OM SRI SAIRAM

OM SRI SAIRAM........

Rabu, 29 Desember 2010

Sekte-sekte dalam Hindu


Apakah tidak ada selisih paham dan perpecahan dengan banyaknya denominasi dalam Hindu ?
Ketidaksetujuan filosofis tentu saja ada. Tetapi keempat denominasi utama ini (Vaishnava, Saiva, Sakta, Smarta) telah mencapai kedudukannya yang mapan dalam dunia Hindu. Perlu diperhatikan pula bahwa Sanatana Dharma meyakini bahwa setiap jivatma memilih jalan rohani yang akan ditempuhnya berdasarkan atas guna (sifat bawaan) dan karmanya (perbuatan dan pahala perbuatannya) masing-masing. Tak seorangpun dapat memaksakan mengubah keyakinan seseorang atau ketertarikan internalnya terhadap suatu konsep ketuhanan. Segala sesuatunya berjalan secar
a alamiah. Masing-masing mazhab utama dalam Hindu ini diyakini juga mewakili bakat, minat, dan ketertarikan manusia yang paling mendasar terhadap kerohanian. Dengan masing-masing caranya yang unik, keempatnya memenuhi kebutuhan rohani para pengikutnya sesuai dengan keadaan alamiah mereka. Bagi para bijak Veda, dorongan rohani alamiah yang bersumber dari sang roh secara pribadi, dengan alasan apapun tidak berhak dicampuri secara eksternal oleh siapapun. Para penganjur, penyebar, dan guru-guru dari masing-masing denominasi mengutarakan kebenaran yang sesuai dengan keinsafan rohani yang diterima dalam garis perguruan dan ordonya. Mereka berbicara dengan kejujuran, bahkan sering berkata-kata keras mengenai ajaran garis perguruan lain, namun ini hanya berada pada tataran filosofis dan intelektualitas saja. Mereka tidak memaksakan ajarannya agar diterima oleh masyarakat. Bahkan adalah hal yang biasa seorang Vaishnava menerima guru Saiva dengan hormat di rumahnya, sekalipun dia tidak sependapat dengan pemaha-man filosofisnya. Begitu pula dengan masyarakat Sakta dan Smarta.
Sebagai contoh, perguruan Sankara dan Vaishnava boleh dikatakan musuh bebuyutan yang selalu saling serang dan bahkan saling hujat dengan berbagai karya filosofisnya. Tetapi ketika kedua Acharyanya bertemu di luar perdebatan filsafat, mereka duduk berdampingan dan saling menghormati. Begitu pula para pengikutnya. Para Vaishnava selalu menyebut ajaran Sankara sebagai mayavada (paham khayalan) dan pasanda (atheis dungu) serta selalu bersikap menentang paham mereka. Walau demikian ketika Acharya mereka atau bahkan seorang sannyasi biasa dari ordo Sankara datang, seorang perumahtangga Vaishnava bersujud kepadanya dengan hormat. Begitu pula sebaliknya. Inilah etika dalam masyarakat Veda. Tidak ada perselisihan pendapat yang berakhir dengan upaya saling memusnahkan.
Dalam sejarah kita mengenal Krishnadevaraya, Maharaja Vijayanagar, penguasa kerajaan terbesar di India Selatan yang melindungi agama Hindu selama beberapa abad. Dia adalah seorang Vaishnava yang menerima inisiasi dari Sri Vyasa Tirtha atau Vyasaraja, salah satu Acharya terbesar dalam garis perguruan Madhva. Pengaruh Vyasaraja bagi Vaishnava Madhva adalah ketiga setelah Jayatirtha dan Madhvacharya sendiri. Vyasaraja juga bertindak sebagai pendeta utama, guru kerohanian, dan penasehat tertinggi kerajaan Vijayanagar. Maharaja Krishnadevaraya bahkan mendudukkan guru Vaishnava ini di atas singgasananya sendiri dan memuja kakinya, menyebutnya sebagai Kuladevata, junjungan seluruh dinastinya. Anda bisa bayangkan bagaimana posisi politis yang bisa didapatkan oleh mazhab Vaishnava di masa itu. Krishnadevaraya membangun, memperindah, dan memberikan banyak sumbangan harta kepada tempat-tempat suci Vaishnava seperti Thirupathi, Kanchi Varadaraja, Srirangam, dan sebagainya. Tetapi Krishnadevaraya juga membangun tempat-tempat suci Saiva seperti Chidambaram, Thiruvana-malai, Sri Kalahasti, dan lain-lain. Sekalipun dia seorang Maharaja berkuasa yang menganut Vaishnava tetapi tak pernah sekalipun dia menggunakan kekuasaannya untuk menghancurkan paham-paham lain. Begitu pula Sri Vyasaraja tentu bisa saja memerintahkan seorang maharaja, yang baginya adalah seorang murid yang tunduk di bawahnya, melakukan pemusnahan semua paham non-Vaishnava. Tetapi hal ini tidak pernah terjadi. Itulah keunikan Hindu.
