satu Avatara serta memperoleh kehormatan dalam pantheon deva-deva Hindu. Ini tidaklah benar! Pemujaan Vaishnava kepada Buddhadeva mendahului kemunculan Sakyamuni atau Buddha historis.

catatan: Kamahayanikan memang menyatakan bahwa Mahavairochana memancar dari wajah Sakyasingha. Namun sekali lagi, ini tampaknya tidak bersesuaian dengan keyakinan Buddhis populer yang memandang Gautama Buddha hanya sebagai pribadi agung yang telah mencapai pencerahan sempurna tanpa mengidentifikasikannya dengan makhluk illahi apapun. Akan tetapi, ketika kita berjumpa dengan konsep Trikaya Buddha dalam Mahayana-Vajrayana atau Dharma Kasugatan, maka kita akan menemukan hal yang hampir sama sekali berbeda dengan pandangan Buddhis tradisionalis (Theravadin). Konsep Trikaya Buddha lebih dekat dengan pemahaman Buddhadeva dalam Vaishnavisme. Dharmakaya Buddha adalah Jagannath atau Adi-buddha yang paralel dengan Para-vasudeva dalam Vaishnava-tantra. Sambhogakaya Buddha paralel dengan Vaibhava-avatara Buddha. Nirmanakaya Buddha adalah Sugata Buddha dalam Vaishnavisme (sedangkan dalam Mahayana-Vajrayana saat ini adalah Sakyamuni Buddha). Penelitian yang dilakukan oleh Bhakti Ananda Goswamy di berbagai negara Buddhis menunjukkan adanya kesejajaran teologi antara Vaishnavisme dengan berbagai pandangan denominasi-denominasi Mahayana-Vajrayana. Penelitian beliau tentang ajaran Sukhavati (Pure Land Buddhism/Tanah Suci) memperoleh kesimpulan yang mirip dengan observasi saya pada Vajrayana Kalinga dan hasil diskusi saya bersama Prof. Fakir Mohan Das Sahityacharya dari Uttkal University, Orissa. Dengan demikian dapat kami simpulkan bahwa Sakyamuni atau Gautama Buddha yang dikenal dalam komunitas Theravadin adalah 100% bukan Avatara Vishnu, sekalipun kesimpulan yang kurang tegas akan muncul bila kita membicarakan Buddha dalam pandangan Mahayana-Vajrayana (apakah Buddha mereka sama dengan Buddha yang dimaksud oleh pengikut Veda).

Saktya-avesha Buddha


Ada pula beberapa orang Hindu yang mengatakan bahwa Buddha adalah seorang Saktya-avesha Avatara. Saktya-avesha berarti seorang jiva-tattva atau makhluk hidup biasa yang diberikan kuasa khusus dan kekuatan khusus dari aspek tertentu Tuhan. Sebagai contoh adalah para Avatara seperti Narada, Mahidasa, dan Empat Kumara. Kekuatan Tuhan bekerja melalui mereka, sekalipun mereka sendiri adalah makhluk hidup biasa. Seperti dibahas pada posting-posting sebelumnya, dalam tradisi Vaishnava-vedanta kita memahami adanya tiga tattva utama, atau adanya tiga kenyataan yaitu ishvara, cit, dan acit. Cit dan acit tergantung pada ishvara, sedangkan ishvara atau Tuhan Tertinggi adalah merdeka sepenuhnya, tidak tergantung pada apapun juga (paramasvatantra). "Biasa" di sini dengan pengertian bahwa mereka bukan tergolong ishvara-vargam atau ishvara-tattva, namun adalah cit-tattva. Memang benar Buddha dianggap salah satu Saktya-avesha sesuai dengan keyakinan bahwa Tuhan Sendiri secara Pribadi tidak menjelma pada jaman Kali sebagai Avatara. Dalam Veda dengan jelas dikatakan bahwa tidak ada Avatara pada Kaliyuga, sehingga dengan demikian tentu saja Buddha bukan termasuk golongan Avatara seperti Rama, Nrisimha, Vamana, dan sebagainya, tetapi termasuk golongan Saktya-avesha.

Gambar lama Dasa-avatara. Buddhadeva pada pojok kanan atas. Tidak ditampilkan seperti gambaran Buddha biasanya, namun lebih menyerupai Vishnu Sendiri. Tidak ada klaim kepemilikan terhadap Gautama Buddha oleh umat Hindu, apalagi dari golongan Vaishnava seperti sering dinyatakan oleh orang-orang.

Walau demikian, menurut berbagai catatan dalam Veda dan Purana, yang juga diperjelas oleh Sri Jiva Gosvami dalam Sri Krishna Sandarbha, Sarva-samvadini-tika, dan Vishnu-dharmottara, dikatakan bahwa Buddha adalah seorang Saktya-avesha yang turun pada saat jaman Kali sudah berjalan selama 2000 tahun (tatah ity ayam kaler abda-sahasra-dvitiye gate vyaktah). Itu berarti sekitar 3500-4000 tahun yang lalu, sedangkan Sakyamuni atau Buddha Gautama hidup 2500 tahun yang lalu. Jadi jelas bahwa Buddha yang dimaksud dalam Veda bukanlah Buddha historis, melainkan Buddha lain yang oleh Amarasingha disebut sebagai Sugata Buddha. Sugata Buddha inilah yang disebut sebagai Saktya-avesha dari Vishnu, bukan Sakyamuni Buddha. Kemudian dalam Dasa-avatara-stotra, Sri Vadiraja Tirtha menjelaskan bahwa Vishnu-avatara Buddha mengajarkan dharma Kebuddhaan di alam surga kepada para deva, sedangkan Sakyamuni, yang dikatakan sebagai putra Suddhodana mengajar di alam manusia. Buddha yang dipuja oleh umat Hindu, khususnya para Vaishnava, adalah Sugata Buddha ini atau yang oleh Sri Vadiraja disebut Paramatma Buddha. Saat ini biografi Sakyamuni atau Gautama Buddha yang tersedia adalah kitab-kitab Lalitavishtara, Jatakamala (kisah-kisah kelahiran Buddha sebelum mencapai kebuddhaan), dan Buddhacarita yang lebih baru. Di sisi lain Sugata Buddha dikisahkan dalam bentuk prediksi oleh Purana-purana Hindu, karena Purana dalam bentuk tertulis disusun oleh Vedavyasa hampir 6000 tahun yang lalu. Ribuan tahun lebih awal dari kemunculan Buddha, baik Sugata Buddha maupun Sakyamuni Buddha. Bahkan dalam Srimad Bhagavatam juga dikisahkan adanya 2 Buddha berbeda karena Purana Hindu mencatat hampir semua kejadian relijius penting di setiap kalpa yang berbeda. Bila kita bandingkan kisah kehidupan Buddha Hindu dalam Purana dengan Buddhanya umat Buddha, maka akan jelas tampak sekali perbedaannya.

Gambaran Buddha dalam masyarakat Hindu lebih menyerupai pencitraan Vishnu tradisional dengan dua dvarapalaka Vaikuntha atau para Divyasuri

Hindu dan Buddhisme, sekalipun memiliki banyak persamaan, namun juga berdiri pada dasar konsep ketuhanan yang berbeda. Umat Buddha tidak perlu merasa keberatan dengan keyakinan Hindu bahwa Buddha adalah salah satu Avatara Vishnu. Di luar ada tidaknya dampak politis dari keyakinan ini, setidaknya secara filosofis Buddha yang dimaksud oleh kedua belah pihak tidaklah sama. Umat Hindu juga tidak benar memaksakan bahwa Sakyamuni merupakan Buddha-avatara dari Vishnu. Dalam literatur Veda sendiri tidak ada bukti-bukti yang mendukung hal ini, tidak pula dalam tulisan para guru Hindu terdahulu. Tampaknya keyakinan bahwa Sakyamuni Buddha merupakan Avatara adalah kesalahpahaman yang terlanjur populer dan disebar luaskan oleh mereka yang berada di luar tradisi Veda otentik. Satu-satunya penjelasan adalah oleh karena kebesaran nama Buddha historis sendiri dan juga oleh pemikiran para sarjana Barat yang menganggap tidak mungkin ada catatan sejarah lebih tua lagi dari jaman Buddha historis 2500 tahun yang lalu. Mereka tidak percaya bila sebelum masa itu sudah ada peradaban rohani Vaidika yang telah berkembang sangat tinggi.

Rabu, 29 Desember 2010

Belajar dari Sebuah Pengalaman


Hampir semua umat Hindu di dunia ini pasti tahu Bukit Suci Thirumala, di Thirupati, Andhra-pradesh, India. Thirumala adalah rangkaian tujuh bukit, sehingga disebut juga Saptagiri. Di puncak bukit ke tujuh yang paling tinggi, adalah Pura Agung Tuhan Venkateshwara, atau di India Selatan dikenal sebagai Srinivasa Perumal dan di Utara lebih termashyur sebagai Balaji. Pura Agung ini adalah tempat perziarahan paling popular di seluruh dunia dan merupakan institusi keagamaan yang terkaya di dunia, bahkan melebihi Mekkah dan Vatican. Pada hari-hari biasa, minimal 10 ribu orang akan berdesakan dan mengantri berjam-jam untuk dapat masuk dan melihat sekilas Archa Tuhan Srinivasa, yang merupakan salah satu Svayamvyakta-murti atau Citra Suci yang terwujud sendiri tanpa sentuhan tangan makhluk fana.


Pura Agung Tuhan Srinivasa ada di puncak tertinggi bukit ini yang disebut Thirumala. Kita berjalan dari kota Thirupati di bawah. Lihat puncak-puncak menara gapura yang menandai jalur tangga-tangga mendaki bukit ini

Pura Agung ini dikelola oleh semacam badan khusus disebut Thirumala Thirupati Devasthanam (TTD) yang mengatur berbagai hal, mulai dari keteraturan berlangsungnya ritual di kuil, akomodasi para peziarah, mengelola dana yang berasal dari sumbangan umat, sampai menyalurkannya untuk kegiatan-kegiatan sosial di berbagai bidang seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, proteksi dan pelestarian budaya Hindu, dsb. Karena luar biasanya kepopuleran Pura ini, sampai-sampai TTD juga menerapkan sistem ticketing untuk berbagai hal yang mungkin akan dilakukan oleh peziarah. Mulai dari sekedar masuk Pura dan darshan kepada Tuhan Srinivasa, melakukan persembahan khusus, dan mengikuti upacara-upacara yang terjadwal dalam kehidupan keseharian Pura ini. Semakin mudah dan cepat bisa masuk ke dalam Pura, maka semakin mahal harga tiket yang harus dibayar. Jadi kita mengenal pembelian tiket sampai booking tiket VIP dan VVIP untuk sekedar masuk ke dalam Pura. Sistem ini selain membantu keberlangsungan dukungan dana untuk Pura, juga mempermudah bagi peziarah yang memiliki sedikit waktu. Bayangkan saja dengan waktu libur kita yang terbatas di luar India, kita jauh-jauh datang ke Thirumala, lalu harus antri lagi berjam-jam.

Dengan nilai uang yang sangat tinggi di India banyak yang tidak dapat membeli tiket VIP apalagi VVIP, padahal bagi kita orang Indonesia yang mampu ke luar negeri, 200 – 300 ribu bukan jumlah yang berarti. Itu karena nilai uang kita sangat rendah di negara kita sendiri. Bayangkan negara-negara yang nilai mata uangnya jauh lebih tinggi dari Indonesia. Jadi ticketing ini cukup menguntungkan bagi peziarah yang datang dari luar India seperti kita. Beberapa saudara kami yang ke Thirumala, semua membeli tiket VVIP. Tapi itupun membuat mereka harus antri 2-3 jam untuk masuk dan melihat ke dalam Ruang Mahasuci (hanya kurang dari 10 detik!).

Seorang paman berkisah kepada saya. Dia datang berziarah ke Thirupati dan hendak membeli tiket VVIP. Dengan nilai mata uang negaranya, tentu beliau termasuk orang yang sangat berada bila di India. Sayang, semua tiket VVIP, bahkan VIP biasa pun sudah habis. Uring-uringan mereka sekeluarga terpaksa mengikuti jalur biasa yang bisa memakan waktu 5-6 jam, mendaki ribuan anak tangga yang melalui keenam bukit menuju bukit ke tujuh yang paling tinggi. Ribuan peziarah lokal dari kalangan bawah juga mengikuti jalur yang sama, karena mereka memang tidak punya uang untuk membeli tiket VIP apalagi VVIP seperti “turis kaya” semacam kita.

Sekeluarga peziarah sederhana baru saja datang dari Pura Tuhan Srinivasa di puncak bukit. Mereka yang tidak mempersembahkan harta paling tidak berusaha mempersembahkan rambut mereka, sebagai ungkapan syukur dan rasa terimakasihnya kepada Tuhan. Ini adalah praktik relijius yang sangat khas di Thirumala

Satu keluarga berpenampilan miskin dan lusuh menjadi teman seperjalanan keluarga paman. Paman bertanya kepadanya dia datang dari mana. Dia menyebut sebuah desa yang cukup jauh juga sekalipun masih dalam negara bagian Andhra. Lalu bagaimana dia datang ke sini? Mereka sekeluarga ternyata berjalan kaki dari desanya karena tak ada biaya untuk sewa kendaraan! Lalu sudah berapa kali mereka berziarah ke Thirupati? Sang ayah berkata kalau dia sejak usia 7 tahun selalu ke Thirupati setiap tahun tanpa absen (kira-kira dia berusia 35-40 tahun saat pertemuan itu). Wow! Dan dia selalu menempuh jalan yang sama, karena dari sekian tahun yang lalu ekonomi keluarga mereka tidak pernah membaik. Selama sekian tahun dia berjalan kaki dari desanya, lalu mendaki ribuan anak tangga sampai ke puncak bukit ke tujuh, mengantri berdesakan selama 5-6 bahkan pernah 8-12 jam (ini biasa kalau ada perayaan besar seperti Brahmotsava, “perayaan ulang tahun” Pura Agung itu), dan itu hanya untuk dapat melongok ke dalam Ruang Mahasuci yang tak lebih dari 10 DETIK!

Satu-satunya foto asli Archa Tuhan Srinivasa Perumal yang pernah dibuat. Karena manajemen Pura melarang keras kegiatan dokumentasi elektronik apapun terhadap Archa Beliau yang asli ini karena alasan keamanan. Perhatikan bagaimana perhiasan emas dan mahkota bertatahkan berlian menghiasi Beliau. Bahkan kain yang Beliau kenakan ditenun dari benang-benang emas halus seberat 2-3 kilogram. Karena besarnya jumlah peziarah, kita hanya bisa memandang Beliau di Ruang Mahasuci kurang dari 10 detik

Paman baru sekali lewat jalur non VVIP ini. Dia bertanya, “Apa yang anda cari di sini. Apa yang anda mohon setiap tahun dari Tuhan Srinivasa dengan menempuh kesulitan begitu besar?” Si ayah, kepala keluarga yang miskin ini menjawab, “Saya tidak mencari apa-apa. Saya tidak memohon apa-apa. Saya hanya ingin memperlihatkan pada Tuhan Srinivasa bahwa selama setiap tahun ini saya baik-baik saja dan sekarang saya membawa keluarga saya juga untuk memperlihatkan bahwa mereka baik-baik saja. Saya datang untuk berterimakasih karena Tuhan Srinivasa selama sekian lama sudah merawat saya dan kami semua dengan begitu baik.”

Airmata Paman menetes (saya yang mendengar cerita ini juga meneteskan airmata). Paman sudah merasakan, bahwa dengan bertemu keluarga ini, seluruh perziarahannya ke Thirupati Thirumala sungguh-sungguh berhasil. Perziarahan ke Pura Agung paling termashyur di dunia ini dan Darshan 10 detik kurang itu sekarang benar-benar bermakna. Tuhan Srinivasa Sendiri sudah mengajarkan kepada kami, bagaimana sesungguhnya cinta sejati kepada-Nya. Inilah bagaimana kunjungan ke sebuah Pura merubah pandangan kami terhadap hidup ini, terhadap diri kami, dan terhadap Tuhan. Inilah bagaimana Tuhan yang bertahta sebagai Sri Srinivasa Perumal dalam bentuk sebuah arca batu hitam yang tak dibuat oleh makhluk fana manapun, telah mengubah hati kami!

Pemujaan Citra Suci Tuhan


Kini kita akan membahas secara mendalam topik yang paling sering disalah pahami oleh orang-orang Non Hindu, terutama mereka yang termasuk dalam tradisi Abrahamik. Inilah topik yang paling sering diserang oleh mereka yang ingin melakukan konversi atau proselitasi terhadap umat Hindu. Suatu karakteristik Hindu yang dianggap sebagai salah satu kelemahan kita, yang bahkan membuat umat Hindu sendiri terkadang merasa malu dan menolak keberadaannya. Itulah pemujaan Citra Suci, Srimurti, atau Archa-avatara. Sekalipun dalam posting-posting terdahulu saya sudah menceritakannya, namun kita belum pernah tahu kenapa pemujaan pada Srimurti, bagaimana pun kita berusaha menghapuskan, menyangkal, dan mencoba menyingkirkannya dengan pemikiran rasional, namun masih tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari Hindu sejak berabad-abad.


Sebuah Pura atau Archa Hindu dihancurkan sudah biasa... kalau mau digali pasti banyak sisanya seperti yang ditemukan oleh Badan Arkeologi India di bawah dasar Masjid Babri Ayodya. Tapi "pemuja Archa" belum kapok juga.. (gb.hindujagruti)
Bila anda kebetulan seorang Hindu pemula atau justru orang non Hindu yang tak terbiasa dengan pemujaan sejenis ini. Lalu ingin bertanya pada seorang Hindu, setidaknya yang cukup ahli, maka cobalah buka ensiklopedia Hindu, atau buku-buku Hindu yang ditulis oleh para rohaniwan Hindu populer, anda pasti akan menemukan jawaban sama. Coba saja lihat di Wikipedia misalnya. Jadi saya tidak akan mengulang lagi jawaban-jawaban itu. Saya akan membuka sebuah rahasia dari pemujaan Archa yang sesungguhnya.

Ya, dalam Hindu kita memang mengenal pemujaan Citra (Ikon) atau Tuhan yang diwujudkan secara fisik. Ini disebut Srimurti-puja. Ada beberapa orang yang tersentak oleh teori pemujaan Srimurti. Kata mereka, “Oh pemujaan Srimurti adalah penyembahan berhala! Srimurti adalah berhala yang dibuat oleh seniman dan diperkenalkan tiada lain oleh Setan-Iblis, Baalzebub dan Lucifer sendiri. Memuja objek seperti itu akan membangkitkan kecemburuan Tuhan dan membatasi kemahakuasaan, kemahatahuan dan kemahaadaan-Nya!” Kepada mereka kami akan berkata, “Wahai saudara, nyatakanlah keingintahuanmu secara tulus dan jangan biarkan dirimu dibuat salah paham oleh dogma-dogma yang bersifat sektarian. Tuhan tidaklah mungkin cemburu, karena Beliau adalah yang tunggal tiada duanya. Baalzebub atau Satan tak lain hanyalah objek imajinasi atau perumpamaan belaka. Makhluk imajiner atau perumpaan seperti itu seharusnya tidak boleh menjadi penghalang cintamu kepada Tuhan (bhakti).”

Mengapa beberapa orang berdoa dan menyembah harus menengadah... apakah langit (atau atap rumah) adalah Tuhan?
Mereka yang meyakini Tuhan sebagai impersonal mengidentikkan Beliau dengan suatu kekuatan atau atribut dalam Alam, misalnya saat kita berdoa kita menengadah ke langit atau menyebut Tuhan dengan istilah Yang Di Atas, walaupun sesungguhnya Beliau jauh lebih luhur, mengatasi Alam, hukum maupun aturan-aturannya. Keinginan-Nya adalah hukum dan akan menjadi tidak adil bahkan bila kita “membatasi” keunggulan-Nya yang tak terbatas dengan atribut-atribut seperti mahakuasa, mahatahu, dan mahaada; atribut-atribut yang juga bisa dimiliki oleh objek-objek yang diciptakan seperti ruang dan waktu.

Sri Krishna menunjukkan Wujud Semesta-Nya yang meliputi segala manifestasi dan segala bentuk kepada Arjuna.
Termasuk dalam keunggulan-Nya adalah bahwa di dalam Diri-Nya segala sifat dan kekuatan yang saling bertentangan berada di bawah pengendalian Diri-Nya yang adiduniawi (seperti Beliau mahabesar, juga mahakecil). Beliau Sendiri hanyalah identik dengan Persona-Nya Sendiri yang penuh segala keindahan, memiliki berbagai kekuatan seperti kemahaadaan, kemahatahuan, dan kemahakuasaan, yang tak dapat disamai oleh apapun. Pribadi-Nya yang suci dan sempurna ada secara kekal di dunia rohani dan pada saat yang sama juga ada dalam tiap ciptaan di mana-mana dalam segala kesempurnaan-Nya. Pemikiran seperti ini melampaui segala pemikiran tentang bentuk Citra apapun. Pemujaan Citra dalam Veda dikembangkan dalam konsep ini, dengan kesadaran penuh akan ketidakterbatasan Tuhan.

Wajah Hindu


Sebelumnya kita membicarakan wajah Hindu. Yah..., sebaik apapun kita mengatakan apa isi hatinya, tetapi tetap saja orang biasanya menilai dari wajah. Sayangnya wajah Hindu mungkin adalah wajah yang paling sering “digambarkan” oleh orang lain. Orang boleh dibilang jarang mengenal wajah Hindu dari “langsung bertemu dengannya”. Memang biasanya umat Hindu sendiri seringkali sungkan menggambarkan “wajah” agamanya sendiri. Orang Bali (Hindu) sering berkata dengan rendah hati, “Depang anake ngadanin, biarlah orang lain yang menilai.” Ternyata tepat sekali, selama ini Hindu sellu dilihat dari mata para Indolog asing seperti Max Muller dan teman-teman. Bahkan penilaian mereka ini justru dengan bodohnya diakui oleh umat Hindu sendiri. Betapa buruknya pengaruh penilaian luar ini bahkan terhadap cendikiawan Hindu sendiri

Sayangnya penilaian manusia memang umumnya subjektif. Inilah yang sering dilupakan oleh umat Hindu. Penilaian subjektif selalu dibentuk oleh berbagai karakteristik mental si penilai. Kalau sudah dari awal pikiran diset buruk, maka apapun yang dilihat adalah buruk. Sekali lagi inilah kondisi di alam duniawi ini, alam relativitas. Kalau penilaian bisa bersifat subjektif seperti ini maka umat Hindu juga berhak melakukan penilaian subjektif terhadap agamanya sendiri. Ketika kita sendiri meyakini bahwa agama adalah suatu pilihan, maka kita adalah yang paling bertanggung jawab menjelaskan penilaian kita atas pilihan kita sendiri itu. Maka yang paling berhak dan paling berkewajiban menghadirkan wajah Hindu adalah umat Hindu sendiri. Orang-orang yang langsung bertemu dengannya bahkan hidup bersamanya.


Dalam khusuknya kesendirian...


.... maupun gempitanya perayaan dan kebersamaan.
Doa Hindu adalah demi seluruh dunia
Papan nama Hindu adalah, “sarve janas sukhino bhavantu. loka samasta sukhino bhavantu. sarve badrani pasyantu, samasta sanmangalani santu, semoga semua orang berbahagia, semoga seluruh dunia berbahagia, semoga semuanya tumbuh dan berkembang, semoga segalanya mendapat kebaikan, semoga di mana-mana ada kedamaian.” Inilah kata kunci Veda. Singkatnya semoga semua orang, tak peduli status sosial, keyakinan, dan agamanya dapat hidup harmonis dan berbahagia. Hindu tidak mengajarkan jalan keselamatan yang egois. Kita tidak menggantungkan diri pada satu tuhan dan utusannya yang sewenang-wenang. Yang hanya menyelamatkan pemujanya, seberapa besarpun mereka berbuat kerusakan di bumi dan membuang sisa seluruh umat manusia ke neraka, sebaik apapun mereka bertingkah laku di dunia.

Veda mengajarkan bahwa dengan menyesuaikan tingkat kesadaran, maka kita dapat menentukan masa depan kita. Kitalah yang memutuskan untuk menempatkan diri dalam tingkat kesadaran yang mana. Apakah dalam pemuasan kebutuhan duniawi semata atau dalam keinsafan akan Tuhan. Semakin tinggi dan rohani tingkat kesadaran masyarakat, maka perubahan-perubahan buruk dalam masyarakat dan bumi secara keseluruhan akan berkurang. Segala sesuatu di dunia akan menjadi selaras dan seimbang. Kita diajarkan bahwa keadaan dunia ini merupakan cerminan dari kesadaran para penduduknya. Ketika umat manusia dapat bekerja sama secara harmonis dengan alam, maka alam tidak akan membuat kita menderita dengan bencana dan sebagainya. Ketika manusia dan alam seimbang, maka alam akan memberikan segala sesuatu yang kita butuhkan untuk hidup yang baik. Jadi umat Hindu tidak cuma berusaha menyimpan kenikmatan eksternal dari alam surga yang dinantikannya setelah mati seperti pada agama lain. Kita diajarkan untuk membangun kebahagiaan internal dalam arus kesadaran rohani. Kebahagiaan itu bersumber dari cintakasih rohani kita kepada Tuhan, yang kemudian memancar, meluas kepada semua makhluk dan seluruh alam semesta. Kebahagiaan itu harus dibagikan kepada dunia tanpa membeda-bedakan.

Di dalam persembahyangan pribadi di rumah sendiri pun kita mendoakan seluruh dunia...

Tidak seperti pencitraan orang selama ini, sesungguhnya tidak ada diskriminasi dalam Hindu, baik antara pengikutnya sendiri maupun terhadap umat beragama lain. Sistem kasta adalah noda yang paling sering dilekatkan pada wajah Hindu. Diskriminasi berdasarkan kelahiran, pelanggaran hak asasi manusia, dan ketidakadilan pada kemanusiaan. Kasus-kasus kaum Dalit atau keterbelakangan hidup para Adivasi (suku-suku asli pedalaman), ditambah teori Invasi Arya atau pemecahan Aryan dengan Dravidian ciptaan penjajah Barat seakan memperkuat kenyataan ini di dalam masyarakat Hindu. Tentu umat Hindu pun sudah lelah menyatakan bahwa kasta bukan bagian dari ajaran agamanya. Walau demikian bila mau jujur, kita toh sadar tetap saja kasta dan pelapisan sosial, disebutkan atau tidak, diakui atau tidak, diinstitusikan atau tidak, memang sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Sistem kasta semacam itu tak lebih dari permasalahan sosial yang alamiah, muncul tanpa perlu dasar relijius atau teologis, dan memang selayaknya diselesaikan sebagai bagian dari perbaikan kehidupan sosial masyarakat.




Kekejaman akibat sistem kasta yang "sebenarnya"
Tetapi kita sering melupakan sistem kasta yang sebenarnya jauh lebih mengerikan. Diskriminasi antara orang percaya dengan yang tidak percaya, antara kaum beriman dengan orang kafir. Diskriminasi yang tak hanya dilekatkan untuk hidup ini saja tetapi juga setelah kematian, hanya dengan berdasarkan sistem klasifikasi paling kasar dan tidak masuk akal. Pengakuan eksternal terhadap suatu “kebenaran” yang tak dapat dikenal. Diskriminasi yang telah terbukti sepanjang sejarah telah membawa dampak yang paling mengerikan bagi kemanusiaan. Suatu kisah yang diwarnai oleh perang, pembantaian, penjarahan, tertumpahnya darah, kucuran airmata, hancurnya banyak peradaban, punahnya keanekawarnaan budaya, dan musnahnya banyak suku bangsa. Semuanya terjadi hanya karena konsep kasta yang paling menyeramkan ini. Kita tidak pernah bermaksud mengobarkan rasa amarah atau dendam, tetapi inilah kenyataan yang harus kita terima bersama. Akankah kesalahan masa lalu harus terulang? Semua berada di tangan kita.

Veda justru mengajarkan sama-darsana, melihat persamaan dan kesejajaran semua makhluk. Hal ini sejalan dengan pemahaman mendasar yang diberikan Veda mengenai atma. Semua makhluk sejatinya adalah atma, yang semua merupakan bagian dari Tuhan Yang Maha Esa, Paramatma, Roh Tertinggi. Semua kehidupan pada dasarnya adalah suci. Kanchi Sankaracharya Sripada Candrasekharendra Sarasvati (Sri Maha Periyava) berkata, “Perhatian kepada segenap ciptaan Tuhan ini, yang kita temukan terungkap oleh Veda, tidak dimiliki oleh agama-agama lain. Sanno astu dvipade sancatuspade... ini terdapat dalam suatu mantra Veda. Veda berdoa bagi kebaikan semuanya, makhluk berkaki dua, berkaki empat, dan sebagainya. Bahkan rumput, semak, pepohonan, gunung-gunung, dan sungai-sungai tak luput dari lingkupnya yang damai. Melalui keutamaan Veda yang begitu spesial, semua makhluk hidup dan benda mati dibawa ke dalam keadaan yang bahagia.” Ini hanyalah salah satu dari sekian banyak aspek yang indah dari Hindu. Veda mengajarkan untuk tidak saja memikirkan kesejahteraan diri pribadi dan umat seagama saja, tetapi mendoakan kebaikan bagi seluruh makhluk hidup, manusia, hewan, tumbuhan, dan segenap alam. Inilah wajah yang harus kita gambarkan, kita perkenalkan, dan dengan tegas kita nyatakan. Wajah dari “yang kita cintai”. Cinta mungkin memang bisa membutakan, tapi inilah yang dengan tegas dan jujur kita katakan. Inilah wajah Hindu yang kita kenal, yang dikenal baik oleh para pengikutnya yang telah berhasil bertahan selama berabad-abad dalam berbagai tekanan. Kita harus menyampaikannya dengan penuh keyakinan, melebihi keyakinan “mereka” akan kebenaran penilaiannya terhadap wajah Hindu.

Mengasihi hewan dalam Go Puja...
Memberinya makanan dari tangan sendiri dengan kasih sayang seperti seorang saudara

Saling Gugat

Non Hindu (NH): Mengapa umat Hindu menyembah benda mati bukan Tuhan yang sejati dan hidup?

Hindu (H): Itu katamu, bukan kami. Kami memuja Parabrahman Sri Bhagavan, Kebenaran Mutlak yang Utama dan Pribadi Tertinggi yang asli.

NH: Tapi di Pura-Puramu kamu memuja patung batu, mempersembahkan sesaji dan menyembahnya.
H: Kamu cuma bisa melihat batu, tapi kami melihat Rupa menakjubkan dari Sri Bhagavan yang kami cintai sepenuh hati.

NH: Tuhan Mahabesar, Mahaagung, Tak Terbatas, Mutlak, Mahakuasa, tak berwujud, tidak menyerupai apapun. Bagaimana kamu bisa mengatakan melihat Rupa-Nya?
H: Kamu tidak melihat tapi kami melihat. Kamu tidak tahu tapi kami tahu. Para Rishi kami mengetahui Rupa sejati Beliau tetapi kamu tidak. Dalam sastra suci kami Tuhan mengungkapkan Rupa-Nya tetapi dalam sastramu tidak. Kami mengenal-Nya dengan baik tetapi kamu tidak. Lalu mengapa kamu bisa mengatakan kami salah atau benar, sedangkan kamu tidak tahu apa-apa?

NH: Kalaupun Tuhan berwujud, tetapi kamu tidak bisa membuat citra-Nya. Kamu tidak bisa membuat gambar-Nya, patung-Nya, atau ukiran-Nya. Sekalipun mungkin bentuk-bentuk ini bisa mengingatkanmu kepada-Nya, sebagai objek untuk membantu memusatkan pikiran kepada-Nya seperti yang sering dikatakan oleh pemuka-pemuka agamamu, tetapi tetap saja kamu tidak bisa menyembahnya. Foto seseorang bagaimana pun sempurnanya bukan orang itu sendiri. Orang bodoh pun tahu ini.
H: Itu keterbatasanmu bukan keterbatasan Tuhan. Fotomu memang berbeda dengan dirimu. Memberikan makanan pada fotomu tidak akan membuatmu kenyang. Tapi Tuhan tidak seperti kamu. Beliau Mahakuasa, paramasvatantra, tidak terikat oleh syarat-syarat apapun. Satyasankalpa, segala hal dimungkinkan bagi Beliau. Sarvasaktiman, Beliau adalah pemilik dari segala kekuatan yang tak terbatas, sumber dari energi rohani maupun duniawi. Beliau juga adalah paramakrupalu, yang paling berkarunia. Oleh karunia Beliau yang tiada sebabnya, nirhetuka-krupa, Beliau telah mengungkapkan Veda dan Agamasastra seperti Pancaratra, yang memungkinkan kami mengundang kehadiran rohani Beliau di dalam Rupa Archa-Nya. Oleh kemurahan hati-Nya kepada kami, Beliau telah memberitahukan rahasia ini. Beliau telah memberitahu kami bagaimana caranya memohon kehadiran Beliau dan Beliau sangat mengasihi kami sehingga Beliau juga bersedia hadir seperti itu demi kami. Setelah itu kami dapat melakukan pelayanan secara langsung kepada Beliau melalui Archa-Nya. Bukan salah kami jika Tuhan tidak memberikan keistimewaan ini kepada kamu.

NH: Bila Tuhan benar-benar hadir dalam Archa-Nya yang kalian sembah, lalu kenapa kami bisa meremukkannya menjadi debu? Mengapa kami dapat menghancurkan Pura-Puramu dengan mudah? Mengapa Dia hanya diam saja melihat tempat suci-Nya diporak-porandakan?
H: Kami menerimanya sebagai pelajaran dan karunia juga dari Beliau. Peristiwa mengerikan semacam ini tidak membuat kami sedikitpun kehilangan keyakinan kepada Tuhan. Dengan ini Beliau memperlihatkan kepada kami, bahwa masih ada kekurangan dalam cinta dan pelayanan kami kepada Beliau, sehingga kehadiran Beliau yang rohani tidak ada lagi dalam Archa-Nya. Ini berarti kami harus memperbaiki kekurangan kami. Dengan melenyapkan Rupa Beliau yang tertampak di mata kami, Beliau telah hadir dalam Rupa-Nya yang jauh lebih mulia di hati kami, tempat kami memuja-Nya dalam kerinduan kami. Lihatlah bagaimana Sri Thyagaraja memuja Sri Rama ketika Archa Sri Rama pujaannya dibuang ke sungai. Dia bertemu dengan Sri Rama setiap saat, setiap detik, melihat-Nya dalam hatinya. Dapatkah kamu memuja Tuhan seperti ini? Beliau juga ingin memperlihatkan sesuatu yang lain kepada mata dunia. Atau lebih tepatnya kamu sendiri yang menunjukkan kepada dunia, betapa bodohnya dirimu. Bagaimana kamu bisa berpikir dengan menghancurkan Archa-Nya kamu sudah bisa melenyapkan Tuhan? Sekalipun bila benar patung-patung itu tidak memiliki nilai rohani sama sekali. Tidak ada kenyataan apapun yang kamu buktikan dengan menghancurkannya. Hanya kebodohan, kemarahan, dendam, pengendalian diri yang lemah, dan keterikatanmu pada hal-hal duniawi yang dapat kamu pamerkan. Kamu mengatakan itu hanya benda mati, tetapi kenapa tuhanmu yang sejati begitu takut padanya. Kenapa dia merasa benda-benda ini dapat menyainginya dan mengurangi keimananmu kepadanya? Lalu bila dia sungguh mahakuasa, mengapa dia tidak turun sendiri ke sini dan menghancurkan tuhan-tuhan “palsu” saingannya, supaya kami bisa sadar dan turut meyakininya? Ketika Pura-Pura kami dihancurkan, kami tidak melihat kegeraman murka tuhan sejati yang dijatuhkan pada penyembahan tuhan kami yang kalian kutuki. Kami justru melihat kebodohan besar sekelompok orang yang begitu menjijikkan dan tak mengenal budaya, yang mengikuti perintah tuhan yang sama lemah dan tidak beradabnya. Dengan demikian Beliau mengajarkan dan menunjukkan kepada kami secara nyata, siapa yang harus didengar, siapa yang harus dipercayai.

NH: Kamu sangat ahli berfilsafat sehingga hatimu membatu dan tidak dapat menerima firman tuhan yang benar. Filsafat dan pengetahuan ini semua berasal dari Iblis.
H: Iblismu lebih pintar dari tuhanmu, dia lebih licik dan pandai, mengapa kami harus percaya pada tuhan yang ada saingannya seperti itu? Wajar saja kalau akhirnya orang bisa-bisa lebih memilih ikut iblis saja. Bhagavan Sri Krishna yang kami puja tidak memiliki saingan, satu tiada dua-Nya, segala pengetahuan berasal dari-Nya, Beliau adalah sac-cid-ananda-vigraha, yang wujud-Nya kekal, penuh pengetahuan dan penuh kebahagiaan. Kami belajar agar hati kami sepenuhnya dirohanikan agar Tuhan berkenan bersemayam di dalamnya. Karena itu kami dapat melihat kehadiran Tuhan di mana-mana. Tapi hatimulah yang membatu dipenuhi berbagai konsep duniawi sehingga hanya bisa melihat batu sebagai batu saja. Sekalipun Tuhan hadir di hadapanmu, yang kamu lihat hanyalah batu. Ini ketidakberuntunganmu, bukan kami.

NH: Kamu sudah menghina tuhan dan agama kami. Kamu menjelek-jelekkan kepercayaan kami dan menghujat tuhan.
H: Kamu terlalu miskin untuk membeli cermin...