OM SRI SAIRAM

OM SRI SAIRAM........

Jumat, 03 Desember 2010

Adat versus Budaya

 Kawan saya Dewa Gede Palguna mengkhawatirkan “penghancuran” Bali oleh dirinya sendiri. Sebabnya adalah “kesatuan-kesatuan hukum adat” yang barangkali membutuhkan peremajaan dan “kesadaran kolektif” yang baru.

Saya sangat setuju dengan pendapat Palguna. Saya pun mengkhawatirkan hal yang sama. Padahal, semestinya itu tidak terjadi. Semestinya kekhawatiran kita tidak beralasan. Namun, faktanya kita khawatir, pun alasan kita sangat kuat. Yaitu, sebagaimana dijelaskan oleh Dewa Palguna, adanya konflik antara dan antar kesatuan-kesatuan hukum adat.
Kenapa hal ini mesti terjadi?
Karena, kita telah menyalahartikan istilah “adat”.
“Adat” sebagaimana telah saya jelaskan berulang kali lewat ulasan-ulasan saya sebelumnya, berasal dari bahasa Persia kuno, yang kemudian diadopsi dalam bahasa Arab. Terjemahan yang terdekat dalam bahasa Indonesia adalah “kebiasaan”.
Masyarakat Arab juga mengenal istilah lain, yaitu “Hadith” atau Hadis, yang berarti “tradisi” atau riwayat-riwayat kuno, biasanya dikaitkan dengan kehidupan dan wejangan para nabi. Dalam tradisi Bali, ini disebut “Purana”, dan Bali memiliki sekian banyak “purana” : Brahma, Vishnu, Shiva, Agni, Garuda dan purana-purana lainnya.
Hukum di negara-negara Arab menggunakan hadis sebagai referensi, pun pendapat para alim-ulama, yang semuanya dipercayai berkiblat pada kitab suci Al-Qur’an. Nah, pendapat para alim ulama Arab sangat dipengaruhi oleh adat-istiadat Arab dan wilayah Timur Tengah sekitar Jazeera Arab.
Kenapa saya mesti menjelaskan semuanya ini, karena sesungguhnya di kepulauan Nusantara ini, kita tidak memiliki pemahaman yang sama seperti orang-orang Arab.
Pemahaman kita disini adalah “budaya sebagai sumber perilaku dan hukum”, bukan “adat”.  Budaya, sekali lagi, tidak sama dengan adat.
Budaya adalah adat-istiadat yang baik, bijak, dan relevan dengan zaman. Selain  itu, nilai-nilai universal yang tidak pernah kadaluarsa, seperti cinta-kasih, kedamaian, dan kebersamaan – nilai-nilai yang mesti dilestarikan – adalah bagian dari budaya.
Hukum dan pedoman perilaku manusia memang semestinya berdasarkan budaya, bukan berdasar adat in wholesale.
Banyak sekali adat-istiadat yang sudah tidak relevan, sudah tidak sesuai dengan zaman – maka mesti ditinggalkan, tidak perlu dibudayakan.
Misalnya: Ayah saya adalah seorang perokok, ayahnya pun seorang perokok, kakeknya seorang perokok. Merokok telah menjadi kebiasaan dalam keluarga saya. Lantas, apakah saya mesti melestarikan kebiasaan itu, adat itu, dan menjadikannya pedoman bagi perilaku saya? Apakah saya pun mesti mengikuti kebiasaan buruk itu?
Kebiasaan-kebiasaan buruk, adat-istiadat yang sudah usang mesti ditinggalkan, dibuang jauh-jauh, karena berpotensi merusak tatanan masyarakat. Ini yang dikhawatirkan Dewa Palguna, dan ini pula yang saya khawatirkan.
Orang-orang yang berkacamata kuda, mereka yang ingin mempertahankan kekuasaan dengan segala macam cara, mereka yang terbiasa menghalalkan apa saja demi kepentingan pribadi – adalah orang-orang yang biasanya keuh-keuh mempertahankan adat, seusang apa pun adat itu.
Mereka adalah orang-orang yang tertutup mata hatinya, jiwanya, dan akal sehatnya. Ketertutupan ini, sebagaimana telah terbukti secara medis, menyebabkan otak kita mengkerut, yang kemudian berlanjut menjadi gangguan jiwa.
Para penjahat berdarah dingin yang biasa disebut “teroris”, adalah bukti nyata akan hal ini. Mereka pun percaya pada adat-istiadat dan kepercayaan yang tidak masuk akal. Mereka menutup diri terhadap perkembangan zaman dan kemajuan peradaban. Maka, mereka menjadi alot, keras, kaku, dan kasar.
Bali mesti berhati-hati.
Sebagaimana diperingatkan oleh Dewa Palguna, Bali mesti waspada dan eling. Bila tidak, maka kekhawatiran beliau bisa menjadi kenyataan. Sesungguhnya, dan ini sangat ironis, tanda-tanda kearah itu sudah terlihat jelas.
Saya bertemu dengan sekian banyak orang Bali di Jakarta yang mengaku muak dengan beberapa hukum adat, khususnya denda bagi warga yang sudah lama merantau dan kemudian dijatuhkan sangsi saat mau mengadakan upacara ngaben dan sebagainya. Bahkan, saya memiliki data-data lengkap dari beberapa orang yang kemudian berpindah agama hanya karena hal itu. Apakah hal ini mesti berlanjut?
Celakanya, sebagaimana juga dalam umat lain, setiap orang yang meninggalkan agama asalnya dan mengadopsi agama lain, justru menjadi sangat fanatik. Karena, mereka biasanya memiliki beban psikologis untuk membuktikan kepada diri sendiri bila pilihan mereka itu sudah tepat.
Maka, orang Hindu yang masuk Islam, akan selalu menjelek-jelekkan agama Hindu. Begitu pula orang Islam yang masuk Kristen, menjelek-jelekkan agama Islam. Demikian seterusnya. Bahkan, ketika “pindahan” ini menjadi ulama dalam agama baru yang diadopsinya, tidak jarang malah menebarkan kebencian terhadap agama yang ditinggalkannya.
Tidak lama yang lalu, seorang ulama seperti itu muncul di layar teve, yang salah seorang pemiliknya adalah “keluarga” seorang pejabat dan dengan gagah berani mengatakan: Setiap agama memiliki kitab suci, tapi semuanya itu sekedar kitab-kitaban, yang betul-betul kitab hanyalah kitab agama kita.
Ini hanyalah salah satu contoh dari akibat pergeseran nilai-nilai dan pendewaan adat-istiadat yang tidak bijak. Contoh lain yang telah saya ulas sebelumnya adalah  bertumbuhnya generasi penjahat yang sering disebut teroris.
Bali, berpikirlah secara matang. Apa maumu?
Buktikan saya salah, buktikan kekhawatiran Dewa Palguna tak beralasan. Kita pun (saya yakin kawan saya Dewa Palguna akan setuju) ikut berdoa semoga kekhawatiran kita tidak terbukti, semoga kita salah. Semoga Bali tetap jaya, maju, dan berkembang terus, serta menjadi pembawa berita baik bagi seluruh kepulauan Nusantara.
oleh  Anand Krishna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar