OM SRI SAIRAM

OM SRI SAIRAM........

Senin, 06 Desember 2010

Pelajaran dari Perang Bharatayuda dan Keris Empu Gandring

Hasrat tak terbendung Dewi Durgandini agar keturunannya sebagai Raja Hastina
Dewi Durgandini yang telah berputra Abyasa atas perkawinan sebelumnya dengan Raden Parasara, hanya mau kawin dengan raja Hastina Prabu Santanu, apabila anak-anaknya kelak menjadi Raja Hastina. Sang Prabu Sentanu sangat bingung, yang berhak menjadi putra mahkota adalah Bhisma, kalaupun Bhisma bersedia mengalah, maka anak keturunan Bhisma tetap akan menuntut haknya, dan akan terjadi perang saudara pada wangsa Kuru. Demi  kecintaan Bhisma terhadap negara Hastina, agar tidak terjadi perang saudara di kemudian hari, Bhisma bersumpah tidak akan kawin. Pengorbanan Bhisma yang begitu besar meningkatkan spiritual Bhisma, sehingga dia bisa menentukan kapan saatnya meninggalkan jasadnya di dunia di kemudian hari. Bagi Bhisma pengabdian dan bhaktinya hanya untuk Ibu Pertiwi, untuk Hastina. Bhisma tidak melarikan diri ke puncak gunung sebagai pertapa. Dharma bhaktinya adalah mempersatukan negara.
Perkawinan Dewi Durgandini dengan Prabu Sentanu melahirkan dua orang putra, Citragada dan Wicitrawirya. Citragada seorang yang sakti, akan tetapi sombong dan akhirnya mati sebelum kawin. Wicitrawirya seorang yang lemah dan diperkirakan akan kalah dalam sayembara untuk mendapatkan seorang putri raja. Ketika Raja Kasi mengadakan sayembara bagi tiga putrinya, demi pengabdian kepada kerajaan Hastina, Bhisma ikut bertanding, menang dan memboyong ketiga putri untuk diberikan kepada Wicitrawirya. Dewi Ambalika dan Dewi Ambika menerima kondisi tersebut, akan tetapi Dewi Amba menolak, Dewi Amba hanya mau kawin dengan Bhisma. Bhisma mengatakan bahwa dirinya telah bersumpah tidak akan kawin demi keutuhan Hastina. Bhisma menakut-nakuti Dewi Amba dengan anak panah yang secara tidak sengaja terlepas dan membunuh Dewi Amba. Bhisma tertegun, demi Hastina tanpa sengaja dia telah membunuh seorang putri, Bhisma sadar dia pun harus terbunuh oleh seorang putri juga nantinya.
Pengabdian Bhisma rupanya hampir sia-sia, karena Wicitrawirya pun meninggal sebelum memberikan putra. Akhirnya Abyasa putera Durgandini dengan Parasara diminta Dewi Durgandini menikahi Dewi Ambalika dan Dewi Ambika. Abyasa patuh terhadap ibunya walau tidak ikhlas memperistri mereka. Abyasa membuat dirinya berwajah mengerikan, sehingga ketika berhubungan suami istri Dewi Ambalika menutup mata, dan lahirlah Destarastra yang buta. Sedangkan Dewi Amba melengoskan leher dan pucat pasi melihat wajah Abyasa yang mengerikan, sehingga lahirlah Pandu yang ‘tengeng’, lehernya miring dan pucat.
Ambisi Dewi Durgandini untuk membuat anak keturunannya menjadi raja dalam perjalanannya mengalami banyak hambatan, bahkan akhirnya telah mengakibatkan anak cucunya melakukan perang saudara dalam bharatayuda yang menghancurkan dunia. Pandawa dan keturunannya RajaParikesit pun sebetulnya merupakan anak keturunan Dewi Kunti yang menggunakan mantra pembuat keturunan dari Resi Durwasa tanpa hubungan suami istri dengan Pandu, cucu Dewi Durgandini. Anak keturunan Dewi Durgandini lewat Destarastra pun punah akibat perang bharatayuda. Perkawinan awal Dewi Durgandini dengan Parasara, yang tanpa nafsu duniawi dan penuh kasih telah melahirkan Bhagawan Abyasa yang akan dikenang sepanjang masa sebagai penulis kitab Mahabharata dan kitab Veda. Hasrat nafsu yang membara dan suasana kasih menghasilkan manusia yang berbeda karakternya. Cerita tentang Resi Bhisma dapat dilihat pada artikel ‘Cinta Bhisma pada Ibu Pertiwi’ pada blog dibawah.



Hasrat tak terbendung Ken Arok untuk menjadi Raja
Pemahaman sejarah bukan untuk dinilai hapalannya dan diwujudkan dengan kepandaian menjawab ujian atau debat, akan tetapi untuk mempelajari kesalahan yang terjadi masa lalu dan memperbaikinya pada saat sekarang. Mempelajari karakter leluhur juga dimaksudkan untuk mengembangkan karakter yang selaras dengan alam dan memutus siklus karakter yang tidak selaras dengan alam.
Kisah tentang Keris Empu Gandring bisa ditemui di Kitab Pararaton. Kisah ini tak bisa dilepaskan dari sosok wanita cantik, Ken Dedes, yang konon menjadi ihwal munculnya kutukan sang Empu yang  berkaitan dengan asmara yang membara. Betulkah yang terjadi demikian, ataukah kisah dari sebuah hasrat Ken Arok untuk menjadi raja penguasa yang jatuh di lutut Ken Dedes cantik yang tengah hamil janin Anusapati sebagai benih karma yang akan menghancurkan diri Ken Arok sendiri? Dilihat dari filsafat Sun Tzu, Ken Arok sukses walau menggunakan tipu muslihat yang menghalalkan segala cara. Akan tetapi Ken Arok melupakan hukum sebab-akibat, hukum siapa yang menabur benih akan menuai, seseorang yang menggunakan tipu muslihat dalam mencapai keberhasilan akan dijatuhkan dengan tipu muslihat pula. Seseorang yang mendapatkan keberhasilan dengan kekerasan akan dijatuhkan dengan kekerasan pula.
Ken Arok meminta Empu Gandring untuk membuat Keris Sakti yang amat berbisa. Agar Empu Gandring tidak dapat membuka rahasia maka dia dibunuhnya untuk menjaga kerahasiaan agar tertutup rapat. Empu Gandring memberikan kutukan yang selaras dengan hukum alam semesta, keris ini akan meminta tumbal tujuh nyawa. Keris ini adalah wujud dari pikiran yang penuh ambisi yang menghalalkan segala cara termasuk dengan darah pembuatnya. Ibarat buku ‘The Secret’, maka pikiran yang mempunyai bentuk yang luar biasa kuat ini akan menarik gelombang pikiran serupa. Dan pikiran kuat ini mampu mempengaruhi beberapa generasi sesudahnya. Korban kedua adalah Akuwu Tunggul Ametung yang dibunuh oleh Ken Arok menggunakan keris Empu Gandring. Korban ketiga adalah Kebo Ijo yang selalu memamerkan keris tersebut sebagai miliknya. Aura keris yang haus darah merasuk ke dalam hidupnya dan dia dibunuh Ken Arok untuk menutupi rahasianya. Korban keempat adalah Ken Arok sendiri, yang walau telah berhasil menjadi Raja Singasari yang jaya bergelar Sri Rajasawardana terbunuh dengan keris yang sama oleh Anusapati, putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung  sebelum kawin dengan Ken Arok. Anusapati pun tidak menyadari pengaruh aura keris yang haus darah dan dia pun menyukai sabung ayam yang berdarah-darah. Pada suatu kesempatan dia lengah dan menjadi korban kelima, dia dibunuh dengan keris yang sama oleh Tohjaya, putera Ken Arok dengan istri Ken Umang. Setelah Tohjaya memerintah sebagai raja, maka terjadilah kemelut  di istana dan terjadilah perebutan kekuasaan dengan saudara-saudaranya sehingga dia pun terbunuh oleh keris yang sama. Mungkin ada korban keris yang tidak disebutkan dalam sejarah sehingga keris tersebut telah merenggut tujuh nyawa.
Perjalanan sejarah selanjutnya, ada miripnya, akan tetapi aura perebutan kekuasaan tidak lagi dipengaruhi  keris tetapi berupa bantuan asing di luar pihak yang bersengketa ataupun berupa budaya asing dari luar sebagai alat perebut kekuasaan. Kita dapat belajar adanya Pasukan Tartar Kubilai Khan dalam mengakiri Kerajaan Kediri. Kejatuhan Majapahit dengan masuknya budaya luar. Perpecahan kerajaan Mataram, dengan bantuan kompeni. Dan mungkin Negara Republik Indonesia dengan bantuan dana luar negeri. Betul kata Raja Solomo, bahwa tak ada kejadian baru di dunia ini. Kisah lama telah dipanggungkan lagi dengan ‘setting’ yang berbeda sesuai zamannya.
Penyelesaian kemelut hanya dapat dilaksanakan dengan bertindak penuh kesadaran, membuang karakter bangsa yang tidak selaras dengan alam dan mengembangkan karakter bangsa yang selaras dengan alam. Dan itu merupakan perjuangan, merupakan jihad sebuah bangsa.

Cerita Raja Drestarastra dari Hastina yang kehilangan seratus putranya
Konon Prabu Duryudana bertanya kepada Prabu Kresna, mengapa ia yang buta dan tak pernah membunuh bisa mengalami kejadian 100 putranya dibunuh. Prabu Kresna menjawab, bahwa dalam ‘past lifes’, kehidupan-kehidupan sebelumnya dia pernah membunuh 100 anak burung yang berada dalam sarangnya, dan juga pernah menusuk mata burung sehingga menjadi buta. Sebagai contoh lainnya adalah Resi Bhisma yang Agung yang konon dalam kehidupan sebelumnya pernah menusuk tubuh semut dengan jarum dan itulah sebabnya dia harus tidur di atas panah selama beberapa hari sebelum meninggal. Bahkan Prabu Kresna sendiri harus mati terbunuh oleh pemburu yang memanah  kakinya yang terjuntai yang terlihat sebagai binatang. Konon Prabu Kresna pun harus menyelesaikan hukum sebab akibat dalam kehidupan sebelum nya sewaktu  menjadi Sri Rama yang memanah Raja Kera Subali. Konon beberapa orang selamat dari karma kejahatan dalam satu masa kehidupannya, karena dia diselamatkan sejumlah karma baiknya. Akan tetapi ibarat senjata cakra yang mengejar siapa pun yang ditujunya, maka pelaku perbuatan tersebut pada suatu saat akan menerima akibatnya pula. Seorang Guru Sejati Masa Kini memberi nasehat lewat ‘wisdom’‘Kebaikan yang kau lakukan pasti kembali padamu. Begitu jua dengan kejahatan. Kau dapat menentukan hari esokmu, penuh dengan kebaikan atau sebaliknya’. ‘Kenapa mesti menangisi nasib? Kau adalah penentu nasibmu sendiri. Apa yang kau alami saat ini adalah akibat dari perbuatanmu di masa lalu. Apa yang kau buat hari ini menentukan nasibmu esok’. Kisah Prabu Kresna dapat dilihat pada artikel ‘Kresna Duta Utusan Pemberi  Peringatan Sebelum Kebenaran Ditegakkan’ dalam blog tersebut di bawah.
Kesadaran itu membuat kita sadar untuk menerima segala yang harus terjadi sebagai datangnya panen dari benih yang telah kita tanam sebelumnya. Yang penting adalah mulai saat ini kita harus menanam benih dengan penuh kesadaran. Sampai suatau saat kita sadar siapakah sejatinya kita ini? Untuk apa lahir di dunia ini? Terima Kasih Guru yang telah memberi semangat untuk menyuarakan kebenaran, jangan terpengaruh oleh diterima atau tidaknya suara yang kita sampaikan. Demikianlah pemahaman kami sampai saat ini.
Sumber : Oneearth media

Tidak ada komentar:

Posting Komentar