OM SRI SAIRAM

OM SRI SAIRAM........

Minggu, 07 November 2010

Awal Sebelum MAHABHARATA


mahabaratha
Siapa sih sesungguhnya nenek moyang Pandawa dan Kurawa itu ?
Versi ceritanya dalam dunia pewayangan cukup banyak, tapi supaya tidak bingung kita gunakan hanya versi Mahabharata saja.
Cikal bakal nenek moyang Pandawa dan Kurawa adalah Prabu Nahusa dan Sang Prabu ini mempunyai seorang putra bernama Prabu Jayati. Jayati adalah seorang satria yang soleh, tampan dan sakti, memerintah Hastinapura dengan adil, membawa kemakmuran dinegaranya. Permaisurinya bernama Dewayani, putri dari pendeta Resi Sukra.
Dewayani mempunyai seorang dayang yang sangat cantik, sexy dan genit bernama Sarmista membuat semua cowok menelan liur setiap kali berpapasan dengannya apalagi kena kerlingan mata dan lemparan senyumnya, tidak jarang membuat senjata mereka siap tempur dalam kondisi siaga empat.
Kesalahan Dewayani adalah membawa si cantik molek ini kedalam lingkungan paling dalam di kerajaan, sehingga si cantik molek sering ikut ngurusin sang Prabu disaat Dewayani sibuk dengan urusan Ibu-ibu Dharma Wanita. Prabu Jayati pun tidak tahan dan akhirnya sering mengadakan high level meeting dengan Sarmista. Namun karena keseringan meeting maka level siaganya terhadap permaisuri Dewayani pelan-pelan turun ke hanya level siaga satu saja.


Hobby dari Sang Prabu Jayanti adalah berkebun dan dikebun sinilah Sarmista selalu menemui Jayanti untuk bersama-sama bercocok tanam, hobby yang sangat digemari oleh mereka berdua. Karena seharian lelah berkebun maka tiap malam kesiagaan sang Prabu hanya bisa mencapai tingkat siaga satu saja. Setelah berminggu-minggu akhirnya Dewayani merasa rindu dan ingin lebih dekat dengan suaminya. Suatu hari ia putuskan untuk absent dari memimpin rapat Dharma Wanita. Dewayani kemudian masuk ke kebun kerajaan berjalan mengendap-endap mau bikin surprise suaminya. Ditaman yang luas ini Dewayani merasa heran koq sepi sekali tidak ada kang kebon istana, tapi tetep saya ia meneruskan niatnya untuk bikin surprise sang Prabu, melangkah dengan sangat berhati-hati tidak menimbulkan suara.
Setibanya di pendopo ditengah-tengah taman kerajaan, bukannya mau bikin surprise, tapi Dewayani sendiri yang mendapatkan surprise, melihat Sang Prabu sedang asik menanam Singkong dikebunnya Sarmista. Melihat itu Dewayani berteriak dan kabur untuk mengadu pada ayahnya resi Sukra. Sedangkan Sang Prabu kaget terpelanting mendadak diteriakin, pohon singkong yang baru ditanamnya ikut tercabut hampir patah kena gagang pacul.
Resi Sukra yang mendengar kasus tanam singkong ini walaupun sebagai seorang resi bisa menahan emosi secara lahiriah, tapi bathinnya tetap sakit dan keluarlah kutukan dari mulutnya :
“Wahai Sang Maha Raja tuanku Prabu Jayanti, ternyata paduka telah kehilangan kehormatan paduka, kemegahan bahkan keremajaan paduka.”
Bukan main ampuhnya kutukan Resi Sukra, seketika itu juga Prabu Jayati yang semula tampan dan gagah perkasa itu tiba tiba menjadi orang tua, keripot, peyot dan kempot. Jayati menerima kutukan tersebut, bersujud memohon ampun kepada resi Sukra.
Resi Sukra menjawab : Wahai paduka yang mulia, Maha Raja Jayati, “Kutuk Pastu” itu tidak bisa dibatalkan, kecuali bila ada seseorang yang bersedia untuk menukar ketuaanmu dengan kemudaannya.
Sang Prabu menjadi remuk semua perasaan menyatu didalam dirinya, rasa cemas, ngeri dan hina. Ia masih menginginkan kemewahan, kemegahan terutama keberahian. Maka dia pergi ke semua salon kecantikan dikerajaannya, mulai dari Darwin sampai ke Melbourne semua salon kecantikan didatangi. Segala treatment dicoba mulai dari Janson Beckett’s anti-wringkle cream sampai ke Clinique anti-aging cream dipakainya. Namun sia-sea belaka. Akhirnya ia memutuskan untuk memanggil kelima anak laki-lakinya untuk dimintai tolong, katanya:
Hai anak-anakku, aku masih ingin kekuasaan, kemegahan, kemudaan, keberahian, karena itu salah satu dari kalian harus memikul penderitaanku dengan cara mengambil ketuaanku dan memberikan keremajaanmu kepadaku.
Tentu saja mendengar permintaan ayahnya itu para putra tersebut menjadi bengong dan terkejut, koq ada orang tua yang gak tahu diri ya pikir mereka. Setelah diam sejenak akhirnya anak yang tertua berkata dengan lantang: Oh Ayahandaku, hambapun masih ingin menikmati keremajaan, kalau wujud hamba menjadi tua dan keriput, gadis mana yang mau mendekati diri hamba? Coba tanyakan kepada adik-adik hamba, mungkin ada yang mau. (Di zaman itu belum ada Ferrari atau Aston Martin jadi belum ada cewe bensin, kalo sekarang sih gak masalah mau keriput kayak apapun asal duitnya mulus aja).
Demikian pula dengan anak yang kedua, ketiga dan ke empat semua jawabannya sama, semua menolak menjadi tua pada takut kehilangan cewe-cewenya. Akhirny tiba giliran pada putra bungsunya yang bernama Pangeran Puru. Putra bungsu ini tidak tahan melihat penderitaan ayahnya maka sambil bersujud dikaki ayahnya ia berkata:
Oh Ayahanda Maha Raja Agung di bumi Hastinapura, hamba dengan rela dan senang hati memberikan kepada ayah kemudaan hamba, agar ayahanda terbebas dari penderitaan dan cengkeraman segala kepedihan, ayahanda berkuasalah dan berbahagialah memerintah negeri Hastinapura ini.
Prabu Jayati merasa kagum dan terharu kemudian memeluk dan menciumi anak bungsu ini dengan penuh rasa kasih sayang. Seketika ia menyentuh tubuh anaknya, saat itu pula ia menjadi muda belia kembali seperti sedia kala. Sedangkan Pangeran Puru tubuhnya berubah menjadi seorang tua kempot peyot tidak sesuai dengan usianya.
Prabu Jayati kembali menikmati hidup sepuasnya, melampiaskan semua keinginan keduniawian, termasuk hobby bercocok tanam. Kebun Istana diperluas sehingga Sang Prabu bisa bercocok tanam dimana saja. Sarmista yang cantik molek ini sekarang dibantu oleh teman-temannya yang tidak kalah molek melengkapi koleksi kebun papaya sang Prabu dengan beberapa jenis unggulan baru. Kita mengenalnya sekarang sebagai papaya Bangkok, besar, kenyal dan manis.
PRABU JAYATI INSYAF
Suasana di Negara Hastinapura senja ini sangat tenang, matahari terbenam merubah warna langit menjadi lembayung. Prabu Jayati duduk termenung memandangi rombongan burung bangau dan belibis terbang kembali kesarangnya melintasi langit yang indah seolah-olah sebuah karya seni yang sengaja dibuat oleh tangan ahli seorang pelukis. Kepakan sayap beberapa kelelawar terbang rendah keluar dari pupus-pupus daun pisang dikebun membuat Prabu Jayati terhentak dari lamunannya. Teringat kepada putra bungsu yang setia dan penuh bakti, lalu sang Prabu memerintahkan ajudannya untuk memanggil pangeran Puru.
Setelah Pangeran Puru datang, berkatalah sang Prabu:
Oh putraku Puru, engkau adalah satu-satunya putraku yang telah rela mengorbankan diri demi ayahmu. Milikmu yang paling berharga kau berikan tanpa pamrih. Oh anakku sayang, sekarang ayah sadari bahwa nafsu angkara, nafsu birahi, nafsu syawat tidak akan berhenti melalui pelampiasan. Semakin dilampiaskan bukan semakin padam tapi justru semakin berkobar. Kini aku tahu bahwa dengan melampiaskan hawa nafsu tidak akan membawa diri ini pada kedamaian hidup. Mestinya sejak semula aku sudah menyadarinya namun aku biarkan diriku tenggelam dalam lautan ego ku.
Pangeran Puru sambil bersujud mengatakan pada sang Prabu:
Oh ayahanda tercinta, bukankah ayahanda yang mengajarkan pada ananda “Lila lamun kelangan ora gegetun, sak serik sameng dumadi, tri legawa nalangsa srahing Batara” yang artinya “Tulus iklas menerima nasib, bila kehilangan jangan disesali, menerima hinaan dengan kesabaran hati, rela dan rendah hati berserah diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa”.
Sang Prabu sangat terharu mendengar ucapan anaknya, dan menyadarkan dirinya bahwa ternyata umur bukan menjadi ukuran tingkat kedewasaan seseorang. Seluruh tubuhnya merasa hangat dipenuhi rasa bangga terhadap putra bungsunya yang tidak saja menunjukkan sikap dewasa namun juga sifat bijaksana yang sangat dalam.
Selanjutnya sang Prabu berkata: Oh Puru, terimalah kembali kemudaanmu dan perintahlah kerajaan ini dengan bijaksana dan adil. Kemudian sang Prabu memeluk putra bungsunya. Dan disaat itu juga pangeran Puru berubah menjadi muda dan gagak sedangkan Prabu Jayanti menjadi tua renta.
Pangeran Puru kemudian dinobatkan sebagai raja Hastinapur, memerintah dengan baik sedangkan Prabu Jayanti bertapa dihutan untuk memusnahkan segala hawa nafsunya.
Prabu Puru kelak mempunyai anak bernama Dusmanta, dan Dusmanta menikah dengan Sakuntala, dari pernikahan mereka lahir Bharata, pangkal dari cerita MahaBharata.
Sumber : www.berita.balihita.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar