OM SRI SAIRAM

OM SRI SAIRAM........

Minggu, 06 Februari 2011

PILAR HELIODORUS



Heliodorus adalah seorang duta besar dari Yunani untuk India, 200 tahun sebelum lahirnya Kristus. Sebagai seorang diplomat asing, dia nyata-nyata memiliki kepercayaan diri yang penuh akan pemerintahan Yunaninya dan tentu juga memiliki pemahaman yang sangat maju tentang keadaan dunia di masa itu. Walau demikian dia menjadi termashyur, terutama dalam masyarakat arkeolog, bukan karena catatan politik dan diplomatiknya, melainkan karena pembangunan sebuah pilar monumental pada tahun 311 BCE di Beshnagar, Madhya Pradesh, India. Sekarang bangunan itu dikenal sebagai Pilar Heliodorus, tetapi di bidang arkeologi dan literatur-literatur, pilar tersebut diketahui sebagai sebuah Garuda-stambha, mirip seperti bangunan serupa yang masih kita temukan berada di Pura Agung Jagannath yang terkenal itu, di Puri, Orissa, India bagian timur. Bagi orang awam, keberadaan pilar ini tidak begitu dikenal, namun di kalangan arkeolog itu dianggap sebuah fenomena dari jaman kuno, yang penemuannya memberikan kesan yang tak terbantahkan tentang pengaruh universal kebudayaan Veda selama berabad-abad. Mengingat kenyataan bahwa negara-negara barat menerima sebagian besar pengetahuan mereka dan juga cara berpikirnya dari peradaban Yunani, maka pilar ini merupakan sebuah penemuan arkeologi yang penting dan unik, yang sangat bermakna bagi dunia secara keseluruhan.

Pilar Heliodorus pertama kali menarik perhatian kalangan sarjana barat pada tahun 1877 dalam sebuah ekspedisi arkeologis yang dikepalai oleh Sir Alexander Cunningham. Setelah menganalisa gaya (style) dan bentuk pilar, Cunningham salah menyimpulkannya sebagai bangunan yang didirikan pada masa Kekaisaran Gupta (abad ke dua), tanpa pernah bermimpi bahwa di balik lapisan adonan merah (kumkum) di bagian bawah pilar, tersembunyi sebuah inskripsi. Walau demikian tigapuluh dua tahun kemudian pada 1901, seorang peneliti independen didampingi oleh Dr. J.H. Marshall, menyingkirkan lapisan lumpur merah itu. Pada inspeksi jarak dekat, nampak sebuah inskripsi yang memberi tahu kita bahwa pilar itu bukanlah dibangun pada abad ke dua dan juga bukan pada masa Kekaisaran Gupta sebagaimana disangka sebelumnya. Dr. Marshall kemudian menjelaskan dalam sebuah artikel yang dimuat di Journal of the Royal Asiatic Society, bahwa Cunningham sudah salah memperkirakan jaman dari pilar itu dan tidak pernah membayangkan nilai dari penemuan yang ia biarkan terlepas begitu saja dari genggamannya. Bahasa yang digunakan dalam inskripsi di pilar itu adalah Prakrit, suatu turunan Sanskrit, dan pandangan sekali saja pada aksara Brahmi yang digunakan akan dengan jelas mengindikasikan bahwa pilar tersebut jauh berabad-abad lebih tua dari tahun 200 CE. Ini sebuah kejutan besar bagi Dr. Marshall, tetapi apa yang membuatnya lebih kaget lagi, sekaligus juga menyentak masyarakat arkeologi internasional, adalah terjemahan dari inskripsi Brahmi kuno itu sendiri. Terbaca, “devadevasya väsudevasya garuòa dhvajaù ayaà kärétaù heliodoreëa bhägavatena diyasa putreëa täkñaçiläkena, Pilar Garuda ini dipersembahkan kepada Väsudeva, Tuhan di atas segala tuhan, dan telah didirikan di tempat ini oleh Heliodorus, seorang pengikut jalan pengabdian suci Bhägavata, putra dari Dion, dan seorang warga negara Täkñaçila.” Täkñaçila adalah Taxila, dan menurut buku ‘Select Inscriptions on Indian History and Civilization’ oleh Profesor Dines Candra Sircar, yang diterbitkan oleh University of Calcutta, lokasi tepat dari Taxila adalah di Distrik Rawalpindi, Pakistan Barat di masa kini.

Kemudian tertulis lagi, “yavanadütena ägatena mahäräjasya antalikitasya upäntät sakäçaà räjïah käçé putrasya bhägabhadrasya trätuù varñena caturdaçena räjyena vardhamänasya, Yang telah datang sebagai duta besar dari raja agung Antialkidas, untuk kerajaan Maharaja Bhagabhadra putra Kashi, sang pelindung, yang kini telah memerintah selama empatbelas tahun dengan penuh kemakmuran.“

Supaya mendapat gambaran sekilas, kita harus mengingat bahwa filsuf-filsuf Yunani terbesar, dimulai dari Phytagoras yang hidup pada 560 BCE, Socrates pada 450 BCE, Hippocrates pada 400 BCE, serta Plato dan Aristoteles pada 350 BCE, pada masa itu telah mengajarkan doktrin-doktrin mereka, mengumandangkan filsafatnya, menyusun buku-bukunya, dan mulai menyebarluaskan pengaruh mereka. Duta besar Heliodorus, sebagai salah satu di antara elit Yunani yang terpelajar pada abad ke dua BCE, tentu sudah akrab dengan reputasi dan semua filsafat yang mereka ajarkan. Dengan memperhatikan latar belakang sosial dan historis ini, betapa cemerlangnya seorang Duta besar Yunani, Heliodorus, yang menjadi seorang pengikut Vaishnava memuja Vasudeva Krishna, dan mewariskan sebuah pilar monumental, sebuah Garuda-stambha, sebagai saksi dan bukti bagi semua keturunannya atas keyakinannya ini. Pada tahun 1955 setelah melalui penelitian yang melelahkan, Dr. M.D. Khare menemukan pada daerah yang sama, peninggalan dari sebuah kompleks Pura yang besar dipersembahkan untuk memuja Krishna, yang juga berasal dari masa yang sama dengan pilar itu.

Untuk menyimpulkan uraian singkat ini, adalah jelas dan menarik bahwa melalui panjang lebarnya sejarah, kita dapat menguak detil-detil pribadi yang terkecil dan memberikan penerangan mengenai pengalaman hidup dan kejadian-kejadian transformasi pribadi dari satu individu. Terimakasih banyak pada Heliodorus dan pilarnya, sehingga membuat kita dapat melihat bahwa Vaishnavisme (dan ajaran Veda secara umum) merupakan sebuah ajaran yang begitu unggul, cukup untuk meluluhkan hati orang-orang Yunani yang terdidik dan berbudaya, dan juga cukup universal untuk dapat menerima mereka masuk ke dalam tingkat-tingkat kedudukan rohani yang terdapat dalam keyakinan tersebut, bahkan pada masa ketika kebudayaan India dan Eropa secara ideologis terpisah begitu jauh. Pilar Heliodorus menjadi bukti bahwa kebudayaan Veda telah memiliki pengaruh yang begitu luas dan kuat bagi Eropa. Paling tidak di masa itu, orang sepenting dan seterpelajar duta besar, seorang diplomat dari sebuah negeri berbudaya tinggi di Eropa, menerima, meyakini, dan mengamalkan ajaran-ajaran Veda. Sekalipun di negerinya sendiri sudah berkembang selama beberapa ratus tahun pemikiran-pemikiran dan filsafat yang sampai saat ini masih kita kagumi. Lihatlah! Betapa menariknya pemahaman rohani yang berasal dari Veda ini.

ORANG-ORANG SUCI HINDU DAN JASA-JASANYA YANG TAK TERBATAS






Para orang suci Hindu disebut Sadhu, Sants, Mahant, atau Bhagavata. Mereka yang mengajarkan pengetahuan keinsafan rohani kepada masyarakat luas juga disebut Guru atau Acharya. Mereka tidak saja mengajarkan secara teori tetapi juga melalui teladan pribadinya. Merekalah yang menjaga suksesi guru-murid yang tak terputuskan dari Tuhan dan para Acharya terdahulu sampai generasi yang sekarang. Para Sants, Sadhu dan Acharya adalah penjaga kelanjutan pewarisan dharma. Kaki padma mereka adalah tempat berlindung bagi semua jiva yang berkeinginan untuk mencapai kesempurnaan. Hindu masih tetap ada dan hidup segar hingga hari ini adalah karena mereka. Merekalah kepala dari seluruh masyarakat yang membangun tubuh Hindu. Setiap umat Hindu adalah murid yang dengan kerendahan hati memohon ajaran dari mereka. Ajaran mereka tiada lain adalah realisasi Veda itu sendiri dan merupakan kesempurnaan pengalaman rohani mereka di dalam jalan Veda.

Para orang suci (Sants) dan Acharya dari Bharatvarsha senantiasa menetapkan dan menjelaskan pokok-pokok pikiran devosional dan filosofis dari Upanishad, Gita, dan Bhagavatam, yang membentuk keseluruhan tubuh Sanatana Dharma. Tidak ada pertentangan-pertentangan dalam uraian mereka itu. Apabila kita melihat adanya sesuatu yang tampak bertentangan, itu hanyalah karena kurangnya penafsiran yang benar atau pengertian yang tepat dari kita sebagai pembaca, karena setiap Sants dan Acharya menguraikan teori Ketuhanan dalam gayanya sendiri, sehingga untuk memahaminya kita perlu mengerti gaya tulisan-tulisan mereka ini.

Satu hal yang mesti anda ketahui adalah, bahwa Tuhan yang telah merevelasikan kitab-kitab suci Sanatana Dharma, secara langsung atau melalui Brahma; adalah juga Tuhan yang mengutus pribadi-pribadi rohani dari tempat kediaman-Nya untuk datang ke planet bumi ini dan menegakkan Sanatana Dharma; dan adalah Tuhan pula yang mengungkapkan Kebahagiaan-Nya yang Sempurna dan mutlak, melalui lila rohani-Nya untuk menunjukkan jalan bhakti (lila atau permainan sukacita rohani, menurut Sanatana Dharma merupakan bentuk ekspresi relasi Tuhan secara khusus dengan para pemuja-Nya). Bhakti inilah yang merupakan jiwa kehidupan dan intisari dari Sanatana Dharma dan semua pustaka suci. Dengan demikian, Sanatana Dharma yang abadi diciptakan oleh Tuhan, dihadirkan oleh Tuhan, ditegakkan, diajarkan dan disebarluaskan oleh rekan-rekan kekal Tuhan (para Sants dan Acharya).

Inilah yang menjadi alasan mengapa semua tulisan-tulisan rohani dari para Acharya dan Sants berada dalam keserasian sempurna dengan Upanishad, Gita, dan Bhagavatam (mewakili Prasthanatraya: sruti, smriti, dan nyaya atau sutra. Bhagavatam diterima sebagai smriti-purana dan juga nyayasastra karena merupakan ulasan atau bhasya atas Brahmasutra). Semua nama dan rupa Tuhan, dan juga filsafat untuk menginsafi Tuhan yang mereka jelaskan, sebenarnya sudah ada dalam Pustaka Suci (Veda). Tetapi beliau-beliau ini kemudian lebih lanjut menyederhanakan jalan pengabdian kepada Tuhan dan memperluas bahan-bahan yang bersifat devosional dengan mengungkapkan, misalnya lila Radha Krishna, sedikit lebih banyak daripada yang telah diulas dalam Upanishad, Purana, dan Bhagavatam.

Perbedaan-perbedaan yang tampak dalam tulisan-tulisan mereka dan ajaran-ajarannya merupakan representasi dari ketidakterbatasan wujud Tuhan, dan perbedaan-perbedaan ini berhubungan dengan status rohani sesungguhnya dari pribadi-pribadi yang mengungkapkannya. Hal tersebut juga merepresentasikan kebenaran ini, yaitu bahwa Tuhan Yang Maha Esa memiliki semua wujud yang tak terbatas. Demikianlah keyakinan penganut Sanatana Dharma terhadap ajaran para Sant dan Acharya yang berbeda-beda dalam tubuh tunggal Dharma kita ini.

SEMUA ACHARYA SEJATI DALAM SAT-SAMPRADAYA HANYA MENYAMPAIKAN SATU KEBENARAN


Adi Sankaracharya

Sri Ramanujacharya turun dari Vaikuntha, jadi beliau menekankan bhakti kepada Vishnu, namun beliau juga menjelaskan tentang pemujaan kepada Bhagavan Sri Rama dan Bhagavan Krishna. Beliau menulis tentang Sri Rama dalam bukunya, Sri Rama Patal dan Sri Rama Rahasya. Nimbarkacharya turun dari Goloka-dhama, jadi beliau mengajarkan tentang devosi kepada Radha Krishna. Sankaracharya merupakan titisan Siva, yang adalah Tuhan dalam yoga dan pembebasan, dan beliau juga seorang pemuja Krishna yang taat, jadi Sankaracharya menjelaskan tentang jnana dan yoga, namun disisipi juga tentang bhakti seperti yang kita dapatkan dalam bagian akhir ajaran Aparoksha-anubhutinya. Sankaracharya kemudian menguraikan pemujaan Krishna secara terperinci dalam Prabodha-suddhakara. Goswami Tulsidas adalah seorang pemuja Bhagavan Sri Rama yang abadi, jadi beliau secara panjang lebar memuji dan menyembah Bhagavan Sri Rama dalam semua tulisannya. Tetapi dalam suatu bagian Vinaya-patrika, beliau menulis bahwa maya tidak dapat menipunya karena beliau telah memiliki Nanda-kumara (Krishna) dalam lubuk hatinya. Contoh-contoh ini merepresentasikan status rohani sesungguhnya (posisi ontologis) dari masing-masing Sants dan Acharya, sekaligus juga menunjukkan penyerahan diri yang bersifat internal kepada berbagai Wujud Rohani Tuhan Yang Maha Esa.

Sri Ramanujacharya
Perbedaan-perbedaan yang tampak dalam berbagai bhasya (ulasan terhadap kitab suci) dari para Jagadguru atau Acharya ini bukanlah perbedaan atau pertentangan yang bersifat substansial. Mereka merupakan deskripsi dari Zat Illahi (divya-vastu) yang sama dengan suatu penyajian yang berbeda dan dengan pendekatan yang berbeda, dan terkadang mereka merupakan penjelasan yang lebih dalam lagi mengenai kebenaran rohani yang sama. Sebagai contoh, Sankaracharya mengatakan dalam bhasyanya bahwa Tuhan adalah impersonal (nirakar) dan maya hanyalah khayalan belaka. Sri Ramanujacharya tidaklah menolak keberadaan nirakar-brahman dan sifat mengkhayalkan dari maya, namun beliau lebih lanjut menjelaskan bahwa nirakar-brahman merupakan salah satu aspek dari purushottam-brahman (Pribadi Tertinggi Tuhan) dan berada di dalam-Nya. Maya sendiri bukanlah khayalan, hanya efek atau hasil karyanyalah yang berupa khayalan, sedang maya merupakan kekuatan yang kekal dan tidak memiliki hidup (achit–lifeless). Jagadguru yang lain mengatakan bahwa roh merupakan bagian yang sangat kecil dari chit-shakti Tuhan. Jiva Goswami lebih lanjut mengungkapkan keadaan roh ini dan menjelaskan bahwa ada kekuatan (Tuhan) yang disebut jiva-shakti yang merupakan bagian dari chit-shakti. Roh sesungguhnya adalah suatu bagian yang sangat kecil dari jiva shakti tersebut. Nimbarkacharya dan Vallabhacharya memantapkan supremasi Krishna (aspek maskulin) tetapi mereka tidak sepenuhnya menjelaskan Ketuhanan Radharani (aspek feminin). Jiva Goswami dan Rupa Goswami lebih lanjut menjelaskan bahwa Radharani adalah jiwa Krishna dan kemutlakan dari kekuatan hladini (energi kebahagiaan Tuhan) yang merupakan kekuatan (shakti) personal utama dari Tuhan Tertinggi Krishna. Para Goswami kemudian juga menuliskan dalam Krishna-sandarbha, Priti-sandarbha, dan Ujjvala-nilamani suatu uraian yang terperinci mengenai keadaan-keadaan cinta rohani dan luapan kesukacitaan para gopi, Krishna, dan Radha sebagaimana mereka dilihat di Goloka-Vrindaban. Dengan demikian kita bisa melihat bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan substansial dalam ajaran para Jagadguru dan Acharya Sanatana Dharma. Semua ini merupakan deskripsi dari keberadaan rohani yang sama dalam gaya penulisan atau gaya pengajaran mereka yang khas dan sesuai dengan pengalaman pribadi mereka akan Tuhan.

KITA SEJIWA



Adalah salah apabila kita mengatakan berbagai sampradaya yang dirintis oleh para Jagadguru dan Acharya ini merupakan suatu perpecahan dalam tubuh Hindu atau Sanatana Dharma. Hindu juga bukanlah sekedar penggabungan (konglomerasi) secara sembarangan berbagai jenis tradisi dan ajaran rohani berbeda, dengan tujuan hanya untuk memperbesar kuantitas pengikut. Semua tradisi rohani yang beranekawarna, yang berkembang di India maupun yang tersebar luas di seluruh dunia, memang merupakan bagian dari Sanatana Dharma. Sekalipun wujud kasarnya berbeda, tetapi jiwa kehidupannya tetap sama, yaitu mengembangkan cintakasih rohani kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sanatana Dharma ini sungguh-sungguh menghormati keunikan relasi setiap roh dengan Tuhan, sekaligus juga membantu perkembangan potensi rohani kita setinggi-tingginya, cocok sesuai dengan keadaan yang kita butuhkan. Karena itu, sekalipun jiwa kehidupan Sanatana Dharma adalah satu, namun kita disediakan begitu banyak metode pendekatan yang sempurna sebagaimana dihadirkan oleh para Jagadguru-Acharya dan sampradayanya masing-masing.


Kata dharma dalam Veda diterjemahkan menjadi bermacam-macam. Dharma merupakan sesuatu yang menjadi satu dengan sang roh, kekal bersama roh, dia yang memberikan roh jati dirinya yang sejati. Tanpa dharma segala sesuatu bukanlah menjadi sebagaimana adanya (as it is). Seperti panas dari api atau terangnya cahaya memberikan jati diri bagi api dan juga cahaya. Tanpa panas, api bukanlah api dan tanpa terang, cahaya bukanlah cahaya. Panas dan terang merupakan dharma dari api dan cahaya. Demikian pula halnya dengan dharma bagi sang roh, adalah berkaitan langsung dengan jati diri sejatinya. Dharma bukanlah sesuatu yang dibuat-buat karena itu dia dapat disebut pula sebagai agama dalam pengertian seperti di atas. Jadi agama juga bukan merupakan suatu keadaan yang tidak alamiah, tidak dipaksa-paksakan. Dia merupakan pancaran sejati dari jati diri sang roh yang asli.


Makhluk hidup atau roh (atma), sang kesadaran yang menghidupkan, disebutkan sebagai pancaran kecil dari Parambrahman Bhagavan Sri Krishna, Kesadaran Yang Mahatinggi atau Tuhan. Semua roh ini memiliki hubungan sejati dengan Roh Tertinggi. Hubungan ini merupakan salah satu dari kebenaran yang paling mendasar, yang disebut sebagai sambandha-tattva. Pengetahuan mengenai hubungan ini disebut sambandha-jnana. Kebenaran selanjutnya adalah tindakan dalam hubungan tersebut. Apa yang seharusnya terjadi dalam hubungan itu, ini disebut abhideya-tattva, dan pengetahuan mengenai hal itu dikenal sebagai abhideya-jnana. Pada titik akhir sampailah kepada apa maksud dari hubungan itu. Apa yang menjadi tujuan tertinggi dari semuanya ini. Kebenaran mengenai tujuan tertinggi dikenal sebagai prayojana-tattva, dan mengetahui hal ini merupakan keinsafan terhadap prayojana-jnana. Bila seseorang merenungkan semua ini dalam-dalam dan juga melihat dari mata kitab-kitab suci yang diwahyukan, maka kita mendapatkan bahwa cinta merupakan penjelasan bagi ketiga kebenaran ini. Kita berhubungan dengan Tuhan melalui cinta, tindakan dalam hubungan itu adalah karya-karya dalam cinta, dan tujuan tertinggi segalanya adalah mencintai Tuhan dengan sepenuh-penuhnya. Cinta ini merupakan tujuan (sadhya) dan juga merupakan cara (sadhana) untuk mencapai tujuan itu. Cara yang sempurna adalah merupakan kesempurnaan itu sendiri, sadhana yang sejati juga merupakan sadhya yang tertinggi itu, bagaikan lingkaran yang tak terputuskan, tiada awal dan akhirnya, dan mahamutlak. Inilah kosep ketuhanan dan kerohanian yang sejati, yang dinyatakan oleh semua kitab suci dan oleh mereka yang tercerahkan.


Pengabdian cintakasih atau Bhakti merupakan jawaban sesungguhnya atas semuanya ini. Hanya dia yang mampu mengungkapkan kebenaran yang paling mendasar, karena dia merupakan kebenaran itu sendiri. Bhaktilah yang merupakan dharma sejati, agama yang asli bagi semua makhluk hidup. Bhaktilah yang mampu mengungkapkan ketiga kebenaran mendasar itu dengan sempurna. Agama sejati adalah yang mampu membawa roh dalam keinsafan seperti itu. Dapatlah kita simpulkan bahwa Bhakti adalah merupakan dharma sejati bagi sang roh. Bhakti bercahaya sebagai perwujudan jati diri sang roh yang sesungguhnya. Dia kekal bersama roh, dia merupakan sifat alamiahnya, karena hanya dalam Bhaktilah hubungan antara roh dengan Tuhan diungkapkan secara sempurna. Oleh karena itu dikatakan bahwa Bhakti merupakan jiwa kehidupan Sanatana Dharma.

PERHATIKAN JIWANYA!


Hindu seperti yang telah kita pahami sebenarnya adalah Sanatana Dharma yang berdasarkan atas ajaran Veda. Sanatana Dharma sendiri merupakan fungsi roh yang kekal, sehingga sesungguhnya penampakan luar atau jasmaniah tidaklah seberapa penting dalam Hindu. Penerapan ajaran Veda atau agama Hindu dapat berkembang sesuai dengan keadaan di tempat dia tumbuh, sekalipun prinsip-prinsip yang mendasarinya tetap sama.

Sebagai contoh seorang pemuda yang jatuh cinta dengan seorang gadis bisa saja mengungkapkan perasaannya dengan cara yang berbeda-beda. Masing-masing orang tidaklah sama. Ada yang mengungkapkannya dengan memberi setangkai mawar, ada yang memberi isi seluruh toko kembang, ada yang mengarang puisi atau menyanyikan lagu, dan sebagainya. Ungkapan cinta juga bisa diberikan dengan mempersembahkan sesuatu yang menurut kita paling baik dan indah. Tentu saja batasan yang terbaik dan terindah ini sangat relatif, berbeda masing-masing bangsa, masing-masing suku, masing-masing keluarga, bahkan masing-masing individu. Tetapi esensi dari cinta itu tetap sama. Di manapun juga cinta adalah cinta yang sama. Inilah yang diajarkan oleh Veda. Hindu mengijinkan umatnya mengembangkan potensi pribadinya sendiri setinggi-tingginya. Standarisasi bukan dalam hal eksternal tetapi menyatukan pandangan secara internal atau batiniah.

Sebenarnya bukan saja Hindu di India tampak berbeda dengan di tempat lain, bahkan tradisi Hindu di India Utara dengan Selatan saja sudah cukup berbeda. Sebagai contoh lagi dalam sejarah kita ketahui di kala India berada dalam masa kelam di bawah penjajahan bangsa-bangsa dan agama asing, India Selatan relatif tidak terlalu terpengaruh oleh kondisi penuh tekanan ini. Kebudayaan Veda masih tumbuh dan berkembang dalam keindahan dan keasliannya yang sama sebagaimana beribu-ribu tahun yang lampau. Dengan adanya perlindungan kerajaan-kerajaan dan panglima-panglima perang Hindu yang cukup kuat, peradaban Veda yang suci tetap terjaga di India Selatan. Demikian pula hampir semua orang suci utama di jaman Kali, jaman kita ini, yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan ajaran Veda hingga hari ini, muncul dan hidup di India Selatan. Di antara mereka adalah para Nayanmar Saiva, Alvar Vaishnava, dan para Acharya. Sedangkan di Utara, tradisi Hindu telah menyesuaikan dengan pengaruh budaya bangsa lain yang pernah menjajah India dengan penuh tekanan. Kita tidak mendapatkan bentuk pemujaan yang penuh gegap gempita dan kemewahan seperti di Selatan. Di Utara kita bisa melihat Pura-pura Hindu yang berbentuk Haveli, seperti rumah orang kebanyakan.

KEBENARAN MUTLAK DALAM SEBATANG KAYU




Seringkali orang menganggap bahwa penempatan sesaji di bawah pohon atau persembahyangan yang dilakukan di bawah pohon adalah suatu bentuk keyakinan primitif yang dilakukan oleh orang-orang purba yang tidak beradab. Orang-orang sering berpikir bahwa pemujaan yang dilakukan di satu gedung mewah, dengan bangunan yang permanen, adalah lebih baik atau lebih tinggi nilainya dari pemujaan yang dilakukan di alam terbuka, termasuk di bawah pohon. Ada juga yang berpendapat bahwa orang-orang yang bersembahyang di bawah pohon tidak mengenal Tuhan yang sejati, melainkan memuja roh-roh yang bersemayam di pohon-pohon itu. Ini adalah pendapat yang sama sekali salah. Dalam Veda-dharma kita tidak saja mengenal pemujaan yang bertempat di bawah pohon, tetapi juga ada pemujaan terhadap beberapa pohon tertentu yang disucikan. Pippala (beringin), Bael, dan Tulasi adalah sebagian dari banyak pohon yang dihormati oleh para pengikut Veda.


Pohon tidaklah lebih dari tempat-tempat atau elemen-elemen alam lainnya. Penghormatan Veda terhadap pohon adalah dengan memperhatikan beberapa hal. Pohon adalah suatu makhluk hidup. Itu artinya dia memiliki jiva atau atma. Pohon adalah suatu pribadi, suatu individu. Pohon juga merupakan tempat tinggal bagi begitu banyak kehidupan. Dia memiliki peran yang penting dalam memberikan kehidupan bagi makhluk lainnya dan juga menyediakan perlindungan. Dalam satu pohon, apalagi semakin dia besar, akan ada banyak sekali makhluk yang tergantung padanya. Kita juga meyakini, bentuk-bentuk kehidupan tertentu yang tidak dapat dilihat oleh mata jasmani bisa saja menganggap pohon sebagai rumahnya. Ada begitu banyak jiva yang berdiam di sana. Pohon juga adalah simbolisasi. Dia bisa berperan sebagai emblem yang mengingatkan kita kepada Sang Sumber Segala Sesuatu. Melihat pohon tertentu dapat membuat kita mengingat Tuhan, Penguasa Sejati seluruh alam semesta.

Pertama kita melihat pohon sebagai salah satu bagian dari keanekaragaman isi alam semesta. Dia adalah salah satu elemen alam. Tidak ada satu tempat pun di seluruh manifestasi kosmis ini yang tidak diresapi oleh kehadiran Tuhan. Tuhan sebagai Paramatma bahkan berada di atom yang terkecil sekalipun. Jadi bukanlah hal yang salah bila beberapa orang, atau beberapa kelompok manusia, yang memiliki rasa kedekatan dengan alam justru menemukan Tuhan di pepohonan. Mereka menjadikan pohon yang terpilih sebagai tempat mereka melakukan pemujaan, menyatakan rasa syukurnya, atau ungkapan perasaan lainnya kepada Tuhan di bawah pohon. Dalam pemahaman seperti ini, apa bedanya sebatang pohon dengan bangunan dari beton? Tentu tidak ada. Ini hanyalah suatu tempat kita bisa mencurahkan perasaan kita. Banyak orang masih pacaran di bawah pohon, padahal sudah ada cafe, resto mewah, dsb. Jadi bukan masalah bila beberapa orang menjalin kasih dengan Tuhan Yang Maha Esa di bawah pohon, toh seluruh tempat di alam semesta ini adalah milik-Nya. Kita juga harus ingat betapa besar manfaat pohon bagi kita. Regulasi air, udara bersih, pangan, sandang, dan papan kita, semua dikerjakan oleh tumbuh-tumbuhan. Pohon-pohon ini adalah karunia Tuhan yang begitu besar kepada kita semua. Bukankah dengan demikian naungan sebuah pohon boleh kita anggap sebagai salah satu tempat terbaik untuk memuliakan Tuhan?

Pemahaman kedua adalah kita melihat pohon sebagai tempat berdiamnya begitu banyak makhluk hidup. Bila kita ke Bali, Thailand, Kamboja, Myanmar, India, dan tempat-tempat lain yang masih berpegang pada tradisi Dharma, kita akan melihat begitu banyak altar-altar kecil di bawah pohon-pohon besar. Orang awam hanya bilang pohon itu angker, ada penunggunya, ada hantunya, dsb. Tetapi pengertian sebenarnya adalah ada bentuk-bentuk kehidupan yang berdiam di pohon itu. Manusia adalah trespasser (pelanggar). Kita sering melakukan pelanggaran dalam segala hal, sengaja maupun tak sengaja. Dengan tingginya individualisme sekarang ini, bahkan bila kita melangkah di pekarangan orang pun bisa ditodong senapan oleh yang punya. Ini lazim di negara-negara Barat, tapi mungkin di Indonesia belum setajam itu. Tetapi untuk hidup kita banyak melanggar wilayah tempat tinggal berbagai makhluk hidup lainnya. Pada jaman dahulu apabila orang membuat desa, biasanya dengan merabas hutan. Satu pohon beringin besar disisakan atau sengaja ditanam di tengah-tengah desa. Desa-desa di India dan setahu saya di Bali juga memiliki pola seperti ini. Lalu pohon beringin ini menjadi pusat desa, selain Pura tentunya. Di sana penduduk mendirikan altar kecil dan memberikan persembahan makanan, dan lain-lain. Mengapa seperti itu? Kita yakin bahwa begitu banyak makhluk tinggal di pohon. Ketika kita menebang pohon untuk keperluan kita, begitu banyak yang kehilangan tempat tinggal. Kita harus menebang secukupnya saja, dengan betul-betul memperhatikan efeknya pada lingkungan, baik yang kasat mata maupun yang tidak. Jadi kita berusaha selalu ingat, bahwa demi fasilitas yang kita nikmati, banyak makhluk yang kesenangannya kita ganggu dan wilayahnya kita langgar. Para tetua pendiri desa, sebagai contoh, lalu mempersilakan semua makhluk itu untuk berdiam di pohon yang berada di pusat desa. Manusia mengajaknya sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Setiap hari kita menyatakan rasa terimakasih kita dengan memberikan sedikit hasil alam yang kita nikmati dalam bentuk sesaji sederhana. Setiap generasi yang hidup di desa itu harus ingat, bahwa mereka bisa tinggal di sana berkat kerelaan makhluk lain untuk berbagi tempat tinggalnya. Kita tentu tidak bisa membuktikan secara ilmiah, apakah memang benar ada hal-hal semacam makhluk halus yang menjadi penghuni pohon dan sebagainya. Apakah mereka memang mau dan bisa makan sesajian. Kita tidak bisa memastikan. Tetapi seekor semut pun berguna bagi kita, sehingga kita juga perlu berterimakasih pada mereka. Kenyataannya semut-semut itu yang pasti mendapat makanan dari sisa persembahan kita. Paling tidak sikap mental yang baik kita kembangkan. Pikiran dibiasakan untuk berterimakasih, untuk selalu mengusahakan kehidupan bersama yang harmonis, untuk selalu mengingat bahwa manusia hidup tidak sendiri dan memang tidak mampu untuk hidup sendiri.


Pemahaman ketiga adalah kita melihat bahwa dalam Veda ada penghormatan terhadap pohon-pohon tertentu. Tumbuhan yang disucikan oleh umat Hindu antara lain Tulasi, Bael (Bilva), dan Pippala. Di sini pohon-pohon ini dihormati sebagai suatu individu, suatu pribadi yang istimewa. Sebagai contoh, Tulasi terutama dipuja sebagai manifestasi dari Vrinda-devi oleh para Vaishnava. Tulasi merupakan tumbuhan yang disayangi Tuhan Yang Maha Esa Sriman Narayana. Setiap bagian tumbuhan ini adalah mutlak diperlukan dalam segala jenis pemujaan kepada Sriman Narayana. Daun-daunnya dan bunga-bunganya digunakan untuk untaian bunga yang dipersembahkan kepada Tuhan. Kayunya ada dalam kapas tercelup minyak yang digunakan untuk persembahan pelita kepada Tuhan. Selain itu bila digiling menjadi pasta, dia dapat digunakan sebagai penyejuk yang dipersembahkan juga untuk Tuhan. Api homa menyala dengan kayu Tulasi pula. Setiap yajna dan puja tidak sempurna tanpa kehadirannya. Tulasi menyatakan ideal seorang bhakta yang mencintai Tuhan dengan segenap jiwa raganya. Setiap bagian dirinya adalah persembahan bagi Tuhan. Hidupnya adalah semata demi memuliakan Sriman Narayana di dunia ini. Mungkinkah kita mendapatkan teladan lain yang sebaik Tulasi dalam memuja Tuhan? Bahkan hanya dengan berada di dekatnya dan melihatnya, seorang Hindu segera diingatkan akan Sriman Narayana pujaannya. Karena itulah semua keluarga Hindu tradisional biasanya menanam Tulasi di rumahnya dan memujanya setiap hari. Tulasi juga bisa digolongkan sebagai tadiya. Ini adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan segala benda yang berhubungan dengan Tuhan. Semua tradisi Bhakti dalam Hindu menyatakan bahwa tadiya ini juga harus dipuja, karena pemujaan itu akan menganugerahkan bhakti yang semakin dalam kepada Tuhan. Oleh karena itu kita juga mengenal kebiasaan memisahkan semua alat-alat yang digunakan untuk puja (kumbhan, vattil, piring, vastram, ganta, tripada, dsb.), dengan alat-alat yang kita gunakan untuk diri kita sendiri. Alat-alat ini disucikan, bahkan dihormati sedemikian rupa, karena kehadirannya menyatakan kehadiran Tuhan. Pohon-pohon yang memiliki hubungan khusus dengan pemujaan kita pada Tuhan, seperti Tulasi, Bilva, dan Pippala, juga turut dihormati dan dipuja sebagai pribadi-pribadi istimewa.

Tulasi
Pemahaman yang keempat adalah bahwa pohon sendiri merupakan simbolisasi Tuhan, bahkan Citra dari Tuhan Sendiri. Dalam Veda, Citra Tuhan dapat diwujudkan dengan Sila (batu) seperti Salagramam, Lekhya (lukisan) seperti Yantra-Mandala, dan juga Daru atau kayu. Tuhan dalam kayu disebutkan oleh Taittiriya-upanishad (10.12) adau yaddaro plavate sindho pare apaurusam tada ravasva durdano tena yahi parasparam. Citra Tuhan ini, adalah Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu, yang tiada terbentuk oleh tangan makhluk fana, mengapung di atas samudera. Dengan memuja-Nya, kediaman tertinggi dan kesempurnaan yang paling akhir dapat dicapai. Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu ini dijelaskan dalam Purana dan Itihasa sebagai Daru-brahman, yang kini dipuja di Jagannath Puri Orissa, India Timur. Daru-brahman hadir dalam Tiga Wujud yang dikenal sebagai Jagannath, Balabhadra, dan Subhadra. Para Vedanti memahami-Nya sebagai pengejawantahan Ananda (Kebahagiaan Tertinggi), Cit (Kesadaran Tertinggi), dan Sat (Kenyataan Tertinggi atau Kekekalan). Mereka adalah Trimurti Hindu, Vishnu, Rudra, dan Brahma, sekaligus merupakan Adi-parasakti. Para Tantrika memuja-Nya sebagai Adi Bhairava, Uttara-sadhaka, dan Uttara-sadhika. Bagi Vaishnava dinyatakan sebagai perwujudan Paravasudeva dengan berbagai sakti-Nya. Bagi Jaina adalah Sang Jina, dan bagi Buddhis Vajrayana adalah Tri Ratna, sebagaimana tercantum dalam Jnanasiddhi dari Indrabhuti-tantra. Para Adivasi (suku pribumi) tetap memuja-Nya dalam pohon yang berada di desa mereka sebagai Jagant-Kitung atau ada pula yang menyebut-Nya dengan tiga nama Jakeri-penu, Tana-penu, dan Murabi-penu, dalam wujud pilar kayu. Sungguh menarik juga ketika Media Hindu mengatakan bahwa umat Hindu Alukta melihat pohon tertentu sebagai sthana dari Puang Matua atau Tuhan Yang Maha Esa.

Citra Sri Sri Jagannath, Balabhadra, dan Subhadra di Mayapur, Bengala, India.
Persembahyangan di “pohon” memang ada dalam Hindu dan ini bukanlah bentuk keyakinan primitif atau kesesatan yang menjauhkan dari Tuhan Sejati. Tuhan memang berada di pohon, bahkan di setiap tempat dan sudut semesta. Umat Hindu diajarkan dan dilatih untuk melihat kehadiran-Nya yang universal itu. Kita dibawa untuk dapat menghargai dan menghormati alam ciptaan-Nya. Betapa kasih sayang-Nya dan berkat-Nya ada dalam setiap elemen yang menyusun seluruh manifestasi kosmis ini. Mereka yang tidak dapat memisahkan kehidupannya dari alam, menemukan Tuhan di dalam alam itu sendiri. Bahkan Kebenaran Mutlak Tertinggi, Parabrahman, telah mewujudkan Diri-Nya sebagai Daru-brahman, Kebenaran Mutlak dalam sebatang kayu, oleh cintakasih-Nya kepada segenap ciptaan-Nya, terutama bagi mereka yang juga menyayangi ciptaan-Nya.

KEBENARAN MENDASAR TENTANG SANG JIVA


Pengetahuan sejati apapun dalam Veda maupun spiritualisme pada umumnya, maka sungguhlah tidak mungkin bisa dimengerti jika kita tidak memahami dengan tepat dan benar berdasarkan filosofi Veda tentang subyek Jiva-tattva. Jiva-tattva adalah pengetahuan mendasar mengenai keberadaan diri sejati kita. Inilah yang didengungkan selama ini sebagai mengenali diri sendiri. Menjawab pertanyaan paling umum dalam penjajakan spiritual yaitu, “Siapakah Aku?”.

Jiva-tattva adalah titik awal perjalanan ke dalam diri dan pada akhirnya perjalanan untuk kembali kepada Tuhan, Sang Sumber Diri Tertinggi. Karena begitu pentingnya mata pelajaran ini bagi umat manusia, di medan perang Kuruksetra Bhagavan Sri Krishna pertama-tama mengajarkan pengetahuan ini kepada Arjuna, murid dan sahabat karib yang sangat dikasihi-Nya. Kemudian lima ratus duapuluh tahun yang lalu, ketika Bhagavan Sri Krishna muncul kembali dalam avatara-Nya sebagai bhakta, yang dikenal dengan Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu, Beliau kembali mengajarkan pengetahuan yang sama kepada Srila Rupa Gosvami dalam Dasa Mula Tattva yaitu sepuluh kebenaran sejati, sebagai berikut:

Sriman Mahaprabhu Caitanyadeva menganugerahkan ajaran Dasa-mula-tattva kepada Sri Rupa Goswamipada

1. Pramana: ajaran suci Veda yang diterima melalui guru-parampara dikenal sebagai amnaya (makna yang diresapkan ke dalam ingatan), bukti-bukti tak terbantahkan dari Veda, dari smrti-sastra terutama Srimad Bhagavatam, termasuk pula bukti-bukti dari persepsi indria secara langsung (pratyaksa), yang sejalan dengan bimbingan Veda, semua ini diterima sebagai pramana atau bukti. Pramana ini menegakkan prameya (kebenaran-kebenaran mendasar yang dibuktikan) berikut ini.
2. Parama-tattva: Hanyalah Sri Krishna Sendiri yang merupakan Kebenaran Mutlak Tertinggi.
3. Sarva-shaktiman: Sri Krishna adalah pemilik dari berbagai shakti yang beranekawarna dan tiada batasnya.
4. Akhila-rasamrta-sindhu: Dia adalah samudera manisnya rasa yang bagaikan madu kekekalan.
5. Vibhinnamsa-tattva: Baik jiva-jiva mukta (yang terbebas) maupun baddha (yang terikat) adalah bagian dan percikan-Nya yang terpisah (tidak sama) selamanya dari Dia.
6. Baddha-jiva: jiva-jiva terikat yang diselubungi maya
7. Mukta-jiva: jiva-jiva dalam pembebasan yang tak terikat maya.
8. Acintya-bheda-abheda-tattva: Seluruh alam semesta, yang terdiri dari jiva-jiva yang hidup dan memiliki kesadaran (cit), serta benda yang tidak memiliki kesadaran (acit), adalah acintya-bheda-abheda-prakasa dari Sri Hari, yaitu suatu manifestasi yang satu, sekaligus juga berbeda dengan Dia, dengan persamaan dan perbedaan yang tak dapat terjangkau oleh pikiran.
9. Suddha-bhakti: pelayanan dalam pengabdian suci yang murni adalah satu-satunya latihan rohani (sadhana) untuk mencapai tujuan tertinggi yang paling utama.
10.Krishna-priti: cinta dan kasih sayang rohani kepada Sri Krishna adalah satu-satunya tujuan akhir segala pencapaian.”
Dalam ajaran Bhagavad-gita dan Vedanta Sutra juga dijelaskan lima mata pelajaran pokok yaitu :
1. Isa tattva, kebenaran filosofis tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspek dan kekuatan-Nya.
2. Jiva tattva, kebenaran filosofis tentang identitas dan eksistensi makhluk hidup.
3. Prakrti, manifestasi alam material
4. Kala, pengaruh waktu terhadap makhluk hidup dan ciptaan material, dan
5. Karma, berbagai aktivitas makhluk hidup di dunia ciptaan material ini dalam usahanya mencari kebahagiaan.
Dalam membahas jiva tattva ini, berkaitan erat dengan mata pelajaran lainnya karena ia merupakan bagian yang tak terpisahkan.

Jiva-tattva atau vibhinnamsa-tattva, kebenaran sejati mengenai sang roh, merupakan salah satu kebenaran yang paling penting dan paling wajib untuk diketahui oleh semua jiva dalam kecerdasan yang telah berkembang sempurna, terutama dalam kehidupan manusia. Pemahaman yang baik mengenai jiva-tattva ini merupakan modal utama seseorang untuk menempuh jalan rohani yang sejati. Lebih lanjut dalam Dasa-mula juga dibicarakan mengenai mukta-jiva, kebenaran mengenai para roh yang berada dalam pembebasan, dan baddha-jiva, kebenaran mengenai para roh yang terikat oleh khayalan.

Menurut Vedanta, kita tidak akan pernah mempunyai sebuah teori yang menjangkau segala sesuatu jika hanya menyangkut materi atau interaksi-interaksi partikel-partikel material saja. Vedanta menyatakan, terlepas dari materi yang sifatnya tidak giat (inaktif), terdapat realitas lain di alam ini. Dialah partikel spiritual fundamental (disebut atman atau jiva dalam terminologi Vedanta), yang kini disebut sebagai “spiriton”* dalam bahasa ilmiah. Ia adalah partikel transendental dan secara ontologik berbeda dengan materi. Ia memiliki sifat sadar dan kebebasan bertindak atau berkehendak, berlawanan dengan partikel-partikel material seperti elektron, dsb. Hanya atas kehadiran dari spiritonlah materi kelihatannya hidup. Dalam Vedanta ”materi hidup” ini disebut sebagai kehidupan yang membadan.

Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu menjelaskan kepada Srila Rupa Gosvami bahwa di dalam alam semesta ini ada makhluk hidup yang jumlahnya tidak terhingga yang menurut kegiatan mereka yang dimaksudkan untuk membuahkan pahala, berpindah-pindah dari satu jenis kehidupan ke kehidupan yang lain dan dari satu planet ke planet yang lain. Dengan cara ini, keterikatan mereka dalam eksistensi alam duniawi ini telah berlanjut sejak jaman yang sangat purba. Walau kenyataannya semua makhluk hidup ini adalah percikan-percikan yang sangat kecil, yang tak terpisahkan dari Jiwa Yang Utama, Bhagavan Sri Krishna, Tuhan Yang Maha Esa.

(*istilah spiriton untuk substansi adiduniawi ini diusulkan dan dipopulerkan oleh Srila Sripada Maharaja - T.D. Singh, PhD.)

SIFAT-SIFAT JIVA


Jiva atau spiriton adalah partikel atom yang sadar. Keberadaan sang jiva tidak dapat dideteksi dengan cara ilmiah atau dengan cara material apapun. Keberadaan sang jiva hanya dapat dipahami dengan adanya kesadaran. Dalam Svetasvatara Upanisad 5.9 dijelaskan ukuran jiva adalah sebesar sepersepuluh ribu dari ujung rambut

balagra-sata bhagasya satadha kalpitasya ca
bhago jivah sa vijneyah sa canantyaya kalpate
Jika kita membagi ujung dari sehelai rambut menjadi seratus bagian dan dari satu bagian itu dibagi menjadi seratus bagian lagi, maka sepersepuluh ribu dari ujung sehelai rambut itulah dimensi dari jiva atau makhluk hidup, dan makhluk hidup ini mampu mencapai Tuhan Yang Tak Terhingga.

Bagaimana mungkin suatu yang tak dapat dipersepsi secara duniawi bisa memiliki ukuran? Ini menyatakan bahwa jiva, sekalipun tidak dapat dipahami melalui cara-cara duniawi yang kasar adalah suatu kenyataan. Dia memiliki sifat pribadi yang nyata, bukan semata sesuatu yang bersifat imajiner atau bermakna filosofis belaka. Unit yang nyata dan sadar ini, sekalipun memiliki dimensi yang begitu kecil, namun dia merupakan bagian dari Sang Sumber Yang Tiada Batasnya. Oleh karena itu secara alamiah dia memiliki potensi untuk kembali bersama Sumber yang menjadi Asalnya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, Sang Jiwa Utama.

Dalam Bhagavad-gita 15.7
mamaivamso jiva-loke jiva-bhutah sanatanah
manah-sasthanindriyani prakrti-sthani karsati
Para makhluk hidup yang terikat di dunia yang terikat ini adalah percikan yang kekal dari Diri-Ku. Oleh karena kehidupan yang terikat mereka berjuang sangat keras sekali melawan (dorongan) enam indria, termasuk pikiran.

Bhagavad-gita 2.20
na jayate mriyate va kadacin nayam bhutva bhavita va na bhuyah
ajo nityah sasvato 'yam purano na hanyate hanyamane sarire
Tidak ada kelahiran maupun kematian bagi sang jiwa pada saat manapun. Dia tidak diciptakan pada masa lampau, masa sekarang maupun masa yang akan datang. Dia tidak dilahirkan, berada untuk selamanya dan bersifat abadi. Dia tidak terbunuh bila badan terbunuh.

Bhagavad-gita 2.23
nainam chindanti sastrani nainam dahati pavakah
na cainam kledayanty apo na sosayati marutah
Sang jiwa tidak pernah dapat dipotong menjadi bagian-bagian oleh senjata manapun, dibakar oleh api, dibasahi oleh air maupun dikeringkan oleh angin.

Bhagavad-gita 2.24
acchedyo 'yam adahyo 'yam akledyo 'sosya eva ca
nityah sarva-gatah sthanur acalo 'yam sanatanah
Jiwa yang individual ini tidak dapat dipatahkan ataupun dilarutkan, tidak dapat dibakar ataupun dikeringkan. Ia hidup untuk selamanya, berada di mana-mana, tidak dapat diubah, tidak dapat dipindahkan dan tetap sama untuk selamanya.

Jiva atau atma yang merupakan percikan sekecil atom dari Tuhan Sendiri berada dalam setiap bentuk kehidupan

Segala kualifikasi jiwa yang sekecil atom tersebut membuktikan dengan pasti bahwa sang jiwa yang individual untuk selamanya menjadi butir seperti atom dari keseluruhan keberadaan rohani dan ia tetap menjadi atom untuk selamanya tanpa perubahan.

Bhagavad-gita 13.33.
yatha sarva-gatam sauksmyad akasam nopalipyate
sarvatravasthito dehe tathatma nopalipyate
Oleh karena angkasa bersifat halus, angkasa tidak tercampur dengan apapun, kendatipun angkasa berada di mana-mana. Begitu pula sang jiwa yang mantap dalam penglihatan Brahman tidak tercampur dengan badan walaupun ia berada dalam badan.

Brahma-sutra 2.3.24
gunadvalokavat
Seperti halnya api menerangi sebuah ruangan begitu juga jiva menerangi badan dengan sifat kecerdasannya.

Vedanta menjelaskan bahwa kesadaran adalah di luar pikiran dan kecerdasan. Vedanta juga memberikan hierarki sebagai berikut (Bhagavad-gita 3.42) :

indriyani parani ahur
indriyebhyah param manah
manasas tu para buddhir
yo buddheh paratas tu sah

Indria-indria yang bekerja, lebih halus daripada alam yang bersifat mati ataupun objek indria. Pikiran lebih tinggi atau halus daripada indria-indria, kecerdasan lebih halus lagi daripada pikiran dan dia atau sang jiwa atau jivatma lebih tinggi daripada kecerdasan.
Interaksi antara kesadaran dengan kecerdasan, pikiran dan indria-indria dijelaskan dalam Katha Upanisad 1.3; 3-4 sebagai sebuah kereta imajiner sebagai berikut :
atmanam ratinam viddhi, sariram ratham eva ca,
buddhim tu saratim viddhi, manah pragraham eva ca
indriyani hayan ahur, visayams tesu gocaran,
atmendrya-mano-yuktam, bhoktety ahur manisinah
Individu adalah sang penumpang dalam kereta badan material, dan kecerdasan adalah kusirnya. Pikiran adalah tali kekangnya, sedangkan indera-indera adalah kuda-kuda dari kereta itu. Seperti itulah hal ini dimengerti oleh para pemikir yang mulia.

Lebih lanjut Vedanta menyebutkan bahwa spiriton atau partikel spiritual (jiva) memiliki identitas sebagai berikut :
1. Dia adalah energi spiritual yang berbeda dari energi material
2. Dia adalah partikel spiritual dan berbeda dari materi secara ontologikal
3. Hanyalah karena interaksi antara spiriton (jiva) dan elemen material, sehingga tubuh material kelihatan menjadi aktif atau hidup.
4. Jiwa memilki sifat dasar : a) kesadaran; b) keinginan bebas; c) niat; dan d) tujuan
5. Jiwa berada di luar persepsi panca indera biasa dan dapat dibuktikan. Kesadaran adalah gejala kehidupan yang paling dapat dirasakan keberadaanya sebagai bukti adanya spiriton, sedangkan materi yang kompleks dapat dilihat secara nyata tapi tidak mempunyai kesadaran.
6. Keberadaannya kekal dan dia tidak dapat diciptakan atau dihancurkan
7. Dia mempunyai keinginan untuk memperoleh ilmu pengetahuan
8. Dia memiliki keinginan untuk bahagia
9. Dia memiliki kekuatan yang menarik bukan hanya antar makhluk individu saja tapi juga dengan materi. Sebagai contoh kekuatan yang menarik antara ibu dan bayinya adalah karena adanya interaksi dari jiwa

Senin, 03 Januari 2011

PANCARAN KECIL DARI SINAR SANG JIWA TERTINGGI



yathagneh ksudra visphulinga vyuccarantyevam evasmadatmanah sarve pranah sarve lokah sarve devah sarvani bhutani vyuccaranti
Seperti halnya percikan-percikan bunga api yang terpancar dari api yang berkobar, demikian pula semua jiva dengan sifat-sifatnya yang khusus terpancar dari paramatma (Sang Jiwa Tertinggi Yang Utama), begitu pula dewa-dewa, planet-planet, dan makhluk hidup, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak.
(Brhad-aranyaka Upanisad 2.1.20)

isvarera tattva yena jvalita jvalana jivera svarupa yaiche sphuliogera kana
Tuhan bagaikan kobaran api yang sangat besar, dan para makhluk hidup (jivatma) adalah bagaikan percikan-percikan kecil bunga api dari api itu.
(Caitanya caritamrta. Adi 7.116)

Bagaikan percikan-percikan bara yang melompat-lompat keluar dari dalam kobaran api yang besar, demikian pula jiva-jiva yang tiada terhitung banyaknya, bagaikan pancaran, bagian-bagian kecil dari cahaya matahari rohani, Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna. Walaupun para jiva ini tiada berbeda dengan Sri Hari, mereka juga secara kekal berbeda dengan Dia. Perbedaan yang kekal antara jiva dengan Isvara (Tuhan Yang Maha Esa) adalah bahwa Isvara merupakan Tuhan dan penguasa dari maya-shakti (energi illusif), sedangkan jiva dapat jatuh dalam kendali maya, bahkan dalam keadaan terbebas (moksa) sekalipun, ini adalah karena dipengaruhi oleh sifatnya yang alamiah, yang paling mendasar.” Dalam pengertian, walaupun sang jiva telah terbebas dari ikatan maya (moksa), namun bila dia tidak berada dalam perlindungan langsung dari cit shakti (kekuatan rohani Tuhan) maka selalu ada kemungkinan untuk jatuh kembali ke dalam ciptaan alam material.

Ini merupakan apurva-siddhanta, kesimpulan yang paling akhir, dan didukung oleh berbagai pernyataan dalam Veda serta Upanisad. Dikatakan dalam Brhad-aranyaka Upanisad, jiva-jiva yang tiada terhitung jumlahnya memancar dari para-brahma, bagaikan percikan-percikan kecil dari kobaran api. Ada dua kedudukan yang harus dipertimbangkan oleh jiva-purusa (sang jiwa) yaitu alam duniawi yang tanpa kesadaran (acit), dan dunia rohani yang mahasadar (cit). Para jiva berada dalam posisi ketiga, yang bagaikan keadaan saat mimpi (svapna-sthana) seperti keadaan tidak tidur maupun tidak terjaga sepenuhnya, dan adalah merupakan pertemuan (tata-stha) di antara keduanya. Karena berada pada tempat pertemuan kedua dunia, dia melihat baik jada-jagat (dunia kebendaan) maupun cid-jagat (dunia rohani) tersebut. Seperti seekor ikan besar yang terkadang berenang ke tepian sebelah barat, lalu kadang ke tepian sebelah timur dari sebuah sungai, begitu pula para jiva selalu bergerak ke kedua sisi, yaitu keadaan bagaikan mimpi dan keadaan keterjagaan.

Dengan berada di tengah-tengah, jiva dapat melihat dunia rohani di satu sisi, dan juga alam duniawi di sisi yang lainnya. Shakti rohani dari Sri Bhagavan di satu sisi adalah tiada batasnya, dan maya-shakti di sisi yang lain juga sangat kuat, jiva-jiva dalam bentuknya yang halus (suksma) berada di antara keduanya ini. Krishna memiliki ketiga shakti ini, antaranga, kekuatan dalam, bahiranga, tenaga luar, dan tatastha, tenaga marjinal. Para jiva secara alami bersifat marjinal, karena mereka diwujudkan dari tatastha-shakti (kekuatan marjinal) Krishna.

Sifat marjinal ini disebut tatastha-svabhava, yang memungkinkannya melihat kedua sisi. Sifat alamiah dari keadaan pertengahan ini adalah ia memiliki kecenderungan untuk berada di bawah pengendalian kedua shakti yang lain. Apabila jiva memandang Krishna, yaitu ke arah dunia rohani, maka dia akan dipengaruhi oleh krishna-shakti. Akan tetapi bila dia memandang maya, maka dia akan menentang Krishna dan menjadi dikuasai oleh maya.

Kekuatan Tuhan yang mahasempurna disebut svarupa-shakti, karena shakti ini berada dalam rupa Tuhan, dalam Diri Tuhan. Kekuatan ini cinmaya, sepenuhnya sadar (penuh kehidupan), dan maka dari itu kekuatan ini merupakan lawan atau antitesis dari zat kebendaan yang mati. Energi ini dikenal pula sebagai cit-shakti, kekuatan yang mengandung prinsip kesadaran. Karena shakti ini sangat berhubungan erat dengan Tuhan, dengan berada di dalam rupa pribadi-Nya, selanjutnya energi ini dikenal pula sebagai antaranga shakti (kekuatan yang berada di dalam). Karena kekuatan ini lebih luhur daripada kekuatan marjinal dan kekuatan luar baik dari segi bentuk maupun kemuliaannya, maka dia juga disebut para-shakti, kekuatan yang mahatinggi.

Svarupa-shakti ini dibagi menjadi tiga. Sandhini, kekuatan yang memperantarai keberadaan rohani Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna beserta para rekan kekal-Nya, samvit, kekuatan yang menganugerahkan pengetahuan rohani mengenai Tuhan, dan hladini, kekuatan yang dengannya Krishna menikmati kesukacitaan rohani serta menganugerahkan kebahagiaan kepada para bhakta-Nya.

Insan Yang Mahatinggi dikenal sebagai parabrahma berwujud sac-cid-ananda. Sifat-sifat ini (keabadian, penuh pengetahuan, dan kebahagiaan tanpa banding) tidak pernah terpisahkan satu dengan yang lainnya. Begitu pula sandhini, samvit, dan hladini senantiasa terdapat bersama-sama. Kekuatan yang mahasempurna ini berada di dalam Tuhan, inilah cit-shakti.


Bagaimanakah hubungan jiva-shakti dengan cit-shakti? Krishna yang dibandingkan dengan matahari atau kobaran api merupakan tattva yang terwujud sendiri. Di tengah-tengah matahari yang berkobar itu, dengan kata lain di dalam Krishna, segala sesuatu merupakan perwujudan yang bersifat rohani, dan cahayanya menyebar luas dari bulatan matahari itu. Cahaya ini merupakan fungsi fraksional dari svarupa-shakti atau cit-shakti, dan sinar-sinar dalam fungsi fraksional itu adalah paramanu (bagian-bagian yang sekecil atom) dari matahari rohani itu. Para jiva adalah tattva yang sangat kecil ini. Svarupa-shakti atau cit-shakti yang mahasempurna mewujudkan dunia di dalam bulatan matahari rohani itu, sedangkan segala sesuatu yang berlangsung di luar bulatan matahari itu dijalankan oleh jiva-shakti, yang merupakan representasi langsung dari cit-shakti. Dengan demikian segala kegiatan yang berhubungan dengan para jiva berjalan adalah melalui jiva-shakti ini, bukan cit-shakti secara langsung, tapi hanya merupakan representasinya.

TUHAN DAN JIWA, SAMA DAN JUGA BERBEDA



Walaupun jiva dapat dipengaruhi oleh maya, namun tidak ada setitikpun penyusun duniawi di dalamnya. Berdasarkan penjelasan tad tac-cakti parinama vada (teori perubahan energi) yang dijelaskan oleh Maharishi Vyasadeva dalam Vedanta Sutra, dapat dimengerti bahwa sekalipun jiva dapat jatuh dalam pengaruh maya, namun jiva sama sekali bukan hasil ciptaan maya-shakti. Oleh karena itu jiva dikatakan berbeda dari maya. Sripad Madhvacarya menjelaskannya sebagai jiva-jada bheda. Demikian pula jiva juga tidak sama dengan brahman, Kesadaran Yang Mahabesar (brhad-cit). Sehingga jivatma tidak akan pernah sama dengan Tuhan (brahman) ataupun menjadi brahman. Dia tetap berbeda dari brahman, bahkan dalam tingkat pembebasan sekalipun. Inilah brahma-jiva bheda. Brahma Yang Tertinggi adalah satu dan tiada dua-Nya. Beliau adalah Prinsip Kebenaran yang Mahamutlak (advaya-jnana-tattva). Sekalipun Beliau tunggal namun kekuatan-Nya yang tiada dapat dipahami penuh keanekawarnaan dan tenaga rohani-Nya (cit-shakti) adalah tenaga Beliau yang paling sempurna, tiada bandingannya.

Namun jiva sebagai pancaran dan percikan-Nya ada dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya. Para jiva ini memiliki jati diri masing-masing yang juga kekal. Antara jiva satu dengan jiva yang lain adalah berbeda, jiva-jiva bheda. Begitu pula kekuatan duniawi yang mengkhayalkan juga beranekawarna karena merupakan pantulan yang terputar balik dari tenaga rohani yang asli. Dengan demikian ada perbedaan antara energi duniawi yang satu dengan energi duniawi yang lain, jada-jada bheda. Lima perbedaan ini (panca-bheda) diuraikan oleh Sripada Madhvacarya, merupakan titik tolak dari dvaita-vedanta.

Sekalipun ketiga kekuatan ini berbeda, namun tiada lain merupakan manifestasi dari krishna-shakti. Kemanunggalan di sini dapat dijelaskan hanya melalui suddha-advaita vedanta yang diuraikan melalui tad tac-cakti parinama vada yang diajarkan oleh Maharishi Vyasadeva dan para Acarya. Konsep bheda (dvaita) tidak mampu menjelaskan keseluruhan kebenaran dengan sempurna. Sedangkan konsep abheda (advaita) yang mutlak juga tidak benar. Oleh karena itu keduanya, bheda dan abheda yang diwujudkan oleh kekuatan Krishna yang tiada dapat dipahami (acintya-shakti), itulah yang tepat. Inilah acintya bheda-abheda tattva.

Sekarang apabila maya tidak ada urusan dalam pembentukan svarupa dari jiva, apakah cit-shakti yang menciptakan para jiva dengan sifat kemarjinalannya (tatastha-svabhava) itu? Sama sekali tidak. Karena cit-shakti merupakan shakti yang sempurna dari Krishna, sedangkan para jiva terwujud dari jiva-shakti Krishna. Cit-shakti adalah kekuatan yang lengkap dan sempurna, cit-shakti juga dikenal sebagai svarupa-shakti, energi yang mewujudkan ketuhanan dari Tuhan Sendiri, sedangkan jiva-shakti adalah manifestasi kekuatan yang tidak lengkap.

Oleh karena itulah, sejatinya jiva dan Tuhan memiliki hubungan yang bersifat alamiah dan mendasar. Sebagaimana diuraikan dalam Caitanya caritamrta. Madhya 20.108-109 :
jivera 'svarupa' haya krsnera 'nitya-dasa'
krsnera 'tatastha-shakti', 'bhedabheda-prakasa
suryamsa-kirana, yaiche agni-jvala-caya
svabhavika krsnera tina-prakara 'shakti' haya
Kedudukan dasar dari makhluk hidup adalah menjadi pelayan kekal dari Tuhan (Sri Krishna). Sebagai manifestasi dari tenaga marjinal Tuhan, ia secara simultan sama dan berbeda dengan Tuhan seperti partikel dari sinar ataupun api. Tuhan (Sri Krishna) memiliki tiga jenis tenaga atau shakti yaitu cit-shakti, tatastha-shakti, dan maya-shakti.

Lalu Caitanya caritamrta. Madhya 22.10-13 :
sei vibhinnamsa jiva dui ta' prakara
eka 'nitya-mukta', eka 'nitya-samsara'
'nitya-mukta' nitya krsna-carane unmukha
'krsna-parisada' nama, bhunje seva-sukha
'nitya-bandha' krsna haite nitya-bahirmukha
'nitya-samsara', bhunje narakadi duhkha
sei dose maya-pisaci danda kare tare
adhyatmikadi tapa-traya tare jari' mare
Para jiva dibagi menjadi dua kategori. Golongan pertama adalah nitya-mukta atau nitya-siddha yang terbebas secara kekal dan yang kedua adalah nitya-baddha yang terikat secara kekal. Mereka yang tergolong dalam nitya-mukta atau nitya-siddha selalu sadar akan Krishna dan mereka mengabdi dalam pelayanan cinta bhakti rohani kepada kaki padma Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna. Mereka adalah sahabat-sahabat dan pelayan kekal Sri Krishna. Mereka menikmati kebahagiaan rohani yang kekal dalam melayani Sri Krishna.


Selain penyembah-penyembah yang terbebaskan selamanya, ada roh-roh yang terikat yang selalu berpaling dari pelayanan rohani kepada Tuhan. Mereka terus-menerus terikat di dunia material ini dan mereka menjadi sasaran atas kesengsaraan material, yang terbawa bersama dengan penerimaannya atas berbagai bentuk badan jasmani dalam keadaan yang bagaikan neraka. Karena menunjukkan sifat penentangan yang mereka miliki terhadap Kesadaran Tuhan, roh-roh yang terikat dihukum oleh jahatnya tenaga luar yang mengkhayalkan atau maya. Dia tersiksa oleh tiga jenis penderitaan yang disebabkan oleh badan atau pikiran, sikap permusuhan dari makhluk hidup lainnya dan bencana-bencana alam yang disebabkan oleh para dewa.

Dengan memahami kedudukan dasar jivatma sebagai bagian percikan kecil dari Bhagavan, maka dapat pula dimengerti bahwa kecenderungan alamiah dari bagian adalah melayani keseluruhannya. Jadi Bhagavan Caitanyadeva mengatakan bahwa svarupa, atau jati diri sang roh sesungguhnya adalah pelayan Krishna. Apabila dia berada di posisi marjinalnya maka dia akan cenderung tertarik ke salah satu sisi, sisi rohani atau sisi khayal.

Dalam sisi rohani dia akan berlindung kepada cit-shakti, dan membuatnya kebal dari kedukacitaan maupun kesukacitaan yang bersifat semu. Di wilayah ini svarupa dari sang roh sepenuhnya berada dalam kesempurnaannya sebagai dasa, hamba, yang berhubungan dengan Tuhan dalam berbagai bentuk ikatan cintakasih. Bila dia memilih sisi khayal atau sisi duniawi maka dia akan menerima sebentuk tubuh duniawi yang menyelubungi jati diri sejatinya. Di sisi ini karma, hukum sebab akibat akan mengikatnya. Perjuangan keras hanya demi mendapatkan setitik kesenangan yang bersifat sementara.

Jalan karma memberikan seseorang kesenangan dengan perantaraan hukum sebab akibat. Kebahagiaan yang diperoleh tidak akan pernah kekal adanya, karena didasarkan atas pemahaman akan jati diri sejati yang salah. Jalan jnana atau yoga, mengantar sang roh sampai kepada pembebasan dari maya, namun di sini dia terangkat sampai tingkat kemarjinalannya. Pada keadaan pembebasan yang demikian, jati diri sejati sang roh diabaikan atau bahkan dilenyapkan (nirvana). Keadaan kekosongan, sunyata. Tetapi hal inipun tidak kekal, karena sekali lagi dia dapat melihat kedua sisi dunia yang berbeda. Kemungkinan untuk jatuh kembali ke dalam alam maya selalu ada.

Hanyalah jalan bhakti, yang sesungguhnya merupakan perwujudan dari cit-shakti sendiri, yang dapat menempatkan sang roh dalam jati diri sejatinya yang kekal. Sehingga kesempurnaan tertinggi bagi sang roh hanya dimungkinkan dicapai melalui bhakti yang murni.

AKAR DARI KARMA DAN REINKARNASI



Jiva yang terikat di dunia material ini karena dikhayalkan oleh tenaga maya atau triguna, mempersamakan diri dengan badan material baik yang halus maupun kasar. Oleh karenanya mereka melakukan berbagai kegiatan yang dimaksudkan untuk kepuasan indria-indrianya dan dengan berbagai cara berusaha menguasai objek-objek material. Dan oleh karenanya mereka melakukan berbagai macam kegiatan berdosa yang mengantarkannya memperoleh berbagai macam jenis kehidupan. Dalam Padma Purana diberikan pernyataan rinci tentang berbagai jenis kehidupan makhluk hidup yang berbeda sebagai berikut :
1. Jalaja-nava-laksani, 900 ribu jenis bentuk kehidupan yang hidup di air
2. Sthavara laksa-vimsati, 2 juta dalam bentuk pohon dan tumbuh-tumbuhan lainnya
3. Krimsyo rudra sankhyakah, satu juta seratus jenis makhluk hidup kecil (serangga, reptil dan binatang melata lainnya).
4. Paksinam dasa laksanam, 1 juta jenis burung-burung
5. Trimsah-laksani pasavah, 3 juta jenis kehidupan binatang
6. Catur laksani manusah, 400 ribu jenis manusia

Semua jenis bentuk kehidupan tersebut di atas termasuk manusia dibedakan atas dasar tingkat kesadarannya, yang dapat dibagi sebagai berikut yaitu :
Delapan jenis bentuk kehidupan di bawah manusia dibagi atas dua tingkat kesadaran yaitu:
1) acchadita/abruta cetana atau kesadaran tertutup dan
2) sankucita cetana atau kesadaran yang mengkerut.
Adapun 400 ribu jenis kehidupan manusia digolongkan pada tiga tingkat kesadaran yaitu :
3) mukulita cetana, kesadaran yang mulai membentuk kuncup
4) vikacita cetana, kesadaran yang mulai mekar, dan
5) purna vikacita cetana, kesadaran yang mekar sepenuhnya

Setelah melalui proses evolusi ataupun perpindahan dari satu badan ke badan yang lain dari jenis kehidupan yang rendah ke jenis kehidupan yang lebih tinggi selama 8 juta kali, akhirnya atas karunia Tuhan dan hukum alam, sang makhluk hidup memperoleh bentuk kehidupan sebagai manusia. Hal ini dijelaskan dalam Brahma-vaivarta Purana:

asitim caturas caiva laksamstan jiva-jatisu, brahmadbhih purusaih prapyam manusyam janma-paryayat
Artinya : ada sebanyak 8.400.000 bentuk kehidupan, dan sang jiva akan mendapat bentuk badan kehidupan manusia setelah mengalami perubahan atau evolusi ataupun perpindahan badan sebanyak 8 juta bentuk kehidupan lainnya di bawah manusia.

Karena itulah bentuk kehidupan manusia sangat jarang dan sulit dicapai – durlabham manusa janma, di samping itu kehidupan manusia ini tidak kekal atau sementara namun sangat bermakna – tad apy adhruvam arthadam.(Bhag.7.6.21) Kehidupan manusia ini khususnya dimaksudkan untuk mengenal tentang keberadaan Tuhan dan identitas diri kita serta kewajiban-kewajiban dalam hubungan antara jiva dengan Tuhan, dengan kata lain menempuh jalan untuk kembali kepada Tuhan. Jika tidak demikian maka akan jatuh lagi dalam berbagai jenis kehidupan yang lebih rendah dan melanjutkan evolusi sesuai karma kita masing-masing. Bahkan selama kehidupan manusia inipun kita sudah mengalami proses perpindahan badan dari bayi ke kanak-kanak, dari kanak-kanak menjadi dewasa, dari badan dewasa merosot menjadi tua lagi dan akhirnya meninggal.


Bhagavad-gita 2.13 :
dehino ‘smin yatha dehe kaumaram yauvanam jara tatha dehantara-praptir dhiras tatra na muhyati
Seperti halnya sang roh terkurung dalam badan, terus menerus mengalami perpindahan di dalam badan ini, dari masa kanak-kanak sampai masa remaja, sampai usia tua, begitu juga sang roh masuk ke dalam badan lain pada waktu meninggal. Orang yang tenang tidak bingung karena penggantian ini.

Bhagavad-gita 2.27 :
jatasya hi dhruvo mrtyur dhruvam janma mrtasya ca tasmad apariharye ‘rthe na tvam socitum arhasi
Orang yang sudah dilahirkan pasti akan meninggal, dan sesudah kematian, seseorang pasti akan dilahirkan lagi. Karena itu, dalam melaksanakan tugas kewajibanmu yang tidak dapat dihindari, hendaknya engkau jangan menyesal.

Jadi segala aktivitas dalam kehidupan sebagai manusia hendaknya dimaksudkan untuk menghentikan proses perputaran kelahiran, kematian, usia tua dan penyakit melalui proses pengabdian suci cintakasih rohani kepada Tuhan, Sri Krishna. Jika kita membentuk kehidupan kita sedemikian rupa untuk selalu sadar akan Tuhan, dan mengembangkan cinta bhakti dan pelayanan kepada-Nya, maka atas karunia Tuhan yang tiada taranya, pada saat meninggalkan badan ini kita dapat berpulang ke dunia rohani dan tidak akan pernah lahir lagi ke dunia sementara yang penuh penderitaan ini, dukhalayam asasvatam.

Minggu, 02 Januari 2011

PUSTAKA SUCI VAIDIKA DALAM HINDU




Hindu memiliki kekayaan pustaka suci yang luar biasa besar dan luasnya. Selama ini kebanyakan dari kita hanya sekedar mengetahui bahwa pustaka suci Hindu adalah Veda. Dalam pengertian luas, Veda ini mencakup seluruh literatur yang disebut Sruti-sastram, Smriti-sastram (atau Dharma-sastram), Sad-angam, dan Upa-angam. Secara keseluruhan semua ini disebut sebagai Vaidika-sastram atau Pustaka Suci Vaidika. Vaidika berarti tergolong Veda atau bisa juga diterjemahkan “bersifat” Veda (Vedic in nature).

Sruti-sastram merujuk kepada Empat Veda Utama yaitu Rik, Yajus, Sama, dan Atharva yang masing-masing dibagi menjadi Saakha. Masing-masing Saakha memiliki bagian Samhita (kumpulan mantra), Brahmana (aplikasi mantra-mantra dalam yajna/ritual-persembahan), Aranyaka (penjelasan esoteris di balik mantra dan yajna), dan Upanishad (bahasan atas paratattva atau kebenaran tertinggi). Sruti selama ini biasanya dijelaskan sebagai revelasi “yang langsung didengar”. Definisi ini seakan membuatnya terbatas seperti wahyu-wahyu yang didengar oleh para nabi agama non-Vedik. Padahal para Rishi Veda disebut sebagai drishta, “yang melihat”, mengandung makna bahwa mereka menginsafi pengetahuan itu melalui pengalaman langsung (brahma-sakshatkaram). “Bertatap muka” dengan Sang Kebenaran yang kemudian terungkapkan atau tersingkapkan oleh para Rishi sebagai mantra yang mengandung Kebenaran itu dalam wujud Suara (Shabdam). Suara Rohani ini tidak dapat diinsafi tanpa mendengarnya secara langsung. Sekalipun Bhagavan Vedavyasa kemudian menghadirkannya dalam bentuk tertulis, namun ini adalah demi alasan pelestarian. Sruti tidak dapat dipelajari dengan cara membaca seperti buku biasa, tetapi harus melalui mendengar. Itulah sebabnya dalam Veda-pathasala atau sekolah Veda tradisional yang asli, para sishyam mempelajarinya dengan cara mendengar dengan aturan-aturan pengucapan yang sangat ketat. Sistem ini dilaksanakan tanpa terputus melalui sistem garis perguruan yang dilindungi bahkan hingga sekarang, sekalipun sebagian besar dari keseluruhan Veda Saakha sudah punah. Penerjemahan Sruti sebenarnya adalah sesuatu yang tak masuk akal dan mustahil. Ini hanya terjadi karena pengaruh budaya akademis bergaya Barat. Makna mantra-mantra dalam Sruti-sastram hanya bisa diketahui melalui mendengar dan menginsafinya saja. Sri Madhva mengatakan bahwa dalam satu mantra Veda paling tidak terkandung tiga makna, dalam satu sloka Mahabharata terkandung sepuluh makna, dan satu Nama dalam Vishnu-sahasranama-stotra mengandung seratus makna. Penerjemahan Sruti melalui studi bahasa hanya mengungkapkan sebagian kecil saja dari kebenaran itu, bahkan sering menimbulkan kontradiksi antar beberapa pernyataan Sruti. Jadi tiada cara lain untuk mempelajarinya kecuali dengan mendengar dari Sad-acharya, guru kerohanian sejati yang telah tercerahkan. Dalam Sad-sampradaya yang adalah garis para Sad-acharya, segala ajaran haruslah bebas dari kontradiksi antar pernyataan Veda sebagaimana dinyatakan oleh Sri Vedanta Desika dalam kitab Sampradaya-parisuddhi. Sesungguhnya karena alasan inilah dia disebut Sruti.

APA YANG HARUS SAYA BACA?


Kita tahu bahwa membaca adalah kegiatan yang banyak digemari oleh orang-orang di dunia ini. Hindu, saya yakin merupakan agama yang paling banyak menghasilkan bahan bacaan. Pada usia 15 tahun saya mulai terpikat untuk mempelajari karya-karya keagamaan Hindu secara lebih mendalam, disamping tulisan-tulisan relijius agama lainnya. Tulisan-tulisan yang bersifat sakral maupun profan, relijius dan sekuler, terus bertumbuh dan bermunculan dengan sangat dinamis dalam masyarakat Hindu sejak ribuan tahun yang lalu. Veda yang merupakan pustaka suci Hindu, terus-menerus dikaji, didiskusikan, dan dipelajari dengan aktif, sehingga dari jaman ke jaman dunia sastra Hindu dihiasi oleh karya-karya dan pemahaman-pemahaman rohani yang selalu segar. Hindu memang benar-benar bisa memenuhi hobi ini dengan sangat memuaskan.


[Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati]

Tahun 1930-an di Kolkata pernah ada penerbitan sebuah harian rohani bernama Nadiya-prakasa yang diprakarsai oleh Sri Bhaktisiddhanta Sarasvati. Seorang tokoh politik di masa itu meragukan kemampuan beliau menerbitkannya. Masalahnya apakah tidak bakal kekurangan bahan? Tetapi Srila Siddhanta Sarasvati berkata bahwa Kolkata hanya satu kota di bumi yang begitu luas, toh tetap saja ada surat kabar yang bisa terbit setiap hari. Sedangkan Veda, adalah pengetahuan dari dunia rohani yang tak terbatas. Bila saja ada cukup sumber daya, maka jangankan hanya harian, masing-masing kota di bumi bisa menerbitkan surat kabar dari dunia rohani, pembahasan Veda-dharma ini, setiap detik. Jadi bisa kita bayangkan betapa banyak, luas, dan dalamnya pengetahuan yang ada dalam Veda.

Sekarang ada begitu banyak buku dan juga tulisan yang dibuat oleh begitu banyak orang tentang berbagai aspek kehidupan rohani. Salah satu pertanyaan bagi mereka yang punya hobi membaca, apalagi membaca tentang topik-topik spiritual, adalah “Apa yang harus saya baca?” Atau paling tidak bila kita ingin mengetahui sesuatu tentang Sanatana-dharma, tentang Hinduisme, tentu kita perlu tahu buku apa yang seharusnya kita baca. Kita tentu tidak dalam posisi untuk menilai apakah suatu karya itu baik atau buruk secara objektif. Sungguh..., secara logis ini sulit dan nyaris tidak mungkin. Apalagi dalam Hindu kita memahami bahwa setiap orang, setiap individu memiliki relasi pribadinya yang unik dengan Tuhan. Konsekuensinya setiap orang juga memiliki pemahamannya sendiri dalam hidup rohani. Apapun yang mereka katakan atau mereka tulis merupakan ekspresi dari realisasi mereka. Untuk itu kita harus memberikan penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya kepada apapun karya mereka. Ketika kita menentukan apa yang harus kita baca atau pelajari, bukanlah berdasarkan penilaian relatif mengenai baik-buruknya suatu karya. Tetapi dengan memperhatikan interaksi intensi kita, yaitu apa maksud yang ingin disampaikan oleh penulis, dan apa tujuan kita yang membacanya. Bila kita merasakan bahwa karya itu dapat mendukung tujuan utama pembelajaran kita, maka baiklah kita terima. Tetapi bila tidak, kita berhak meninggalkannya tanpa perlu berkomentar buruk apapun. Selama kita tidak memiliki keinsafan menyeluruh terhadap hidup rohani, maka kita tentu juga tidak memiliki pengalaman apapun mengenai keinsafan orang lain. Jadi wajar kita tidak punya kompetensi untuk melakukan penilaian, apalagi sampai menjelek-jelekkan. Ini prinsip belajar yang sangat baik, terutama dalam usaha memahami ajaran Veda yang begitu luas dan dalam.

Tetapi masyarakat pengikut Veda ortodoks bukanlah sama sekali tidak memiliki standar penilaian, atau lebih tepatnya penggolongan, untuk karya-karya rohani yang bersifat otoritatif. Otoritatif di sini bermakna bahwa pemikiran itu dapat diterima oleh para praktisi ajaran rohani Veda, yang dapat berguna mendukung praktik rohani (sadhana) mereka menjadi lebih baik dan lebih maju lagi. Sebagai contoh kita ambil karya rohani yang menjelaskan Bhaktiyoga. Salah satu filsuf India terbesar yang pernah ada, Sri Jiva Goswamipada mengatakan pada bagian awal salah satu kitab Sandarbha karyanya, “sri-bhagavato nirdharanaya sandarbho 'yam arabhyate, sekarang secara lebih khusus lagi saya akan menjelaskan tentang Tuhan, Pribadi Tertinggi yang dipenuhi segala kemuliaan, dalam Sandarbha ini. Saya akan mendasarkan semua argumen saya pada apa yang telah diungkapkan dalam sastra Veda, bukan dengan logika pikiran duniawi semata. Karena Veda adalah yang terbaik dari semua pramana (bahan pembuktian). Dalam Brahmasutra (1.1.3), yang terluhur dari semua Rishi (Sri Vedavyasa) berkata sastra-yonitvat, Yang Mahatinggi hanyalah dapat dipahami melalui Veda. Juga dikatakan tarka-apratisthanat (2.1.11), logika tidak dapat menyimpulkan pemahaman mengenai Yang Mahamutlak. Dengan kata ini beliau mengritik keterbatasan logika manusia. Karena itu saya juga bersikap sama seperti beliau.”


Disamping itu Sri Jiva juga mengatakan bahwa dirinya menyusun kitab Sandarbha berdasarkan dakshinatyena bhattena adyam granthana-lekham, catatan-catatan tertulis yang asli dari Sri Gopala Bhatta, filsuf mulia dan sarjana ahli Veda yang berasal dari India Selatan. Beliau menerima catatan-catatan dari Bhatta Goswami karena dua alasan. Pertama adalah karena tau santosayata santau srila-rupa-sanatanau, memuaskan para santa, hamba-hamba Tuhan yang tersuci, seperti Sri Rupa Goswamipada dan Sri Sanatana Goswamipada. Dua tokoh ini adalah orang suci yang paling dimuliakan di India Utara pada jamannya sampai sekarang, karena kemurnian dan kesempurnaan rohaninya. Bahkan dikatakan bahwa Akbar, raja paling cemerlang dalam dinasti Mughal yang beragama Islam, bersujud menghormati Sri Rupa. Jadi apa yang dikatakan oleh Bhatta Goswami disetujui oleh orang suci sempurna seperti itu, bahkan sangat menyenangkan hati mereka. Lalu alasan kedua adalah kranta-vyutkranta-khanditam, apa yang ditulis oleh Bhatta Goswami telah dapat membantah semua kesalahpahaman filsafat sebelumnya atau pendapat-pendapat lain yang terbukti salah. Jadi berdasarkan dua alasan ini, Sri Jiva menggunakan catatan-catatan dari Bhatta Goswami dalam menyusun Sandarbha-nya, selain tentu saja menggunakan kutipan-kutipan berbagai sastra Veda.

Dalam Mahabharata Tatparya Nirnaya, Sri Madhvacharya juga berkata, “Saya dapat menyampaikan kesimpulan segala pengetahuan (siddhanta) – dalam tulisan saya – karena sastrantarani sanjanan vedantasya prasadatah dese dese tatha granthan drishtva caiva prithag vidhan yatha sa bhagavan vyasah saksan narayanah prabhuh jagada bharatadyeshu tatha vakshye tadikshaya iti, saya memahami semua intisari pustaka suci berkat karunia dari Upanisad-Vedanta. Saya juga telah berkeliling seluruh penjuru negeri dan sudah mengetahui semua kitab suci yang tersebar di mana-mana. Namun yang paling penting adalah saya sepenuhnya memuliakan kata-kata Bhagavan Vedavyasa, yang tiada lain adalah Tuhan Sriman Narayana Sendiri, sebagaimana tertulis dalam Mahabharata dan kitab-kitab lainnya.”


[Srila Saccidananda Bhaktivinoda Thakura]
Pada awal abad ke-20 tokoh rohaniwan besar sekaligus penulis produktif dari Bengala, Sri Thakura Bhaktivinoda, juga menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam perkembangan kekayaan pustaka Hindu. Beliau hidup sejaman dengan para pendiri Brahmo-samaj dan teman baik keluarga Tagore. Berbeda dengan sastrawan seperti Rabindranath Tagore yang lebih memilih penampilan populer, Thakura Bhaktivinoda memilih memasuki inti masyarakat Veda yang lebih ortodoks dan menjadi pewaris dari garis perguruan tradisional Goudiya. Thakura Bhaktivinoda, sekalipun memelihara penyampaian ajaran Veda dalam kalangan konservatif, namun beliau berhasil merintis dibagikannya ajaran-ajaran esoterik Veda bagi dunia internasional, yang sebelumnya hanya terbatas dalam lingkungan masyarakat tertentu. Beliau adalah Acharya Goudiya pertama yang menyampaikan ajaran Veda dalam tulisan-tulisan berbahasa Inggris. Srila Thakura Bhaktivinoda juga menulis dalam karyanya yang berjudul Amnaya-sutra, “Seorang yang bernama Bhaktivinoda, dengan bersujud pada guru semesta Sri Krishna Caitanya Mahaprabhu, atas pemberkatan para hamba Tuhan dan perintah roh-roh yang agung, menyusun 130 sutra ini yang menguraikan kesimpulan akhir semua Veda-veda. Kesimpulan ini diperoleh setelah mengkaji delapan pramana, enam lingam, dan makna langsung serta tidak langsung semua kata-kata sabda. Semoga semua hamba-hamba Tuhan, yang berlindung pada kaki padma Bhagavan Sri Caitanya mempelajari sutra-sutra ini.”

Semua orang yang serius dalam menempuh hidup rohani dalam jalan Veda mengetahui bahwa Sri Caitanya adalah teladan sempurna bagi mereka yang mendalami Bhaktiyoga. Seorang Acharya dan penulis seperti Srila Bhaktivinoda menginginkan agar semua orang yang mendalami Bhaktiyoga di bawah bimbingan ajaran Sri Caitanya dapat memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari sutra karya beliau itu. Ini adalah intensi dari sang penulis. Lalu Sang Thakura juga mempermudah kita dengan terlebih dahulu mempelajari begitu banyak aspek Veda kemudian menyimpulkannya untuk mendukung pelaksanaan bhakti kita. Selain itu beliau menulis buku bukan atas dasar keinginan sendiri saja atau untuk mendapat jasa dari usahanya itu, melainkan atas perintah begitu banyak orang suci yang hidup pada masanya. Penulisan buku itu sendiri juga memperoleh pemberkatan dari masyarakat para santa atau sadhu, yang tentu juga selalu mengharapkan kesejahteraan rohani semua orang. Jadi bagi mereka yang juga ingin benar-benar membina diri dalam Bhaktiyoga, kitab-kitab yang disusun oleh para penulis seperti Sri Jiva Goswamipada, Sri Madhvacharya, dan Srila Thakura Bhaktivinoda, adalah merupakan bacaan wajib.

Dalam Hindu setiap orang maju dengan pemacunya sendiri, mencapai keinsafannya sendiri, dan membangun relasinya yang paling pribadi bersama Tuhan. Setiap orang harus dapat menghormati dan menghargai semua ini. Tetapi sekalipun agama adalah hal yang sangat pribadi, Hindu mendukung setiap orang untuk selalu membagi kemajuan rohaninya pada tingkat apapun juga. Ini bisa dicapai dengan menuliskannya. Siapa saja bisa menuliskan dan membagi keinsafannya itu kepada semua orang. Sebanyak pencapaian tingkat-tingkat kesempurnaan spiritual setiap orang, sebanyak itu pula karya-karya relijius yang bisa kita temukan dalam masyarakat Hindu. Setiap orang juga berhak memilih bacaan apapun dari sekian banyak yang tersedia baginya. Tetapi bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin mencapai keberhasilan dalam hidup rohaninya, maka buku-buku seperti diuraikan sebelumnya itu harus dibaca. Harus bukan berarti kita salah jika membaca yang lainnya, tapi sayang bila kita melewatkan tulisan-tulisan ini begitu saja.