Lalu bagaimana dengan religi yang digolongkan bersifat heterodoks?
Heterodoks dalam hal ini adalah digunakannya rujukan-rujukan yang berbeda dari sumber-sumber yang diakui sebagai Vaidika maupun Tantrika. Boleh juga dikatakan mereka adalah yang menerapkan ajaran Hindu yang lebih bersifat lokal, di luar empat denominasi utama Hindu. Beberapa bangsa di dunia sudah mengembangkan bentuk-bentuk pemahaman tertentu terhadap fenomena-fenomena rohani. Tentang roh dan kekuatan yang lebih tinggi daripada kemampuan manusia, yang mengendalikan seluruh alam semesta. Ada banyak tradisi rohani yang mungkin sudah diterapkan dan diyakini oleh suatu bangsa itu, sebelum mendapatkan pengaruh Veda.
Ketika ajaran Veda mencapai tempat-tempat dan budaya rohani seperti itu, Veda tidak serta merta menghapuskan tradisi-tradisi ini. Seperti disebutkan sebelumnya, Veda dan para pengajarnya sangat menghargai potensi internal dan keunikan masing-masing individu. Mulai dari posisi mana-pun, dalam keadaan apapun, pada tingkat spiritual yang bagaimanapun, semuanya diterima dalam pelukan Sanatana Dharma. Veda akan memulai dari mana setiap orang siap secara rohani. Dia akan mengembangkan setiap unsur yang terdapat dalam budaya masyarakat tempatnya tumbuh, sampai mencapai kesempurnaan yang mereka butuhkan dan inginkan.
Jadi bukanlah hal yang aneh apabila Hindu dapat berkembang dalam berbagai bentuk yang unik dan dengan beragam penampilan berbeda di seluruh dunia. Selain itu umat Hindu meyakini bahwa suatu ketika pada jaman dahulu seluruh bumi ini menerima Veda dan Jalan Sanatana Dharma. Hanya karena pengaruh waktu saja, persatuan dan hubungan internasional ini menjadi terputus. Kami percaya bahwa setiap tradisi rohani yang ada di dunia seperti agama-agama suku (tribal religions) dahulu kala memiliki hubungan dengan ajaran Veda. Kepercayaan tradisional di berbagai belahan dunia, seperti agama asli Amerika, Skandinavia, Inggris, Cina, Jepang, Asia Tenggara dan sebagainya memiliki banyak kemiripan dengan aspek-aspek tertentu dalam ajaran Veda.
Tentu saja pada saat mereka kembali kepada Hindu, kami menganggap mereka sebagai anggota keluarga yang kembali lagi ke rumah. Sepanjang perpisahan yang panjang ini mereka tentu sudah mengembangkan tradisi spiritualnya sendiri yang tampak berbeda dengan yang biasa dilakukan oleh masya-rakat Hindu secara umum. Ini membuat berkembangnya bentuk religi Hindu yang bersifat heterodoks. Bagi Hindu sendiri ini bukanlah masalah. Secara perlahan-lahan mereka dapat memanfaatkan kembali ajaran apapun yang terdapat dalam Veda untuk membangun bentuk agama Hindu yang sesuai untuk keadaan mereka saat ini. Mengatakannya sebagai Hindu heterodoks tidak menjadikan sebagian umat Hindu yang mengikuti religi ortodoks menjauhi mereka atau menolak mereka. Justru di sinilah kita harus hidup bersama-sama secara harmonis, saling membantu mengembangkan potensi rohani kita masing-masing. Keyakinan yang bersifat heterodoks terhadap Veda dapat diterima sebagai anggota keluarga besar Hindu dalam batasan-batasan tertentu, seperti adanya pengakuan terhadap kebenaran sastra suci Veda. Sampai mereka siap menerima Veda sepenuhnya dan menjadi bagian dari tradisi ortodoks, tak seorangpun berhak merubah secara paksa tradisi rohani yang sudah mereka jalankan dari masa para leluhurnya itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar